Sejauh Stasiun dapat Menggapai
“Kereta akan sampai di Stasiun Bekasi. Pastikan aku tidak tertinggal.”
Aku bersiap-siap di depan pintu
Pintu kereta terbuka dan aku keluar hanya untuk duduk di kursi peron
Sudah lagi kita berpisah
Diiringi keramaian demi keramaian sampai ke rumah
Lama lagi menunggu kasih
Pekan ke pekan mencoba memberi makna pada pertemuan-pertemuan
Lebih banyak dari mereka terjebak dalam sangkar-sangkar tumpukan buku dan jarak antara aku dan subuh
Jika, seandainya, barangkali
Aku menemanimu pulang sejauh yang kubisa
Akankah kau berpikir aku begitu mencoba
Atau pada akhirnya, makna memang tak pernah dianggap ada?
–
Kekalahan-Kekalahan
: Mana yang lebih buruk, tidak dicintai karena yang kau cintai mencintai orang lain atau tidak dicintai karena yang kau cintai mencari orang lain?
Beberapa orang berjalan untuk menepi
Barang sesekali di pinggir jalan, melihat dirinya sendiri di bawah terang lampu-lampu atau warung-warung makan
Mengingat masa-masa yang lalu sebagai rekreasi
Seperti menjemput seorang nenek terkasih dari bandara isi kepala sendiri
Pesta-pesta di belakang layar sudah usai
Aku beranjak dari satu ruang ke ruang lain menutup tirai
Lapangan-lapangan dan pendapa-pendapa ditelan gelap
Semua tangis tak perlu repot mendadak diterangi cahaya
Burung-burung masih terus mencaci-maki malam itu
Seperti kekusutan-kekusutan yang tak bisa kita tanggung
Carut marut yang berusaha kita tinggalkan
Seperti sihir hitam yang mengacau lebih dalam
Kalah mana yang lebih ringan
Oleh orang atau kekosongan
Pada penunjuk jalan atau ketidaktahuan rute
Pada terkasih atau khayalan-khayalan
Lengang, lengang
Dan kau akan pulang lebih awal
Beberapa upaya untuk menyeberang
Tampak belum bisa dipegang
Apa maknanya waktu-waktu yang sekarang
Kecuali hidup dan hanyut perlahan-lahan
Tiap detik, tiap jam, makin tengah malam
Lebih mudah berhenti, membaca cerita-cerita, dan mengakui bahwa tak semua hidup dapat dibaca
–
Memulai Sesuatu
Betapa sulit untuk memastikan sesuatu
Diri manusia selalu ditutup gorden-gorden dan dinding-dinding berbatu
Siapa kira ketika ia keluar
Saat itu, ia telah berusaha membangunkan dirinya sendiri yang baru saja hancur lebur?
Siapa dapat melihat
Luka-luka di balik pakaian dan pikiran
Ditutup perban atau diam
Sembuh atau makin jauh meradang
Aku ingin seperti panorama-panorama yang membuatmu mulai bersuara
Kau mulai bercerita tentang hutan
Tentang rak-rak buku
Atau jalan raya yang penuh kemacetan
Gerbong-gerbong kereta yang ramai,
danau-danau yang sepi,
musik-musik mengalun, waktu istirahat berlalu, atau
hari-hari yang selesai bertalu
Dan tidur dengan nyenyak
Karena siang sudah biasa membuat kita remuk
Berita-berita lebih sering membuat kita terhenyak
Dan pekerjaan membuat kita mengamuk
–
Jam-Jam Sibuk
Waktu masih membuat kita berlari-lari
Kita menangis di perjalanan
Dan di waktu-waktu yang luang
Kita melihat-lihat lagi manusia
Merasa kurang
Atau mencoba menjadi manusia
Yang tak pernah dikenal zaman
Air mata berhamburan di kertas-kertas
Di layar-layar atau
Di genggaman pasar
Semua orang akan menderita dan
kabar-kabar makin pekat di udara
Mimpi-mimpi jadi siang
Dan orang hanya ingin mengetahui malam yang terang
Pintu-pintu harus tetap terbuka
Untuk mengakui kekalahan atau
menerima bahwa ada hal-hal baru yang perlu dikerjakan
Pada rumah
Ingin bersandar dan tertidur
Pada suatu akhir yang dirasa
tidak pernah dicapai sebuah masa
–
Siapa yang Lebih Dahulu Membenci Kata-Kata
Aku masih terbata-bata membaca kemungkinan
Aku masih buta waktu, buta segala
Karena jalan-jalan yang sepi hanya membuat kepalaku sibuk
Lampu-lampu di rumah menyusupi mataku
Aku suka membaca kesedihan dan memungut abu
Aku lupa jadi permintaan dan berhenti berharap pada keinginan
Kupikir baik juga jadi reruntuhan karena aku tak perlu tetap berdiri kokoh
Retakku memilih roboh
Pada puisi ini aku masih juga meraba-raba
Remuk redam benarkah kupendam jauh di dada
Atau beberapa puisi sebenarnya tak punya fondasi apa-apa dan manusia hanya suka menghidupi tawa
Aku tak pernah bisa berdamai seperti sediakala
Aku ingin pulang kepada luka-luka
Tinggal bersamanya hingga aku dapat mencintai duka-duka seperti aku senang untuk bicara
Aku akan terus bicara hingga kata-kata membenciku
Aku tak kehilangan apa-apa, kata-kata tak ingin membicarakanku juga sedari dulu, bahkan semenjak aku berkeinginan jadi penyair
Aku ingin berdinding tangis lara
Dan tiap-tiap kebaruan rasanya yang tak pernah dapat kuadaptasi itu, aku dapat memandanginya dengan cukup
Kali itu aku tak ingin menyembunyikan tangis, tangis kini menyembunyikan aku
Hidup sekali rasanya, pada puisi ini aku tak perlu membawa data-data
Bukti-bukti selalu mengaburkan pandangan
Menyentuh keseluruhan realitas seperti menyentuhmu—tak pernah bisa
Melihat realitas secara parsial, seperti mencintaimu tapi penuh kekurangan manusia
Atau puisi yang tak pernah puas dan tak pernah menyentuh keseluruhan perasaan kita?
Apa itu? Kendala bahasa
Ah, iya, di dalam totalitas makna
Di mana aku tidak ada
Aku yang ada pada bahasa, tak juga jadi aku yang menulis puisi ini