Membaca menginspirasi saya

Kebutaan Sistemik dan Nirempati Orang-Orang ”Beruntung”

Windy Sherin

3 min read

Banyak dari kita pasti bertanya-tanya mengapa orang-orang yang hidup dalam kemudahan, seperti mereka yang punya penghasilan besar, jabatan penting, atau hubungan dekat dengan orang berkuasa, sering sulit untuk benar-benar mengerti dan merasakan kesulitan yang dialami oleh orang-orang yang terkena dampak ketidakadilan dalam sistem sosial. Padahal, banyak persoalan seperti kemiskinan dan diskriminasi bukanlah akibat pilihan atau kesalahan pribadi, melainkan produk dari bagaimana sistem sosial, ekonomi, dan politik dijalankan.

Kelompok yang beruntung ini justru cenderung menyalahkan individu yang sedang mengalami kesulitan. Misalnya, mereka menilai orang miskin sebagai pemalas atau menganggap orang yang mengalami trauma terlalu sensitif. Pola pikir seperti ini sebenarnya berfungsi sebagai mekanisme psikologis untuk melindungi diri agar tidak merasa terbebani atau terganggu oleh tanggung jawab atas ketidakadilan yang terjadi. 

Saya menyebutnya Ideologi Paliatif, sebuah cara untuk menjaga ketenangan batin dan rasa aman ketika menghadapi kenyataan sosial yang sulit.

Just-World Hypothesis (JWH): Keyakinan Akan Keadilan Dunia

Salah satu fondasi psikologis yang mendukung pola pikir ini adalah Just-World Hypothesis (JWH), atau keyakinan bahwa dunia pada dasarnya adil. Orang yang menganut pandangan ini cenderung meyakini bahwa setiap orang mendapatkan apa yang pantas mereka terima. Jika seseorang hidup dalam kesulitan atau mengalami penderitaan, maka itu dianggap sebagai konsekuensi dari kesalahan atau pilihan hidupnya.

Contohnya, ketika melihat seorang pekerja informal lanjut usia yang masih harus mengais rejeki di jalan, sebagian orang mungkin berkomentar, “Ya, mungkin dulu dia tidak menabung atau malas bekerja.” Padahal, bisa jadi orang tersebut mengalami keterbatasan akses pendidikan, diskriminasi kerja, atau krisis ekonomi yang tidak pernah dia pilih.

JWH bekerja sebagai cara untuk menenangkan kegelisahan moral. Dengan meyakini bahwa semua penderitaan itu “masuk akal”, orang tak perlu merasa terganggu atau bertanggung jawab terhadap ketimpangan sosial. Keyakinan ini juga berfungsi menjaga legitimasi sistem yang timpang, karena jika dunia memang adil, maka tidak ada alasan untuk mengubah struktur sosial yang ada. 

Fundamental Attribution Error (FAE): Menyederhanakan Kegagalan Sistem

Berbeda dari JWH yang berakar pada keyakinan moral tentang keadilan dunia, Fundamental Attribution Error (FAE) lebih berkaitan dengan cara berpikir instan saat menilai perilaku orang lain. FAE adalah kecenderungan untuk menjelaskan tindakan seseorang terutama berdasarkan kepribadian atau karakter pribadinya, sambil mengabaikan faktor situasional yang memengaruhi perilaku tersebut.

Baca juga:

Misalnya, ketika seseorang melihat pengemudi ojek online marah-marah di jalan, banyak yang langsung menilai orang itu kasar atau tidak punya etika. Padahal, mungkin ia baru saja kehilangan pelanggan karena sistem aplikasi yang error, sedang bekerja 12 jam nonstop, atau menerima potongan insentif sepihak dari perusahaan.

FAE terjadi karena menilai perilaku secara cepat terasa lebih mudah dibanding memahami latar belakang situasi yang kompleks. Dalam perihal sosial yang lebih besar, FAE membuat masyarakat cenderung menyalahkan individu atas kemiskinan, pengangguran, atau keterlambatan pendidikan, tanpa melihat ketimpangan sistemik, hambatan struktural, atau kurangnya akses yang adil.

