Bagi rakyat, kedaulatan adalah hal semu, seperti mobil impian. Saya akan mulai tulisan ini dengan mengajak Anda berimajinasi. Andaikan Anda memiliki sebuah mobil impian. Mobil yang Anda idam-idamkan hingga terbawa dalam mimpi itu sekarang sudah bisa Anda miliki. Tetapi, karena sesuatu di luar kehendak, Anda terpaksa harus merelakan mobil itu kepada seorang teman yang punya usaha sewa mobil.
Suka atau tidak, kesepakatan kerja sama antara Anda dengan teman Anda dibuat. Mulai saat ini mobil impian Anda akan disewakan melalui teman Anda kepada siapa saja yang punya minat dan tentu saja uang. Teman Anda mengurus segala sesuatu terkait sewa-menyewa mobil. Tugas Anda hanya memilih kepada siapa mobil ingin disewakan.
Saat mulai disewakan, ternyata mobil Anda menarik banyak peminat. Puluhan orang mengajukan diri untuk bisa jadi penyewa. Oleh karena itu, teman Anda kemudian memutuskan, untuk setiap penyewa hanya diberikan durasi sewa selama 5 bulan. Selanjutnya, tugas Anda adalah memilih satu orang yang akan menjadi penyewa pertama.
Waktu terus berjalan, 5 bulan berlalu dan durasi sewa orang pertama pun habis. Kemudian, teman Anda datang dengan membawa map berisi tumpukan kertas. Dia datang untuk menyerahkan daftar nama orang yang harus Anda pilih sebagai penyewa kedua. Setelah nama sudah Anda putuskan, maka urusan lain-lain diambil alih oleh teman Anda.
Baca juga:
Urusan lain-lain sudah diselesaikan oleh teman Anda dan kesepakatan sudah dibuat. Mobil pun berpindah tangan dari penyewa pertama kepada penyewa kedua. Siklus ini terus berjalan sepanjang waktu, setiap 5 bulan mobil impian Anda berpindah tangan dari satu penyewa kepada penyewa lain, tanpa pernah bisa Anda gunakan untuk diri sendiri.
Di Mana Kuasa Rakyat?
Cerita di atas adalah analogi yang ingin saya gunakan untuk menggambarkan dengan lebih sederhana relasi antara kedaulatan dengan rakyat. Coba Anda ganti kata “Anda” dengan “rakyat”, kata “teman Anda” dengan “negara”, dan kata “mobil impian” dengan “kedaulatan”. Apakah cerita soal mobil impian di atas menjadi lebih dekat?
Negara, melalui Undang-Undang Dasar, menyatakan bahwa kedaulatan sebagai simbol kekuasaan tertinggi memang ada di genggaman tangan rakyat. Namun, melalui UUD juga negara mengatur bahwa urusan penggunaan kekuasaan tertinggi harus didasarkan pada sistem politik yang berlaku di Indonesia, yaitu politik perwakilan.
Walaupun sebagai rakyat Anda adalah pemegang kekuasaan tertinggi, bukan berarti Anda bisa mengatur besaran subsidi untuk bahan bakar minyak sesuai keinginan. Tidak juga bisa serta merta menurunkan harga sembako yang semakin mahal. Oleh negara, kekuasaan untuk melakukan hal-hal semacam itu diberikan kepada wakil kita di eksekutif.
Baca juga:
Anda juga tidak bisa sesuka hati membuat atau mengganti peraturan sesuai keinginan, seperti membatalkan revisi Undang-Undang KPK atau menolak rancangan Undang-Undang DKJ (Daerah Khusus Jakarta). Oleh negara, kekuasaan untuk melakukan hal-hal semacam itu diberikan kepada wakil kita di legislatif.
Lalu, apa yang bisa Anda dan saya lakukan? Sekadar menjadi penonton, menyaksikan bagaimana kekuasaan milik kita digunakan oleh wakil-wakil rakyat di atas sana sambil sesekali mengeluh dan protes di jalanan, di warung kopi, di acara keluarga, atau di media sosial, tanpa kepastian apakah aspirasi yang kita sampaikan didengar atau berlalu begitu saja.
Penuh Ironi
Tidak ada mekanisme resmi yang mengatur soal kemampuan rakyat melakukan koreksi secara langsung kepada pejabat di eksekutif dan legislatif. Kita tidak bisa memberikan perintah yang bersifat wajib untuk mereka patuhi dan laksanakan. Sekeras apa pun warga Rempang menolak penggusuran, proyek strategis nasional di sana pun tetap terus berjalan.
Baca juga:
“Ironi” mungkin adalah kata yang cukup bisa mendeskripsikan situasi ini, ketika kedaulatan tidak bisa serta merta digunakan oleh rakyat sebagai pemiliknya. Namun, ada satu waktu ketika kedaulatan itu dikembalikan, saat rakyat memiliki kendali penuh dan wakil-wakil rakyat di atas sana seakan menjadi patuh dan begitu sangat perhatian.
Kapan waktu itu datang? Setiap lima tahun satu kali. Ketika Anda dan saya diminta oleh negara untuk berbondong-bondong datang ke TPS, menerima surat suara dan membawanya ke bilik pemilihan. Di sana Anda dan saya diminta untuk memilih kepada siapa kedaulatan milik kita akan dititipkan selama lima tahun ke depan.
Sementara kita tetap hanya jadi penonton bagaimana kekuasaan itu berpindah tangan, semua kepatuhan dan perhatian calon wakil kita di eksekutif dan legislatif serta merta hilang ketika keputusan soal kepada siapa kekuasaan itu dititipkan sudah ditetapkan. Siklus lima tahunan dimulai kembali dengan kita yang tidak pernah bisa berbuat apa-apa.
Editor: Prihandini N
One Reply to “Kedaulatan Semu Rakyat”