Interaksi sosial manusia tidak terbatas hanya pada satu kelompok tertentu. Manusia memiliki kehendak bebas sehingga mampu membawa dan menyesuaikan diri sesuai kebutuhan agar kehidupannya berjalan dengan baik. Namun, kehidupan sosial setiap orang tidak mungkin melulu berjalan baik. Ada kalanya terjadi keributan atau gesekan karena ketidaksesuaian prinsip, baik itu dengan atasan dan bawahan maupun sejawat yang nyaris senasib sepenanggungan.
Ketidaksesuaian prinsip tersebut wajar saja terjadi. Sebab, kebutuhan setiap orang berbeda-beda. Untuk menekan peluang terjadinya ribut-ribut dan gesekan, orang biasanya akan membentuk jaringan interaksi sosial yang sifatnya terbatas dan intim. Jaringan interaksi atau hubungan ini istilah kerennya adalah best friends forever (BFF). Orang-orang yang terlibat dalam jaringan interaksi ini idealnya memiliki tujuan bersama, baik itu yang bersifat ekonomis ataupun psikologis.
Baca juga:
Tidak Ada Manusia yang Absolut
Manusia dituntut agar menguasai setiap keahlian yang perlu untuk menunjang aktivitasnya seiring dengan perkembangan zaman dan fenomena sosial yang cepat nan kompetitif. Sebagai entitas kreatif, manusia terus berkembang di bawah sistem kapitalisme yang melipatgandakan urgensi tuntutan itu. Manusia mustahil mempertahankan kondisi tetap pada dirinya, meskipun bisa saja ia bertahan pada suatu fase tertentu dalam rentang waktu yang cukup lama hingga terdesak untuk berubah karena suatu kekecewaan. Dengan kata lain, manusia tidak mungkin bersifat absolut.
Kekecewaan yang melanda kehidupan manusia membawa kita pada hubungan yang cukup intim dengan sekelompok orang yang kita anggap sebagai sahabat karib. Kelompok kecil tersebut memberi dampak yang signifikan bagi perkembangan seseorang dan membantu orang tersebut mencari jalan keluar dari kesulitan yang sedang ia hadapi.
Akan tetapi, pada kondisi tertentu, kelompok kecil ini justru menjadi faktor yang menciptakan keraguan di benak seseorang untuk mengambil keputusan secara matang. Tidak jarang teman terdekat menggiring opini agar kita melakukan suatu tindakan yang tidak kita inginkan semata-mata karena mereka melihat opini tersebut sebagai langkah pragmatis yang dapat kita ambil untuk keluar dari masalah. Padahal, besar kemungkinan justru masalah itu akhirnya tidak terselesaikan dengan baik apabila kita menuruti perkataan teman tadi.
Tulisan lain oleh Angga Pratama:
Aroma Busuk BFF
Interaksi dalam suatu hubungan yang terbatas pada beberapa teman saja dapat menimbulkan konflik dan menggiring diri kita ke tujuan yang sebenarnya tidak kita inginkan. Pertemanan yang sudah kita anggap begitu intim memiliki potensi untuk menghilangkan kemampuan kita memutuskan suatu masalah dan menjadi ketergantungan kepada sosok dalam lingkar pertemanan tersebut.
Aroma busuk BFF ini tidak langsung menyerang indra yang dimiliki manusia. Namun, sebagian kemampuan berpikir kreatif dan kebebasan seseorang akan perlahan berubah menjadi kekacauan psikologis yang disebabkan oleh ketergantugan berlebih terhadap entitas di luar dirinya. Aroma busuk tersebut menjadi candu bagi seseorang yang terlalu percaya kepada BFF-nya sehingga ia menyerahkan seluruh keputusan dalam hidupnya agar dipertimbangkan secara kolektif oleh lingkar pertemanannya.
Akibatnya segala urusan yang bersifat privasi kehilangan makna dan malah menjadi konsumsi lingkaran pertemanan seseorang. Dengan demikian, kemampuan seseorang hanya sebatas pada praksis yang sesuai dengan instruksi dari dorongan eksternal dan bukan merupakan keputusan mandiri.
Kekeliruan tersebut menyebabkan manusia akan sulit mencapai kebaikan tertinggi dan kemandirian. Seseorang akan berpikir bahwa perasaan curiga tidak boleh begitu saja dihilangkan semata-mata karena pertemanan sudah terjalin begitu lama.
Peralihan dan Pengkhianatan
Fase peralihan dari lingkar pertemanan yang intim ke fase destruktifikasi BFF menyebabkan kemandirian seseorang dipertaruhkan. Penting bagi setiap individu untuk menjaga identitas pribadi dan pola pikir kreatif dalam suatu lingkaran pertemanan agar siap menghadapi fase peralihan yang bisa terjadi kapan saja sebagai bagian dari dinamika kehidupan manusia.
