Pengamat twitter, bisa ditemui di Jakarta dan sekitarnya seperti azan magrib.

Kebun Binatang

Inas Pramoda

11 min read

Kami tidak merayakan ulang tahun di rumah itu, sebab tidak ada yang benar-benar tahu kapan tepatnya tanggal kami dilahirkan. Ada yang dibuang di kardus makanan, dibungkus kresek hitam, dan aku katanya dihanyutkan dalam kotak kayu di kali, mirip-mirip Nabi Musa—hanya itu yang bisa aku banggakan ke anak-anak lain di panti. Tanggal lahir kami—untuk melengkapi administrasi—ditentukan berdasarkan hari di mana kami ditemukan, atau diantarkan. Maka, alih-alih merayakan ulang tahun, kami merayakan hari saat datang orang tua asuh untuk mengadopsi salah satu dari kami. Anak yang diadopsi haruslah berusia 5 tahun ke atas, dan saat giliranku tiba, ada empat anak lagi yang usianya sudah melewati batas itu: Toso (8 tahun), Dian (7 tahun), Kitong (6 tahun), dan Lani (6 tahun). 

Aku mengintip dari celah jendela di ruang Bu Rena, kepala panti. Panda sedang berdiskusi dengannya. Panda adalah panggilan dari kami untuk pria botak berkalung rantai yang menjemput anak-anak panti terpilih ke orang tua asuh. Lingkar matanya hitam seperti Toso saat begadang tiga malam, badannya tambun seperti Kitong versi dewasa, ia selalu mengenakan sarung tangan hitam dan sangat mirip dengan panda yang ada di buku bergambar di perpustakaan. Kami selalu dimarahi Bu Rena jika ketahuan memanggil Panda di depan orangnya. “Yang sopan, namanya Om Angin. Kalau ibu dengar lagi, jatah makan besok dikurangi!” Kami tentu terus mengulanginya jika tak ada Bu Rena dan Panda. Hari itu Bu Rena memanggilku ke ruangannya, aku disuruh berkemas karena seminggu lagi sudah mendapat orang tua asuh dan dijemput Panda.

Toso anak pertama yang menyelamatiku, mungkin sebagai yang paling tua ia merasa harus memberiku selamat paling awal. Aku berterima kasih dengan tidak enak hati, karena sekali lagi, Toso disalip juniornya dan harus menunggu entah berapa tahun lagi sebelum lulus dari panti. “Tahun depan Panda bakal datang mencarimu, kalau tidak, biar aku tendang selangkangannya,” kataku.

“Tidak perlu, aku betah kok di sini.”

“Terus, kenapa kamu banyak diam?”

“Habisnya, kita tidak bisa main bareng lagi.”

Lalu kami berpelukan. Perayaan adopsi dilakukan sehari sebelum Panda menjemput anak panti, tapi persiapannya sudah berjalan berhari-hari sebelumnya. Kami membuat jenang dan bergantian mengaduknya selama berjam-jam. Membuat jenang sudah menjadi tradisi panti tiap ada anak yang dapat orang tua asuh. “Bu Rena, kenapa tidak bikin kue yang gampang-gampang saja?” tanya Lani saat Rei dijemput Panda tahun lalu, dan ia kebagian jatah mengaduk jenang. Itu pertanyaan yang sangat wajar, karena jenang bukanlah sesuatu yang harusnya dibikin oleh anak-anak, percayalah.

“Ibu tahu kalian berat meninggalkan saudara kalian di sini, jadi lebih baik kalian keberatan mengaduk jenang. Lagian, kalian harus punya tangan yang kuat untuk hidup,” jawab Bu Rena yang setengahnya aku tak paham apa maksudnya. Sebagai anak yang dirayakan, aku mendapat jatah mengaduk jenang paling lama, aku sampai tidak menghitung berapa jam sudah berdiri di depan tungku tanah liat itu. Badanku bau jenang panas bercampur abu kayu bakar. Urat-urat di tanganku menonjol seperti ular. Dan mataku perih. 

