Aku langsung muntah melihat tubuhku berceceran di halaman gereja. Ginjalku tergeletak di trotoar. Usus halusku tersebar tidak beraturan. Ada yang membelit pagar gereja, dan ada juga yang mendarat di atas kap mobil. Usus besarku terkulai di tengah jalan raya. Sepasang kakiku gosong sempurna. Aku berjalan di sekeliling tubuhku yang hancur lebur akibat ledakan, menutup mulutku untuk menahan mual dan jijik. Belum ada orang yang menemukan kepalaku. Tangan kananku tersangkut di semak belukar. Tangan kiriku belum ditemukan, atau mungkin memang tidak ditemukan. Mungkin tangan kiriku telah hancur menjadi kepingan tulang, daging, dan darah. Karena tak kuasa aku menahan amisnya bau darahku sendiri, aku muntah lagi.
Mobil polisi dan ambulan berdatangan. Garis polisi dibentangkan. Kerumunan warga mulai digiring mundur agar berdiri di belakang garis polisi. Selusin orang dipapah bahkan ada yang ditandu. Aku menoleh ke arah suara tangisan yang terdengar sejak ledakan bom menggelegar. Bayi perempuan itu menangis di pelukan ibunya yang tengah melangkah menjauhi kerumunan. Petugas kepolisian dengan cekatan memotret tempat kejadian perkara dan memotret tubuhku beserta remah-remahnya. Dari kejauhan, kerumunan wartawan dan reporter tengah mempersiapkan siaran langsung. Beberapa wartawan bahkan sudah mulai mewawancarai umat yang ikut perayaan Ekaristi pagi tadi.
Seorang petugas kepolisian menenteng kantong berwarna kuning yang aku tebak isinya adalah kepalaku. Kuikuti petugas itu mendekat ke tim autopsi yang sedari tadi sibuk mengumpulkan organ dalamku yang berceceran. Kantong kuning dibuka dan kulihat kepalaku ada di dalamnya. Separuh hancur, separuh gosong, dengan mata kiri yang melotot dan mata bola mata kanan yang terjulur keluar. Aku langsung memuntahkan isi perutku lagi. Dua orang petugas masih berbincang-bincang sambil menatap kepalaku yang sudah tidak karuan wujudnya.
Aku memilih tempat duduk di seberang gereja dan menyalakan rokok. Sekelilingku ramai dengan wartawan yang memberitakan kejadian pagi ini dalam siaran langsung. Lensa kamera merekam reporter dengan menara lonceng gereja sebagai latar belakangnya. Berita yang mereka sampaikan kepada masyarakat luas secara kronologis berdasarkan dari hasil wawancara umat gereja, pihak kepolisian, maupun menyimpulkan garis besar kronologi pengeboman berdasar rekaman video CCTV yang ada di seberang jalan. Mendekat ke kerumunan media memang menjadi kegiatan yang selalu aku lakukan usai menunaikan tugasku. Aku suka mendengarkan narasi-narasi lisan yang mereka sampaikan tentang pekerjaanku.
Memang benar adanya. Aku meledakkan diri dengan bom. Mereka memang tidak menyebutkan secara spesifik bahwa bom yang aku bawa kulilitkan di leher dan dada, serta kusembunyikan keberadaannya di balik jaket olahraga warna hitam. Wajar jika wartawan-wartawan tidak mendapat informasi teknis semacam ini mengingat petugas kepolisian belum menyelidiki lebih lanjut. Bom itu sudah aku siapkan tujuh hari sebelum hari ini. Dengan aku mengatakan ‘siapkan’, itu artinya semua proses sudah aku lakukan termasuk menerima kiriman bahan peledak, panduan perakitan bom, hingga proses kebingungan yang aku alami berhari-hari ketika merakit bom tersebut. Jangan beranggapan kalau merakit bom itu mudah. Salah sedikit saja, bom dengan tujuan membunuh lusinan orang itu bisa jadi hanya meledak seperti petasan korek.