Social Identity Theory (SIT): Ketika Identitas Sosial Menghambat Empati

Selanjutnya, Social Identity Theory (SIT) menjelaskan bagaimana manusia cenderung mengelompokkan diri berdasarkan asal-usul, status sosial, atau afiliasi kelompok tertentu. Kita merasa lebih dekat dan mudah berempati dengan orang yang “sekelompok” dengan kita, tapi cenderung menilai negatif dan kurang peduli pada mereka yang dianggap “lain”. Jarak sosial ini membuat penderitaan kelompok yang berbeda terasa jauh dan kurang penting. Dalam kasus yang lebih parah, muncul schadenfreude, yaitu kenikmatan saat kelompok lain mengalami kesulitan karena dianggap pantas.

Baca juga:

Pada kelompok yang memiliki kekuasaan atau status tinggi, muncul Defisit Empati-Kekuasaan, yaitu berkurangnya kemampuan dan motivasi untuk merasakan empati. Individu yang kuat menjadi lebih mandiri secara emosional dan kurang bergantung pada orang lain, sehingga lebih mudah mengambil keputusan yang menghasilkan ketidaksetaraan tanpa beban rasa kasihan. Bentuk ekstrem dari pelepasan empati ini adalah dehumanisasi, saat kelompok sosial tertentu, misalnya tunawisma, tidak lagi dianggap sepenuhnya manusia. Akibatnya, kewajiban moral untuk membantu mereka pun hilang, memperkuat jarak emosional dan ketidakpedulian sosial.

System Justification Theory (SJT): Kebutuhan untuk Mempertahankan Status Quo

Sejalan dengan kecenderungan dalam Social Identity Theory (SIT) yang mengedepankan loyalitas pada kelompok sendiri, System Justification Theory (SJT) menggambarkan kecenderungan individu untuk mempertahankan pandangan yang menguntungkan posisi mereka. Teori ini menjelaskan bahwa secara naluriah, orang berusaha meyakini bahwa tatanan sosial yang ada (status quo) adalah adil dan wajar.

Bagi mereka yang diuntungkan oleh sistem, keyakinan ini berfungsi sebagai pembenaran atas posisi dan privilese yang dimiliki. Ketika sistem dianggap tidak adil, hal itu menimbulkan rasa ketidaknyamanan dan kecemasan karena mengancam stabilitas dan rasa aman yang selama ini dirasakan. Oleh sebab itu, individu cenderung menolak perubahan, termasuk kebijakan redistribusi, untuk menjaga kenyamanan psikologis dan kedudukan sosialnya.

Penguatan Ideologis: Meritokrasi dan Narasi Media

Terakhir, bias-bias psikologis individu ini terus-menerus diperkuat oleh ideologi yang dominan dan cara informasi disebarkan. Ideologi meritokrasi, yaitu keyakinan bahwa posisi sosial sepenuhnya ditentukan oleh usaha dan kemampuan individu, berfungsi sebagai pembenaran bagi sistem yang tidak adil. Ide ini merasionalisasi ketidaksetaraan dengan menganggap kekayaan sebagai hasil kerja keras yang sah dan wajar. Selain itu, media massa turut memengaruhi lewat cara mereka membingkai cerita. Misalnya, ketika membahas kemiskinan, media sering terlalu menekankan kesalahan atau kegagalan personal, jarang menghubungkannya dengan isu sistemik. Pola ini secara masif menguatkan JWH dan FAE di benak masyarakat, mengurangi tekanan publik pada elit politik untuk mengatasi akar masalah struktural

Sebagai kesimpulan, kebutaan sistemik dan kurangnya empati di kalangan orang yang beruntung adalah hasil dari Ideologi Paliatif yang berlapis-lapis. Ideologi ini berfungsi sebagai mekanisme pertahanan psikologis yang diperkuat oleh kekuasaan dan dianggap wajar karena pengaruh ideologi dominan di masyarakat. Mekanisme-mekanisme ini saling bekerja sama untuk menyalahkan korban, menyederhanakan masalah yang sebenarnya bersumber dari sistem, dan mempertahankan keadaan agar tetap nyaman bagi sebagian orang. Akibatnya, motivasi untuk mengakui dan memperbaiki ketidakadilan yang ada menjadi sangat kecil. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Windy Sherin
Windy Sherin Membaca menginspirasi saya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email