Bahasa nasional menjadi motor revolusi sosial Indonesia, dengan sastra dan koran sebagai gelanggangnya. Namun, kenapa soal bahasa nasional ini jarang sekali dibincangkan dalam karya sastra kita?
Wage Rudolf Supratman pernah menulis novel berjudul Perawan Desa. Supratman yang kita kenal sebagai pencipta lagu Indonesia Raya itu rupanya seorang sastrawan, seorang penulis teks sastra, seorang penulis novel. Perawan Desa pada mulanya diumumkan pada tahun 1920-an dan dicetak kembali pada tahun 2022. Artinya, selama kurang lebih satu abad, karya ini hilang; tak tersentuh dan luput dibahas secara serius dalam lingkungan belajar sastra Indonesia.
Penyebab utama hilangnya buku itu dari peredaran ialah label “bacaan liar” yang disematkan oleh Balai Pustaka. Novel ini dianggap tak layak baca cuma karena isinya memuat satu kejujuran soal betapa buruknya kolonialisme mendera bangsa Hindia Belanda. Sungguh sayang, sebab buku yang pernah hilang selama seratus tahun ini memuat pikiran Supratman soal bahasa Indonesia. Hilang dan hadirnya Perawan Desa mengumumkan suatu ironi dalam perjalanan panjang sastra kita.
Baca juga:
Pada awal abad 20, ketika menjamur kaum terpelajar dari kalangan bangsa pribumi sebagai kelompok sosial baru, muncul juga pikiran-pikiran soal persatuan bangsa. Kaum terpelajar mematenkan perannya untuk berhimpun dan berserikat dengan tujuan yang satu, mengambil peran untuk membebaskan bangsa yang telah lama dikungkung kolonialisme Belanda. Keadaan ini sampai pada puncaknya ketika para terpelajar pribumi menggelar Kongres Pemuda I dan II, yang kemudian pada kongres tersebut menelurkan sebuah diktum penting menyoal persatuan Indonesia, yakni ikrar Sumpah Pemuda
Supratman terlibat langsung dalam kongres pemuda, peristiwa penting yang barangkali sebentar nanti akan menentukan masa depan bangsanya.Tak tanggung-tanggung, Supratman mengambil peran penting dan membiarkan Indonesia, lagu gubahannya, untuk diperdengarkan pada Kongres Pemuda II.
Muhammad Yamin lain lagi. Teman seangkatan Supratman yang juga mengambil peran penting pada proses berjalannya Kongres Pemuda II ini menulis sebuah esai panjang yang memuat kalimat tendensius menyoal bahasa nasional sebagai bahasa persatuan. “Tiada bahasa, hilanglah bangsa,” tulisnya. Bangsa Indonesia adalah satu di antara sedikit bangsa lain yang telah jauh-jauh hari bersepakat soal bahasa kebangsaan, bahkan bahasa nasional Indonesia telah dipatenkan 17 tahun sebelum kemerdekaan Indonesia benar-benar dapat diraih dan diumumkan.
Rentetan kitab kejadian soal genealogi bahasa bangsa ini direkam dan dialami langsung oleh Supratman. Maka, dalam Perawan Desa, anak rohaninya, Supratman menyampaikan obrolan dialektis para tokoh ceritanya soal bagaimana kemudian bahasa nasional memiliki arti penting bagi kemajuan pergerakan bangsa. Supratman menyajikan gambaran mengenai hegemoni kebudayaan dan bahasa Belanda sebagai bahasa warga kelas satu yang dapat menidurkan imajinasi kaum pribumi soal pentingnya sebuah bahasa bagi kelahiran bangsa. Obrolan-obrolan perihal kemunculan bahasa nasional difasilitasi oleh kehadiran surat kabar berbahasa Melayu yang juga jadi gelanggang bagi aktivis pergerakan dari kalangan pribumi pada saat itu.
“O, surat kabar Melayu. Saya kira surat kabar Belanda. Sayang, saya tidak begitu mengerti surat kabar Melayu.” (Supratman, 2022: 27)
Baca juga:
Isu bahasa nasional sebagai bahasa persatuan belakangan jarang disentuh oleh kebanyakan penulis teks sastra Indonesia. Padahal, bahasa adalah media bagi teks sastra. Bahasa Indonesia adalah media utama bagi sastra Indonesia. Namun, genealogi bahasa persatuan ini jarang sekali diberi tempat dalam sastra kita. Pemandangan semacam ini bukanlah pemandangan yang baik untuk terus dibiarkan.
Setelah Perawan Desa karya Supratman, Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer sempat merekam persoalan tersebut dalam perdebatan antara Minke dengan Jean Marais. Isu itu muncul ketika Jean menyampaikan petuah pada Minke untuk menulis dalam Melayu, bahasa bangsanya.
