/1/
Sepasang matamu adalah puisi, kekasih
Kata-katanya terbuat dari lentik-lentik bulu
Dan maknanya tersirat kala matamu berkedip-kedip.
/2/
Sepasang matamu adalah matari kembar
Tiada seorang pun yang berani menatap
Apalagi bersitatap
Dan aku adalah yang buta karenanya
/3/
Kenapa hari-hari aku bangun lebih pagi buta?
Karena aku ingin menikmati hidup lebih panjang dari yang lainnya.
Dan kenapa aku lebih hidup di malam hari?
Karena aku adalah doa.
/4/
“Mana bunga untukku?” tanyamu padaku
“Apa perlu aku bawa bunga? elokkah ‘bunga’ aku kasih bunga” jawabku
Aku datang gembalakan awan mendung
Tiba saat kau tersenyum, mereka merekah dan engkau basah
/5/
Kedipan matamu adalah tebasan pedang sekali ayun
Dan cambukan rotan sekali gebuk
Aku antara hidup dan mati
Setengah sadar dan tidak
Kematian pelan-pelan datang sarat keserakatan
Cinta mengulurkan tangannya, dan berkata “Sudah waktunya”
/6/
Kutanyai kekasih “Apa warna dari kenangan?”
“Tak patut kau bertanya demikian” jawabnya
Baik manis dan pahit sekalipun kenangan itu
Andai dikenang, yang pahit berubah manis, dan yang manis tambahlah manis
Jadi kenang-kenanglah, kenangan sedih itu
/7/
Aku senandungkan seribu puisi cinta
Cinta menjawab : “Pembual!!! Cinta bukan definisi, cinta adalah dzauq (merasakan)”
“Sejuta kata makanan tidak akan mengenyangkan dan sejuta kata air tidak akan mengenyahkan dahaga”
/8/
O, Bulan berkah
Dari-Mu segala nikmat tumpah ruah
Para ahli ibadah dan peronda malam tampak cemas bila kelewat menyaksikan malam lailatul qadr
Sedang, aku pendosa selalu menemukannya di wajahmu tiap malamnya
Aku bersaksi, malam ini sungguh sekali-kali purnama tidak bersinar terang kecuali dibasuh wajahmu