Saat Panda datang ke panti, aku didandani dengan pakaian serba putih, mukaku dibedaki, rambutku diminyaki dengan minyak dari lilin madu. Aku membawa koper kecil berisi beberapa helai baju, sikat gigi, foto bersama saudara-saudaraku, para suster, dan Bu Rena, dan beberapa buku yang belum sempat kubaca dari perpustakaan. Panda membawa mobil bersudut kotak-kotak dan menyupirinya sendiri, aku disuruh duduk di sampingnya. Baru hari itu aku melihat dunia luar selain panti dan halamannya yang luas. Aku selalu menghadap keluar jendela sepanjang jalan, Panda diam saja, dan karena ia merokok, jendelanya jadi dibiarkan agak terbuka. Dari bangku depan aku melihat pemandangan seperti membolak-balik buku bergambar, dan tertidur seperti di kamar. Aku tersentak bangun karena Panda menggedor pintu tempatku bersandar agak kencang. “He, bangun!” Itu sungguh perjalanan yang amat lama.

Mobil diparkir di sebelah rumah yang jauh lebih besar dari pantiku. Panda menghentikanku mengambil koper di bagasi, ia bilang nanti saja dan menyuruhku masuk. Rumah itu betul-betul besar sampai membuatku berpikir apakah ini panti asuhan yang lain? Halamannya bahkan lebih luas dari di panti, atau harus kusebut, hutan? Mungkin akan butuh waktu seharian aku berlari dari ujung ke ujung tempat ini. Aku mengekor Panda masuk ke dalam, dan saat melewati dua daun pintunya yang setinggi dua kali Panda, tidak juga aku merasa rumah itu bertambah kecil. Panda mengenalkanku pada pemilik rumah maha luas itu, namanya Tretan Bin Acer. Ia harusnya yang akan menjadi orang tua asuhku, tapi betapa aku kecewa karena perawakannya hampir seperti Panda, dengan tambahan rambut tipis di kepala, kalungnya berantai emas, dan wajah yang lebih seram. Aku akan memanggilnya Beruang.

Beruang hanya tersenyum melihat aku datang, dari jarak satu meter saat Panda mengenalkanku pada Beruang dan menyuruhku menunduk untuknya, aku bisa melihat jelas label nama Tretan bin Acer di kemejanya. Ini yang pertama kali kupikirkan saat melihat Beruang. “Setelan yang rapi, tapi tidak cocok di badannya.” Yang kedua, aku berpikir: mengapa Panda menyuruhku menunduk dan bukannya bersalaman? Beruang tidak berkata apa-apa kepadaku, ia meneriakkan nama seseorang yang segera muncul di belakangnya, setelah itu Panda pamit pergi. Aku mengikutinya karena koperku masih di mobil, tapi Panda mengusirku dan mendorongku agar tetap di dalam. Saat tetap bersikeras mengambil koper itu, Panda menyikutku tepat di dagu sampai terjerembab. Keceng, pelayan kurus yang namanya tadi dipanggil, mengambil tanganku dan menyeretku masuk lebih dalam lagi ke rumah maha luas itu. Beruang memperhatikan sekilas lalu. Seperti melahap sarapan pagi, semua hanya hari biasa baginya.