Fase destruktifikasi biasanya disertai dengan pengkhianatan yang dipicu oleh tujuan berbeda tiap-tiap entitas di dalam lingkar pertemanan. Fase pengkhianatan ini tentu tidak terbatas pada perilaku gosip yang sudah menjadi masalah moralitas klasik. Lebih jauh, fase pengkhianatan ini terjadi sebagai respons psikologis manusia ketika diacuhkan atau ditinggalkan oleh seseorang. Dalam hal ini, seseorang akan membentuk pola pikir bahwa ia dikhianati karena ia merasa lingkungan sosialnya tak lagi suportif.
Kenyataan pahit dari pola interaksi yang mengedepankan ketergantungan mendatangkan perasaan kecewa. Bila hubungan pertemanan terbentuk hanya berdasarkan ikatan semu yang beraroma busuk, maka kita akan senantiasa membunuh pemikiran kreatif yang perannya penting untuk menghindarkan kita dari ketergantungan terhadap orang lain.
Pada praktiknya, manusia memang tidak dapat menghindari interaksi dengan manusia lain. Kita menyadari bahwa interaksi antarmanusia diperlukan agar seseorang dapat mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari sistem sosial. Namun, interaksi yang saling bergantung satu sama lain tersebut tidak dapat dijadikan sebagai fokus utama karena setiap manusia memiliki identitas yang harus dijaga agar ia tidak larut dalam pembodohan dan kontrol dari sahabat yang memiliki niat jahat.
Baca juga:
Apakah BFF Buruk?
Tidak; asalkan manusia mampu mengendalikan kuasa atas dirinya sendiri. Setiap entitas yang saling berinteraksi dalam hubungan BFF tidak boleh menghilangkan identitas satu sama lain. Interaksi yang baik adalah interaksi yang mendukung suatu pergerakan kreativitas manusia agar mencapai kebaikan tertinggi. Meskipun begitu, seseorang harus menjaga batasan pribadi dan informasi sensitif sebagai upaya pencegahan untuk menghadapi pola pikir manusia yang relatif dinamis dan ingin mencari keuntungan bagi dirinya sendiri.
Aroma busuk yang mengelilingi wacana pertemanan akan senantiasa mengotori udara. Kita hanya menunggu kapan aroma busuk tersebut menyebar dan membunuh kemandirian manusia. Artinya, manusia tidak sadar dengan kemampuan yang mereka miliki ketika sudah terbiasa bergantung terhadap keputusan kolektif untuk hal-hal fundamental dalam hidupnya.
Pada banyak kesempatan, interaksi dalam hubungan BFF membentuk penilaian yang subjektif atas entitas lain dan menyebabkan kemampuan kritis seseorang menjadi tumpul. Penggiringan opini yang dilakukan oleh seseorang dalam hubungan terbatas tersebut menimbulkan budaya subjektif yang merusak tatanan penilaian seseorang. Ia akan cenderung menjadi pribadi yang menilai seseorang berdasarkan apa yang ia lihat, bukan berdasarkan bagaimana ia mengidentifikasi kenyataan yang terjadi di balik penampilan seseorang.
Alhasil, hubungan best friends forever yang tidak baik hanya menjadi suatu hegemoni mikro yang mengajarkan manusia untuk saling menguasai demi kepentingan yang tidak objektif. Ketika ini terjadi, seseorang akan kehilangan kemampuan untuk menyadari bahwa dirinya sedang dikendalikan dan ditindas. Baginya, berada dalam pertemanan yang berkecenderungan mengontrol dan menindas adalah cara terbaik agar ia tidak kehilangan arah dalam hidup, meskipun hal ini justru membuatnya “mati” secara perlahan.
Kita akan sulit mengalami perbaikan kondisi hidup jika kita senantiasa melanggengkan wacana best friends forever yang tidak baik hanya untuk merasa aman. Keamanan yang kita rasakan bukanlah hal yang mutlak; ia hanya bertahan jika kita mengikuti alur interaksi terbatas tersebut. Ketika kita mampu berkembang dan menjadi semakin kritis, terkadang suatu siklus pertemanan akan rusak dengan sendirinya yang kemudian mendatangkan seleksi alam bagi setiap hubungan pertemanan yang kita miliki.
Seleksi alam yang terjadi perlu dihadapi dengan kemandirian dan kreativitas agar kita dapat terus berkembang menjadi individu yang kritis. Tujuannya adalah supaya aroma busuk dari wacana best friends forever tidak menusuk setiap indra dan kemampuan individual kita untuk hidup.
Editor: Emma Amelia