Suka gambleh sepak bola

Kelakar Suram Perdagangan Paling Gemilang

Naufal Zabidi

2 min read

Kumpulan cerpen Kisah-Kisah Perdagangan Paling Gemilang (2020) menyajikan sesuatu di balik perdagangan yang tak terduga jalannya. Senang dan kesal menjadi ekspresi kejenakaan sekaligus sentilan tajam Ben Sohib dalam bukunya ini.

Jika perdagangan dibayangkan sebatas transaksi dan kerja keras, bayangan tersebut tidak berlaku dalam bingkai pengisahan Ben Sohib. Ben justru menuliskankan kisah-kisah suram dan penuh tragedi di balik perdagangan masyarakat Betawi. Dengan membumbui sisi suram tersebut menggunakan cara yang jenaka, buku ini dapat mengungkap kelindan antara yang suram dan yang jenaka.

Mengambil Jakarta sebagai latar tempat, Ben Sohib membuka kumpulan cerpennya dengan kisah yang begitu mirip dengan tergusurnya masyarakat Betawi di wilayah Jakarta. Mulanya, masyarakat Betawi merupakan suku asli di ibukota. Namun, banyaknya imigran yang berdatangan dari luar daerah serta derasnya proyek pembangunan membuat mereka terpaksa menyingkir.

Pada cerpen berjudul Para Penjual Rumah Ustadzah Nung, dikisahkan seorang pemuda bernama Abdullah memaksa ibunya untuk menjual rumah yang mereka tempati. Anak bungsu Ustadzah Nung ini berambisi menjalin hubungan rumah tangga baru—setelah bercerai dengan mantan istrinya—dengan teman sekaligus cinta pertamanya saat SLTA. Dari sinilah muasal rumah mereka diperdagangkan. 

Abdullah digoda seorang makelar tanah tatkala ia terlihat murung dan galau di pojok teras rumah. Ini sudah menjadi kebiasaan Abdullah setelah berpisah dengan mantan istrinya dan menduda selama delapan tahun. Godaan-godaan makelar tersebut menghasut Abdullah untuk segera mengemis pada ibunya agar rumah yang selama ini mereka huni dijual.

Sebenarnya, Ustadzah Nung sungguh keberatan bila rumahnya dijual, sebab rumah itu merupakan peninggalan suaminya. Ustadzah Nung pun masih betah tinggal di rumah itu. Apalagi, di usianya yang telah senja, tak baik bila dirinya memaksakan diri untuk berpindah-pindah tempat. Namun, anak bontotnya itu memaksa Ustadzah Nung habis-habisan hingga ibu empat ini tak tahan dan mengabulkan permintaan anaknya.

Abdullah kekeh merengek pada ibu dan kakaknya, semua upaya bujuk rayu ketiga kakaknya tak mempan. Dengan khasnya yang tak fasih melafalkan huruf “s” karena dua gigi depannya rompal, Dulah bilang begini, “Umi akan baik-baik tsaja, kalian berlebihan! Ini mumpung tsekarang harga tsedang tinggi, mau menunggu apa lagi? Kalian tega melihat Dulah hidup merana tseperti ini bertahun-tahun? Kalau begini terus, Dulah bitsa-bitsa duduk dan jalan-jalan telanjang di depan rumah!” (Hal. 10)

Kisah Ustadzah Nung ini mirip dengan pengalaman nyata masyarakat Betawi yang kehilangan tanahnya. Jika kita kembali mengingat sejarah, orang Betawi pada masa 1970-1990 merupakan tuan tanah dengan sejumlah kontrakan. Banyak di antara orang Betawi yang pada akhirnya memperdagangkan aset mereka karena tingginya kebutuhan hidup di Jakarta dan tingginya arus pembangunan. Di sisi lain, generasi tuan tanah ini juga layak dipersalahkan karena tak mau menabung lantaran dimanjakan harta warisan.

Pengambilan latar suku Betawi ini tak terlepas dari diri Ben Sohib yang memiliki latar belakang Arab Betawi. Inspirasi menuliskan orang Betawi dari sudut pandang orang Betawi semacam ini juga pernah dilakukan penulis ternama seperti Firman Muntaco dan Mahbub Djunaidi. Mereka berupaya untuk melukiskan pergulatan orang Betawi mempertahankan diri dan identitasnya.

Perdagangan yang Suram dan Menyenangkan

Yang juga penting dalam perbincangan perihal suku Betawi adalah geliat perdagangan yang gelap nan suram. Ben mengisahkannya dengan apik dalam buku kumpulan cerpen ini.

Cerita soal perdagangan yang suram sekaligus menyenangkan tampak pada beberapa kisah-kisah berikutnya. Pada cerpen Si Dulah di Toko Bang Rizal, diceritakan seorang pedagang memaksa istrinya menjadi bahan rayuan pelanggan di tokonya. Saat pelanggan—yang kebetulan adalah Dulah—mulai merasa berhasil merayu wanita tersebut, pemilik toko dengan mudahnya memuluskan praktik tipu-menipunya pada pelanggan yang diajak bekerja sama. Begitu pula perdagangan gelap ini dikisahkan pada cerpen berjudul Burung Nasar dan Kutukan Korban Kesembilan, hingga cerpen Kisah-Kisah Perdagangan Paling Gemilang di bagian akhir buku.

Poin penting lain yang menjadi keunggulan Ben Sohib adalah caranya membuat kisah-kisah suram tersebut menjadi jenaka. Sebagaimana tadi saya jelaskan, dua hal dikotomis dalam kehidupan ini berhasil dibuat menyublim dan tampak kelindannya oleh penulis kelahiran Jember ini.

Bagi saya, kejenakaan Ben memuncak pada cerpen Bagaimana Nasrul Marhaban Mati dan Dikenang. Betapa kisah tersebut membuat pembacanya terkekeh dengan rahasia Nasrul Marhaban. Ia tidak dikenal sebagai orang taat dengan agama. Namun, saat kematiannya, warga menyaksikan Nasrul menyelamatkan Al-Quran yang jatuh terseret derasnya air sungai. Sejak peristiwa itu, Nasrul Marhaban kerap disebut-sebut dalam khotbah dan ceramah di kampungnya.

Sebenarnya, dari peristiwa kematian Nasrul, ada sejumput kisah yang disembunyikan Emeh, istrinya. Sejumput kisah tersembunyi inilah yang membikin cerpen ini begitu lucu dan tak terduga. Hanya Emeh yang tahu dan sengaja merahasiakannya. Emeh tahu bahwa sehari sebelum peristiwa itu, Nasrul Marhaban baru saja menerima uang gajian. Dan hanya Emeh yang tahu bahwa lelaki itu biasa menyimpan uangnya di antara lembar halaman Al-Qur’an. (Hal. 60)

Perdagangan dalam kumpulan cerpen Kisah-kisah Perdagangan Paling Gemilang adalah potret keganjilan dalam kanvas kehidupan. Mulai dari akar perdagangan yang memang bermasalah, cara berdagang, hingga keyakinan terhadap sesuatu yang tak dapat dipastikan, semuanya memiliki segi problematik dan terjadi secara bertautan.

 

Editor: Emma Amelia

Naufal Zabidi
Naufal Zabidi Suka gambleh sepak bola

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email