Setelan putih-putihku dilucuti, rambutku dibabat habis, dan aku dimandikan seperti anak kucing dengan air dingin. Setelah dikeringkan dengan handuk kasar, Keceng melemparkan sehelai kaos putih dan celana pendek hitam. Punggung kaos itu bertuliskan angka 26, begitu juga celana pendeknya. Keceng lalu mencengkeram tanganku dan menarikku ke ruang bawah tanah yang pengap dengan hawa panas menguar sejak pintu masuknya dibuka. Ia lalu menyumpal mulutku dengan kaos kaki yang diikat mengitari kepala kecilku, menidurkanku tengkurap di atas kasur keras dengan enam atau tujuh sabuk yang melilit tubuhku, mengekang gerakanku hingga terbatas hanya pada sendi-sendi di leher dan buku jari. Beberapa saat Keceng menjauh entah menyiapkan apa, dan aku menggigit kaos kaki di mulutku karena tidak tahu apa yang sedang dan akan terjadi. Setelah itu celanaku disingkap, dan pantat sebelah kananku dicap dengan sebilah besi panas. Aku bisa mendengar suara mendesis seperti daging yang dibakar Bu Rena di wajan besi cor musim panas tahun lalu. Suaraku sendiri tertahan dan kaos kaki itu nyaris putus, aku menangis sejadi-jadinya. Semua itu berlangsung hanya beberapa detik yang terasa selamanya.

Aku lalu digiring melewati lorong panjang yang mengarah ke halaman belakang rumah. Setelah melewati dapur dan membuka pintu terakhir, sebuah serambi terbentang dengan keempat sisi yang dikelilingi tembok pucat, ada sebuah air mancur di tengah-tengah dengan mosaik tiga warna: merah, biru, dan putih. Aku harus bergeges mengikuti Keceng, sebab bila langkahku tertinggal maka rantai yang melilit leherku akan mengencang dan berakhir dengan tubuhku yang ambruk diseret-seret. Aku jatuh sekali di tangga kecil menuju dapur dan Keceng tidak peduli, ia terus menarik-narik rantai di tangannya yang segera saja membuatku berdiri. Ia mengeluarkan segerendel kunci dari saku celananya, dan memilih satu yang cocok untuk membuka pintu besi di serambi. Di balik pintu itu terhampar halaman belakang dan seorang tukang kebun yang sedang memotongi rumput-rumput liar. Semua di rumah itu terasa tidak ramah, bahkan angin yang menerpa mukaku.

Rasa sakit di pantatku menjalar sampai pinggul, tapi siapa yang peduli. Di sisi kiri halaman ada sebuah bangunan seperti kandang ternak kuda, Keceng membawaku ke sana. Ada tiga pasang kuda dengan bilik terpisah saling berhadap-hadapan, dan di ujung lorong itu, hanya ada dua ruang besar di kanan-kiri dengan jeruji besi berisi puluhan manusia. Napasku terasa sesak seketika. Aku menangis cengeng yang membuat penglihatanku kabur. Terakhir aku menangis seperti itu saat mengejar Dian dan membuatnya terjatuh hingga tangannya patah. Enam kandang kuda sebelumnya jauh terlihat seperti kamar dibanding dua kerangkeng itu. Di sebelah kiri ada wajah-wajah yang usianya mungkin sepantaran dengan Keceng, dan satunya lagi berisi anak-anak kecil seusiaku hingga belasan tahun. Semua mengenakan kaos putih dan celana pendek hitam dengan angka-angka sepertiku. Keceng membuka kerangkeng kanan, melepaskan ikatan di leherku, dan menyuruhku bergabung ke dalam.

“Woi 26, jangan nangis terus! Cepetan masuk, atau kupotong kupingmu pakai gunting rumput! Mau?” Aku terus memegangi jeruji besi dan enggan masuk, karena ia terus memaksa, kutendang selangkangannya dengan kaki kiri. Keceng mengaduh memegangi burungnya, lalu menatapku nanar sebelum menghantamkan punggung tangannya ke mukaku seperti cambuk. Tubuhku gontai dan ia segera menarik kaosku hingga sedikit sobek di kerahnya. Perlawananku sia-sia hingga pintu kerangkeng dikunci lagi setelah aku dilempar masuk ke dalam. “Bangsat! Anjing gila!” selorohnya sambil meludahiku dan hilang. Aku meringkuk memanggil-manggil Toso, Dian, Kitong, Lani, dan saudara-saudaraku yang lain. Aku bisa mendengar suara kuda meringkik, badanku babak belur, bayangan Panda, Beruang, dan Keceng terus muncul meski tak ingin kuingat-ingat. Sampai usia 7 tahun, Bu Rena dan para suster belum mengajarkanku memaki, mereka hanya mengajarkanku menangis. Tapi aku belajar dua umpatan dari orang yang menghajarku, dan kuteriakkan keras-keras di dalam kerangkeng itu, “BANGSAT! ANJING GILA!”