Aku sengaja datang ketika perayaan ekaristi berakhir, menunggu kerumunan umat keluar dari gereja untuk pulang ke rumah masing-masing. Aku harus berlari dari indekos ke gereja karena pakaian samaranku adalah pakaian olahraga. Aku harus terlihat berkeringat agar aparat keamanan di sekitar gereja menyangka aku hanya warga yang sedang olahraga pagi. Dan benar saja, sesampainya aku di sana, kerumunan ramai tengah keluar dari gereja. Aku tinggal mengambil gawai dari kantong celana. Orang-orang tidak akan sadar kalau aku bukan sedang memesan ojek online atau melihat peta digital, melainkan menekan sakelar pengaktif bom. Orang-orang tidak akan menyangka dan bbbbuuuummmmmm!!!!
Jam terbangku tinggi. Jangan heran jika perhitunganku sangat matang. Sebenarnya aku bisa saja memaksakan diri meledakkan bom ketika Ekaristi sedang berlangsung. Namun penjagaan ketat dari aparat keamanan membuatku berpikir dua kali. Aku tidak ingin tugasku berantakan karena hal sepele apalagi karena ketidakmampuanku membaca situasi. Aku tidak ingin ledakan bom ini justru melukai aparat keamanan. Misi yang diberikan Bos kali ini bukan ditujukan kepada mereka, melainkan untuk orang-orang awam.
Misi bunuh diri kali ini memang berbeda dengan misi dua tahun silam ketika aku diberi tugas meledakkan diri di kantor polisi. Misi dua tahun silam memang spesifik menyebutkan bahwa Bos menghendaki kematian petugas keamanan. Namun misi pagi ini adalah misi rutin tahunan yang Bos berikan kepadaku: meledakkan tempat ibadah.
***
Sebagai seorang pekerja aku hanya perlu menjalankan pekerjaan yang diberikan oleh Bos selaku atasanku. Aku sadar betul kehidupan hanya sibuk melahirkan manusia tanpa mempertimbangkan kesempatan hidup yang dimiliki oleh manusia itu. Sama halnya dengan aku, manusia yang selalu diseret paksa oleh kehidupan.
Aku tak pernah punya kesempatan merasakan pendidikan di perguruan tinggi. Ibuku meninggal karena overdosis. Aku menemukannya terkapar di kamar mandi pada suatu malam. Petugas autopsi menemukan tiga lusin pil penenang yang belum tecerna di lambungnya. Di hari pemakaman, rombongan terdiri dari seorang laki-laki, seorang perempuan dan dua anak kecil di sebelahnya, terlihat di kerumunan pelayat. Aku tidak mengenal mereka. Padahal aku mengenal semua orang yang datang ke pemakaman ibu karena memang orang yang datang tidak sampai dua lusin. Pada hari itu, untuk pertama kalinya seseorang memberi tahu bahwa laki-laki asing itu adalah ayahku dengan keluarga barunya. Sosok ayah yang baru aku lihat setelah hampir lima belas tahun ibu enggan membicarakan keberadaannya.
Ketika kawan-kawanku merayakan masa kuliah dengan bahagia, aku justru merantau dan terjun ke arus hidup yang penuh penderitaan membabi-buta. Aku lebih sering menganggur dibanding bekerja sampai suatu hari sepotong berita lowongan pekerjaan di koran yang menjadi bungkus tempe mendoan menyelamatkan hidupku.
Tertulis di koran pembungkus tempe itu bahwa sebuah desa membutuhkan tenaga kerja untuk membangun tempat ibadah. Tanpa tahu tahun koran yang kubaca, kuberanikan diri mendatangi desa itu. Sesampainya di sana, aku mendapati bahwa pekerjaan itu masih dibuka dan desa itu memberiku pekerjaan sebagai kuli bangunan. Aku sangat bersyukur karena diberi tempat tinggal gratis berupa mes pekerja dengan alas tikar dan beratap terpal.
Kehidupan tidak berhenti bermurah hati. Seseorang memberiku kesempatan belajar meskipun bukan di perguruan tinggi. Salah seorang warga desa memintaku datang ke rumahnya selepas pukul tujuh malam. Di kediaman orang itu aku diberi ilmu yang disebut dengan ilmu menafsirkan makna kehidupan. Orang itu mengajarkan bahwa kehidupan telah dipenuhi dengan orang-orang munafik. Dari orang itu juga, aku mendapat tawaran pekerjaan baru sebagai penghapus kepalsuan-kepalsuan yang ada di dunia ini.
