Miris, sangat miris. Pada tanggal 18 Agustus 2022, ISMAFARSI (Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi Seluruh Indonesia), selaku organisasi terbesar yang menjadi domain bagi seluruh organisasi mahasiswa farmasi di Indonesia, mengunggah poster pernyataan sikap tentang legalisasi ganja yang sangat rancu dan kontradiktif. Pernyataan mereka sangat-sangat membingungkan publik dan menimbulkan pertanyaan: sebenarnya mereka setuju atau menolak legalisasi ganja?
Unggahan tersebut diunggah di Instagram @ismafarsi. Poster itu berjudul “Pernyataan Sikap Legalisasi Ganja: Kami Menolak!!!” Bak seorang pahlawan, raut wajah mereka terlihat percaya diri dengan menggunakan almamater. Padahal, ada banyak mahasiswa di luar sana yang sedang tertawa keras melihat poster itu.
“Menolak kok bikin pernyataan, sedangkan yang memperjuangkan legalisasi untuk medis sudah bikin buku, loh…”
Kenapa saya bilang rancu? Judul dan isi pernyataan tersebut sama sekali tidak mewakili substansi. Judul pada unggahan tersebut terlalu subjektif, seoah-olah berupaya menjadi antitesis legalisasi.
Ada beberapa poin yang ditulis pada poster tersebut:
1. Menolak tanaman ganja untuk dilegalkan di Indonesia dengan alasan apapun termasuk untuk kepentingan medis.
2. Mendesak pemerintah dalam hal ini Kemenkes RI dan DPR RI untuk menindaklanjuti serta mendukung riset dalam penemuan evidence based medicine aktivasi/pemanfaatan bagian ganja medis yang potensial untuk pengobatan yang selanjutnya dilakukan penyesuaian UU Narkotika NO. 35 Tahun 2009 untuk bagian zat yang potensial (cannanidiol) agar dimasukkan ke dalam golongan II narkotika.
3. Mendukung organisasi profesi Ikatan Apoteker Indonesia dan seluruh stakeholder farmasi untuk berperan proaktif dalam pengadvokasian isu legalisasi ganja medis.
4. Mendukung apoteker seluruh Indonesia untuk melakukan penelitian terkait ganja medis yang kemudian diklasifikasikan dan dilakukan riset, serta berperan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat terkait pemanfaatan senyawa dalam ganja yang tidak memiliki potensi psikoaktif.
Kontradiksi
Pada poin 1, mereka menyatakan menolak. Namun, pada poin selanjutnya mereka mendukung adanya penelitian. Bagaimana ini? Isi pernyataan mereka terlihat sangat kontraditif dengan judul. Kalau memang ingin mendukung penelitian ganja hanya boleh dilakukan oleh apoteker, mengapa menolak legalisasi ganja untuk medis? Ini tentu memicu api berkobar di dalam rumah sendiri.
Baca juga:
Cara penyelenggaraan produksi dan atau penggunaan narkotika untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan sebenarnya sudah ada di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 16 Tahun 2022. Saya meragukan kalau ISMAFARSI telah membaca peraturan tersebut. Jika sudah membaca, tidak mungkin poin nomor 2 terbentuk, yang mana ISMAFARSI mendesak Kemenkes RI agar menindaklanjuti riset pada ganja medis.
Selain itu, ISMAFARSI dalam narasinya menggunakan UU Narkotika NO. 35 Tahun 2009, yang mana mereka mendesak agar bagian ganja medis dimasukkan ke dalam golongan II narkotika. Sedangkan beberapa saat sebelum ISMAFARSI membuat pernyataan, Permenkes No. 16 Tahun 2022 sudah ditetapkan.
Mereka berkata kepada publik menolak legalisasi ganja dengan alasan apapun termasuk untuk kepentingan medis. Lalu, untuk apakah tujuan penelitian dilakukan bagi ISMAFARSI? bukankah penelitian tersebut kelak akan jadi bahan pertimbangan dalam medis? Dalam hal ini, ISMAFARSI sudah skeptis sejak awal, sebelum penelitian mendapatkan hasil.
Pemanfaatan pada penelitian yang akan digunakan nanti, sudah digugurkan melalui poin 1 yang dikatakan ISMAFARSI. Perlu dikaji kembali perihal poin 1 dan judul pada poster.
Memberikan Informasi, Bukan Pernyataan
Saya sendiri mengakui legalitas tanaman ganja untuk kepentingan medis di Indonedia memang belum siap. Itu terjadi karena penelitian yang dilakukan oleh peneliti di Indonesia belum banyak—agar tahu kadar atau dosis yang relevan untuk penyembuhan penyakit. Namun, kita telah melihat bahwa Menteri Kesehatan telah mengeluarkan peraturan terbaru. Maka pernyataan ISMAFARSI tersebut mesti dipertimbangkan lagi.
Forum mahasiswa farmasi perlu memberikan informasi yang relevan kepada publik, bukan memunculkan pernyataan. Bahkan saya sendiri masih bingung, pernyataan tersebut sebetulnya ditunjukan kepada rakyat atau pemerintah. Sebab, ketidakjelasan pada pernyataan ISMAFARSI tersebut menimbulkan banyak asumsi yang entah baik atau buruk.
Pernyataan ISMAFARSI nasional itu ternyata tidak selalu diterima oleh cabang-cabangnya. Ada beberapa anggapan bahwa pernyataan tersebut hanya dikaji oleh mahasiswa yang berkuasa semata di pusat. Anggapan seperti ini saya lihat di kolom komentar instagram Ismafarsi dan postingan @farmasetika.
Ada seorang kastrad yang komentar panjang lebar di postingan itu. Ia berkata bahwa mereka berjuang atas nama kefarmasian, mendukung zat CBD yang potensial untuk menyelamatkan masyarakat. Baginya, mereka tetap berada pada domain profesi kefarmasian, bukan domain penggunaan umum.
Semestinya, jika kedua domain tersebut menuju arah yang sama, yaitu pemanfaatan, mengapa ISMAFARSI seolah berupaya jadi antitesis domain yang lain? Apakah ada sesuatu yang hendak dituju?
Postingan feed instagram itu mengarahkan orang-orang ke website dan YouTube akun ISMAFARSI. Jika Anda membaca di web, semua tulisan di sana berisi peraturan yang minim sisi ilmiah kefarmasian. Sedangkan jika Anda melihat di YouTube, Anda mungkin akan tertawa keras karena melihat adanya reka ulang adegan pada video kajian itu. Selain itu, pendapat yang dilontarkan pun semuanya sama, kaku dan artifisial—seolah sudah diatur untuk jadi tontonan publik.