Hal yang sama dimuat Supratman dalam Perawan Desa. Barangkali, kedua pengarang ini hendak menyampaikan seluas-luasnya pada khalayak pembaca sekalian bahwa koran, tulisan, dan bahasa Melayu sebagai cikal bakal bahasa bangsanya merupakan satu kesatuan tak terpisahkan, berjalan beriringan.
“Tempo-tempo saya juga baca Het Nieuws dan perhatikan bagaimana ia suka maki pada semua bangsa Asia. Tapi, buat saya senang baca surat kabar Melayu sebab isinya sering membela bangsa dan tanah air.” (Supratman, 2022: 28)
Individu dalam sebuah kolektif merupakan hasil dari konstruksi sosial dan budaya, sementara bahasa merupakan satu kesatuan yang utuh dari kebudayaan itu sendiri. Pemisahan bahasa Melayu dengan bangsa pribumi tak lepas dari satu proses panjang; ihwal pembentukan hegemoni kekuasaan kolonial Belanda yang juga menyasar aspek kebahasaan dan kebudayaan di Hindia Belanda. Superioritas Barat di Indonesia tergambar jelas—dalam tahun-tahun yang lebih lampau, kaum pribumi dilarang bercakap-cakap dalam bahasa Belanda. Pemandangan tersebut kemudian secara drastis berubah dan melonggar begitu saja ketika politik etis, khususnya ihwal pendidikan bagi kaum pribumi diberlakukan di Hindia.
Imbasnya, muncul kaum pribumi yang besar dan belajar dalam satu kebudayaan baru, kebudayaan Indis. Sejak saat itu, dimulai juga kecenderungan baru dalam gaya hidup masyarakat Hindia Belanda pada masanya, khususnya soal inferioritas yang tergambar jelas dalam diri setiap bangsa pribumi.
Ironisnya, inferioritas tersebut banyak menjangkiti kaum pribumi terpelajar. Kaum terpelajar dari bangsa pribumi ini enggan menggunakan bahasa Melayu, bahasa yang jelas lebih otentik bagi mereka, bahasa yang kemudian menjadi nenek moyang bahasa Indonesia, dan lalu ditegaskan secara terang-terangan dalam sebuah ikrar Sumpah Pemuda pada Kongres Pemuda II.
Namun, bukankah memang selalu ada dua poros bertolak belakang dalam kejadian sejarah? Ada yang menolak dan ada yang menyokong, ada yang enggan dan ada yang sepakat. Perawan Desa hadir untuk mengkritik habis terpelajar pribumi yang menolak pentingnya bahasa Melayu sebagai bahasa bangsa. Sitti Adminah, tokoh dalam novelnya sendiri, adalah wujud dari kritiknya. Kehadiran seorang terpelajar dari kalangan pribumi yang bahkan enggan memakai bahasa bangsanya.
Adminah jelas merupakan bagian dari individu yang lahir dan memilih jalan melalui satu konstruksi sosial-budaya di Hindia Belanda. Sejarah panjang penghinaan Eropa terhadap pribumi adalah hegemoni itu sendiri—membentuk kaum inlander yang bangga jika terlihat sebagai bangsa Eropa, bukan dalam bentuk fisik, melainkan pada gaya berpakaian, bahasa yang digunakan, dan pola pergaulan yang dibangun. Supratman, lewat Perawan Desa, hendak menegaskan bahwa yang terhormat bagi bangsa pribumi bukanlah menjelma sebagai black skin white masks, bukan menjadi pribumi berlagak Belanda. Melainkan menjadi bangsa pribumi yang merdeka dari penjajahan yang terjadi di tanah tempat ari-arinya dikuburkan.
Perawan Desa menghadirkan satu rekaman penting soal bagaimana bahasa Melayu mesti diluaskan, dibaca, dan dianggap penting perannya. Kampanye tersebut dapatlah dilakukan jika bangsa pribumi memberi tempat yang layak bagi koran-koran berbahasa Melayu. Lebih jauh, Supratman memandang bahasa Melayu sebagai bahasa kejujuran. Jujur mendaku diri sebagai pribumi, jujur berbicara soal buruknya kolonialisme, dan jujur meluaskan mimpi dan hasrat akan kemerdekaan bangsa.
“Kalau saya baca surat kabar, pergerakan bangsa kita sekarang maju buat dapatkan kemerdekaan, tetapi kita mesti pikir bahwa kemerdekaan itu bukan perkara gampang.” (Supratman, 2022: 81)
Pendeknya, bahasa Indonesia tidak tiba-tiba hadir di bumi Nusantara. Ia diperjuangkan melalui dialektika panjang dan erat berhubungan dengan munculnya gagasan kemerdekaan bangsa. Maka, barang tentu tugas kita yang mesti menampilkan kenyataan ini melalui berbagai gelanggang, khususnya gelanggang kesusastraan Indonesia.
Editor: Emma Amelia