Tawaran itu tidak bisa aku tolak karena upah yang besarnya bukan main. Kutinggalkan pekerjaan membangun tempat ibadah untuk bekerja pada orang itu. Aku tidak paham soal penghapus kepalsuan. Aku hanya paham bahwa uang yang akan diberikan dari pekerjaan ini sangat melimpah. Orang itu adalah orang yang yang sampai saat ini aku panggil dengan sebutan bos.
***
Aku terkekeh mendengar salah seorang reporter mengatakan pengeboman pagi ini masih ada sangkut pautnya dengan pengeboman tahun 2018 silam. Kemampuan analisis orang-orang ini memang hebat. Tentu pengeboman tiga gereja di Surabaya saat itu adalah misi yang diberikan bos kepadaku. Mengebom tempat ibadah memang menjadi salah satu misi rutin tahunan, selain mengebom ibu kota atau kantor polisi. Ibarat program kerja, selalu ada satu atau dua tempat ibadah yang bos minta untuk diledakkan setiap tahunnya.
Awalnya memang ada keraguan dalam diriku, terutama ketika bos memintaku meledakkan salah satu masjid di Jawa Barat dan sebuah wihara di ibu kota. Rasa takut dan ragu benar-benar membuatku bimbang kala itu. Namun bos meneguhkan hatiku dengan mengatakan bahwa tugasku adalah menghapus kepalsuan yang ada di dunia ini, termasuk kepalsuan yang bersembunyi di balik rumah ibadah. Ia berkata bahwa tugasku adalah tugas yang mulia dengan upah yang lebih dari biasanya. Seiring bertambahnya pekerjaan mengebom rumah ibadah, keraguanku semakin hilang. Aku mulai melihat pengeboman di tempat ibadah layaknya bonus hari raya yang biasa kebanyakan orang terima.
Terhitung dengan pengeboman yang baru saja tuntas pagi ini, aku sudah menyelesaikan dua puluh misi bunuh diri. Dua puluh kali aku mati dengan tubuh berserakan karena ledakan bom.
Pengalaman yang paling berkesan selama aku bekerja adalah saat tugas di pulau Bali. Bos memintaku untuk bunuh diri di tengah indahnya Pulau Dewata. Keindahan Bali yang selama ini aku idamkan, terwujud karena adanya pekerjaan ini. Bos benar-benar memahami aku yang belum pernah pergi ke pulau Bali dengan memberiku kesempatan untuk pergi ke sana.
Seusai misi di Bali, aku melihat bos sangat puas dengan pekerjaanku. Bagaimana tidak, aku berhasil mengubrak-abrik Pulau Dewata dengan meledakkan bom di tiga tempat yang berbeda. Awalnya Bos berpesan setidaknya aku bisa meledakkan dua tempat. Aku diminta untuk tidak terlalu memaksakan diri meledakkan ketiga bom karena masih dianggap masa magang. Tapi nyatanya, kuledakkan tiga bom di tempat yang berbeda. Aku membunuh orang lebih banyak dari target angka yang Bos berikan kepadaku. Sejak saat itu, aku mulai merasa bahwa hidupku masih ada artinya, setidaknya di mata Bos. Aku mulai serius menjalankan pekerjaanku: meledakkan bom dari hari ke hari, dari tempat satu ke tempat yang lain.
Setiap kali bom meledak, nyawaku terlempar bersamaan dengan nyawa orang-orang di sekitarku yang mati seketika. Tubuhku menjadi tembus pandang dan masih dapat bergerak bebas tanpa dapat dilihat oleh orang lain sekali pun oleh mereka yang mengaku indigo. Itulah sebabnya aku masih bisa melihat kepanikan, tangisan, dan mendengar teriakan orang-orang yang ada di sekitar lokasi pengeboman. Aku tidak bisa menyentuh mereka. Sama halnya dengan mereka yang tidak bisa menyentuhku. Itu sebabnya aku selalu bisa melihat tubuhku yang hancur berserakan tiap kali pengeboman berhasil dilakukan.
Sebenarnya aku tidak terlalu peduli juga dengan tubuhku karena memang tubuh itu bukan tubuh asliku. Tubuh asliku sudah lama berantakan di misiku yang pertama. Tubuh asliku telah meledak, terhempas, berserakan, bersamaan dengan beberapa stupa dan patung di Candi Borobudur.
