|Punggawa Mutafakkirun|Penikmat Lagu Dangdut|Cukup Suka Kopi dan Agak Senjais|

Ketika Teknologi Mengambil Alih Otonomi Manusia

Mustain Romli

2 min read

Mungkinkah manusia dapat terus menggugat dan mengkritisi narasi kemajuan yang masih menggema sampai sekarang? Mungkin inilah salah satu pertanyaan yang kerap muncul dalam diri kita. Pertanyaan itu muncul kala melihat realitas kemajuan yang tampak seolah-olah berimplikasi baik bagi kehidupan kita.

Apabila narasi kemajuan tak disikapi secara kritis, ia akan menjadi malapetaka bagi manusia. Sebut saja kemajuan teknologi yang ditengarai mampu mengubah nasib hidup manusia. Alih-alih mempermudah hidup, teknologi justru menghadirkan permasalahan yang kian mengikis kemanusiaan, salah satunya memudarnya rasa empati terhadap sekitar karena kita dibuat sibuk dengan gadget masing-masing. Kesibukan kita teralihkan dan eksistensi kemanusiaan terancam. Acap kali persoalan di atas luput dalam pandangan dan praksis kita sehari-hari. Miris bukan?

Baca juga:

Di sisi yang lain, narasi kemajuan sendiri pada dasarnya problematik. Ia seakan hadir dalam ruang kehidupan kita sebagai pionir yang menyodorkan berbagai terobosan mujarab. Padahal kenyataannya tidak selalu demikian. Prof. Franz Magnis-Suseno memberikan kritik dalam salah satu esainya, beliau mengingatkan kita sekalian terkait seluk-beluk kemajuan yang hari ini diterima begitu saja tanpa ada upaya filterisasi.

Setiap fenomena yang hadir dalam kehidupan kita mesti dilalui dengan kerja-kerja kritis dan reflektif melalui pertanyaan-pertanyaan fundamental seperti: Apa itu kemajuan? Bagaimana kemajuan membentuk dirinya?Dan apa dampaknya bagi manusia? Inilah tugas kita semua.

Manusia dan Teknologi

Hingga hari ini, diskursus soal manusia dan teknologi masih terus berlangsung, baik di ruang akademik maupun di forum-forum ilmiah. Para filsuf tiada letih-letihnya melakukan refleksi mengenai hubungan manusia dengan sekitarnya, termasuk juga jalinan manusia dengan teknologi yang kian intens. Hal itu merupakan sinyal positif yang menandakan adanya keresahan dan pencarian yang “tak selesai” oleh manusia atas teknologi.

Pencarian dan keresahan itu muncul paling tidak karena dua hal: Pertama, posisi otonomi manusia yang semakin bergeser akibat hilangnya kontrol diri atas teknologi. Kedua, dunia yang dihasilkan oleh teknologi (gawai). Tak bisa dipungkiri, sebagaimana yang kita saksikan sekarang, zona gerak dan pengaruh teknologi menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan kita. Apabila kita lihat secara langsung, wujud tergerusnya otonomi manusia akibat kemajuan teknologi begitu terlihat.

Dari sini kita kembali dibuat bertanya, apakah mungkin otonomi manusia bisa tergantikan oleh teknologi? Menurut filsuf kontemporer Prancis, Jacques Ellul, teknologi memiliki kekuatan yang luar biasa dalam mengubah kebiasaan dan tata kehidupan manusia. Teknologi mampu mengendalikan manusia secara total.

Lebih lanjut, secara provokatif Jacques Ellul menegaskan bahwa manusia memang menciptakan teknologi, tetapi kini teknologi itu sudah mengambil alih otonomi manusia. Teknologi seakan-akan mempunyai logikanya sendiri. Ia ditentukan oleh dirinya sendiri.

Apa yang dikatakan oleh Jacques bisa dilihat dalam fenomena hari ini, seperti memudarnya kontrol diri yang dimiliki manusia. Manusia semakin fokus bermesraan dengan gawai di depannya hingga lupa waktu, lupa menyediakan waktu bersama keluarga, lupa pekerjaan, bahkan tak jarang juga lupa mengingat Tuhan.

Baca juga:

Dunia yang diciptakan oleh teknologi (gawai) juga memunculkan problematika tersendiri. Filsuf kontemporer berkebangsaan Perancis, Jean Baudrillard, telah membahasnya begitu komprehensif lewat teorinya yang dikenal dengan istilah Simulasi (Simulakra) dan Hiperrealitas (hyper-reality). Simulakra sederhananya bisa kita pahami sebagai proses meniru sesuatu yang sudah ada dengan maksud menipu atau mengelabui. Sementara hiperrealitas merupakan implikasi atau efek dari wujud simulasi yang tersistematisasi tersebut. Keduanya bisa lahir dari rahim teknologi, informasi, dan globalisasi yang terus berlanjut.

Bayang-Bayang Konsumerisme

Dalam konteks sosial masyarakat, konsekuensi adanya hiperrealitas adalah munculnya dilema-dilema, sulitnya mengenali mana yang benar dan yang salah (fakta dan bukan fakta), serta terjadinya pembauran yang bertumpuk. Paling tidak, salah satu gejalanya yang bisa kita renungkan hari ini adalah meningkatnya budaya konsumerisme.

Saat gawai di depan kita menyodorkan begitu banyak iklan (makanan, teknologi, pakaian, dll) melalui beranda aplikasi yang kita punya, saat itu juga kita tercekoki begitu banyak ‘kuasa iklan’ dengan narasi manis yang tanpa disadari menjebak. Kita dibuat tidak bisa membedakan kebutuhan dan keinginan. Ketika terjebak dalam cara pandang yang salah, kita sering kali mengonsumsi sesuatu berdasarkan nafsu yang jauh dari nilai kebermanfaatan. Absennya kesadaran kita terhadap membludaknya iklan akan terus memperpanjang ‘kuasa iklan’ dan memperparah kesalahan paradigma kita.

Dengan demikian, mengapa persoalan manusia dan teknologi ini begitu genting? Kita tahu, teknologi pada mulanya diciptakan agar ia memberikan fleksibilitas terhadap aktivitas manusia. Namun, seiring berjalannya waktu, justru perubahan yang terjadi adalah sebaliknya. Semakin ke sini, eksistensi teknologi seakan-akan memperbudak manusia sebagai penciptanya. Manusia seperti terkerangkeng kuat oleh teknologi, tak bisa jauh-jauh darinya.

Maka dari itu, seperti yang pernah diungkap oleh Socrates, hidup yang tidak diuji, tidak layak untuk dijalani. Kini, kita juga harus memusatkan perhatian terhadap kehadiran teknologi untuk mengujinya melalui usaha reflektif dan penuh kesadaran.

 

Editor: Prihandini N

Mustain Romli
Mustain Romli |Punggawa Mutafakkirun|Penikmat Lagu Dangdut|Cukup Suka Kopi dan Agak Senjais|

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email