Kepala Aroma Lada dan Puisi Lainnya

Regent Aprianto

1 min read

Kepala Aroma Lada

Kita sebutir kepala beraroma lada
Mengantre giliran atas sebuah pelukan kecil
yang dibalas lebih erat dan dalam
oleh malaikat penjaga pintu tiga belas.

Lembutnya kesementaraan mengusap
bulir-bulir di pelipis dan kecemasan.

Kita sebutir kepala beraroma lada
Mengantre dengan sisa-sisa udara
di sekat diafragma dan kantung air mata
atas sebuah doa kecil yang dibalas
lebih lantang dan tajam
oleh seseorang di balik pintu tiga belas.

Matanya kuncup saat sesak kian seperti kematian
Padahal sesekali luka tak butuh bela sungkawa
di mimbar-mimbar pidato dan wastafel cuci tangan.

(Gorontalo, 2022)

Mendung

Kematian seperti awan
datang dari entah,
berembus ke entah

Kematian seperti awan
yang mendung,
tak dapat diurung

Kini kau bulir air
dalam gumpalan awan,
di antara gemuruh kehampaan

(Makassar, 2018)
_

Warna Baju

Menapaklah kita pada simpangan
—jalan terakhir yang saling silang
Barangkali permintaan yang banyak
terlibat dalam doamu, akhir-akhir ini
terlalu muluk dan menggusarkan

sampai-sampai dari sisi jalan yang bersebrangan
kulihat warna baju kita pun berbeda; kau hijau datu
sedang aku biru pilu

“Cinta selalu hitam-putih,
untuk kita yang berwarna-warni!”
suara dan seluruhmu
melesap menjauh.

(Gorontalo, 2020)

_

Seperti

Seperti bara dupa, langit kemerahan
Seperti kabar duka, hujan kematian

Seperti kembang api, tembakan senjata
Seperti kabut pagi, letusan gas air mata

Semua seperti
Terus berganti
Semua seperti
Saatnya mati
Tapi tragedi selalu lahir
Dan berulang tahun lagi.

(Gorontalo, 2022)

_

Di Tubuh Ibu, Saat Kau Tak Kembali

Ibu melepasmu dengan sekantong keinginan;
Mendapati kau lelap di bantal kapuk,
kala azan subuh mengusik cuplikan mimpimu yang seru.
Ibu ingin kau menggerutu
setelah tahu gadis pemetik bunga yang kaukagumi
lekas meninggalkanmu sendiri
meringkuk dalam kantukmu yang menggantung.

Ibu ingin kau menuju kamar mandi, bersuci, berwudu, berdoa dalam gigil.
Ibu ingin mendengar hafalan tiga Qul yang kau lantunkan di sajadah depan,
di ruang kosong warisan Ayah.
Ibu ingin kau menuntun zikir-zikir pagi walau sayup suaramu diselingi
keruyuk ayam dan lambungmu yang sunyi.

Ibu bisa punya banyak sekali keinginan sekaligus kantong di tubuhnya.
Sesekali dia menyileti tubuh sendiri, demi menyimpan beberapa mimpi
yang barangkali bisa kaugunakan dewasa nanti.

Di hari kau pamit pergi karena bosan menonton televisi,
Sebenarnya dia sudah membuka kantong baru.
Tapi kau tidak pernah kembali.

Keinginan Ibu jadi tumpah-ruah menggenangi ruang rumah,
sajadah depan warisan Ayah melengang sepanjang usia,
dan Ibu menjahit luka-luka yang basah menganga
dengan helai benang panjang dari sudut matanya.

(Gorontalo, 2022)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Regent Aprianto

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email