Setelah kematianku yang pertama, bos menghidupkanku kembali dan aku bangun pada tubuh yang asing. Bos berkata tubuh asliku telah hancur dan berpesan agar aku tidak perlu peduli dengan tubuh baruku.
Biasanya Bos akan membangkitkanku lima belas menit usai tubuhku hancur berantakan. Awalnya memang ganjil karena terlahir di tubuh baru meski lama kelamaan aku mulai terbiasa dibangkitkan di beragam tubuh. Aku pernah dihidupkan kembali dengan menempati tubuh seorang pengusaha kaya raya, pemuka agama, ojol, bahkan di tubuh seorang biduan dangdut. Aku sadar tubuh memang tidak sepenting itu. Tagihan listrikku dibayar dengan upah dari Bos, bukan dengan rasa gengsi atau malu karena mendiami tubuh seorang wanita atau pria dengan tubuh buruk.
Berpindahnya aku dari satu tubuh ke tubuh yang lain, menjadi alasan aparat keamanan dan detektif selalu buntu dalam menangani kasusku. Mereka sebenarnya tidak pernah mengetahui apa pun tentang aku atau Bos. Mereka hanya membongkar identitas dan menguras fakta di tubuh lama milikku tanpa bisa menemukan jiwaku.
Ketika aparat keamanan sibuk mengusut identitas dari tubuh lamaku, aku sudah tinggal di tubuh yang baru dengan misi yang baru. Selalu begitu, terus menerus, hingga aparat selalu menetapkan kasusku sebagai kasus buntu. Sehelai rambutku pun tak pernah tersentuh oleh mereka.
Siapa yang mengatakan bahwa pelaku bom bunuh diri akan masuk neraka?
Aku tidak pernah peduli akan keberadaan neraka atau surga. Yang terpenting adalah aku selalu punya uang untuk makan, membayar kontrakan rumah, membeli pakaian, dan membeli kuota untuk menonton serial film kesukaanku.
***
Mataku tertuju pada kerumunan biarawati di kejauhan. Aku melangkah menghampiri mereka. Beberapa di antara mereka menangis. Tidak sedikit juga biarawati yang berdoa dengan rosario di tangannya. Kudengar suster-suster itu mengucapkan kalimat yang sama secara berulang-ulang: “Ya Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat,”.
Biarawati-biarawati ini sebenarnya tidak perlu menangis, apalagi mendoakanku. Aku sangat paham dengan peristiwa saat ini. Sebuah kesalahan sebenarnya jika mereka mengatakan bahwa aku tidak tahu tentang tindakan yang sedang aku lakukan. Aku bekerja. Aku berjuang untuk melanjutkan kehidupan. Aku sangat paham bahwa ketika tidak bekerja, tiada pernah kurasakan nasi dengan lauk ayam atau ikan, tidur di atas kasur yang nyaman, atau mencicipi rasa kopi yang dijual dengan harga mahal di pusat perbelanjaan.
Inilah pekerjaanku. Hidup untuk mati, dan mati untuk hidup. Aku tahu dan paham betul dengan pekerjaanku meski orang-orang di luar sana tidak pernah memahami itu. Mereka hanya menganggap aku sebagai manusia gila yang gemar menyebabkan huru-hara. Padahal di sini aku hanya bekerja. Ini adalah sumber penghasilanku.
Perlahan tubuhku mulai terasa ringan. Perasaan seperti ini adalah penanda bahwa aku akan segera dibangkitkan oleh Bos.
Aku melangkah meninggalkan kerumunan biarawati yang masih terus berdoa dalam tangisnya masing-masing. Semakin lama, suara kerumunan dan sirene ambulan di sekitar tidak terdengar.
Tubuhku semakin ringan. Kupandangi lekat-lekat lonceng gereja yang menjulang. Kupandangi halaman gereja yang berantakan. Beberapa petugas masih sibuk membersihkan percikan darahku. Aku tersenyum dan memejamkan mata. Mempersiapkan diri untuk bangun di tubuh dan misi yang berbeda. Mencoba menerka target pengeboman yang akan bos berikan selanjutnya, tanpa peduli bahkan bertanya tentang alasannya.
Saatnya kembali bekerja.
Bandung Selis-Kutoarjo, 28 Maret 2021