Aku dibangunkan dengan tepukan di bahu dan semangkuk air yang disodorkan untuk kuminum. Kaki kananku menyangga posisi duduk agar pantat yang terbakar itu tak mencium lantai. “Her?” Betapa terkejutnya aku mendengar seseorang memanggil namaku. Ia duduk tepat di depanku, dan tak kusangka akan bertemu lagi dengannya di sana. “Rei? Ini Rei?” Ia mengangguk haru dan kami menangis di pundak masing-masing. Anjing gila! Jadi selama ini semua hanya kebohongan, saudara-saudaraku dari panti dikirim ke sini dan tidur bersebelahan dengan kuda. Panda bangsat! “Bagaimana Bu Rena? Suster Silvi? Suster Muna?”

Rei menatapku. “Semua tahu. Mereka semua sindikat Her!”

“Apa itu sindikat?”

“Kumpulan orang jahat. Mereka semua bajingan!”

“Maksudmu, mereka semua bangsat? Anjing gila?!” Rei mengangguk. Darinya aku tahu sistem perbudakan di sini. Anak-anak perempuan diletakkan terpisah, khusus untuk melayani rumah bordil, mereka menyebutnya pelacur. Sementara kami dipekerjakan paksa menjadi buruh kopra 12 jam sehari. Badan kami kurus kering seperti Keceng dan tulang pipi kami menonjol jelas karena kurang gizi. Sementara paru-paru kami berantakan digilas asap pembakaran batok kelapa tiap hari. Kami dipanggil dengan angka-angka yang terukir di pantat kami seperti kuda ternak. Rei punya angka 11, dan aku terpaksa memanggilnya begitu jika tak mau dipukuli. Di antara sekian banyak anjing gila di rumah itu, jelas yang paling anjing dan yang paling gila adalah Tretan Bin Acer. Ia perwujudan dari iblis dan keluarganya adalah anak-anak setan bertopeng manusia. Sang istri adalah perempuan laknat yang menganggap seluruh rumah itu tempat wisata, dan kami tak lebih dari monyet-monyet penunggu gua. Ia mendatangi segala tempat yang membuat kami trauma sambil merekam gambar dan membuat dokumentasi. Sang anak yang masih berusia 19 tahun merasa dirinya tuan putri dan menganggap orang lain layaknya kecoak, ia bebas memotong kepala mereka hanya untuk membuktikannya bisa tetap hidup sampai seminggu. Kabar buruknya, Beruang selalu mendukung kegilaan putrinya, itulah yang menjadikannya iblis nomor satu.

Kami mengingat dengan pasti umur sang putri karena tiap ulang tahunnya adalah neraka. Neraka itu terus berulang setiap tahunnya, setiap tahunnya, dan hanya ia dan keluarga laknatnya yang menikmati itu. Ada dua acara tahunan untuk memperingati ulang tahun putri Beruang: hiburan dan perburuan. Kami selalu berharap bisa terpilih untuk tampil dalam acara hiburan, meskipun menjijikan. Itu adalah pementasan teatrikal yang digagas oleh Beruang. Anjing gila itu tergila-gila dengan koboi dan dunianya. Ia membuat drama penyelamatan seorang perempuan dari tangan bandit jahat. Yang memainkan peran koboi selalu Beruang, istrinya menjadi perempuan yang diculik, dan banditnya antara Keceng atau Panda. Sisanya adalah kuda-kuda, yang tak lain adalah kami. Kami harus meringkik seperti kuda, berjalan dengan empat kaki seperti kuda, bugil seperti kuda, sesekali burung kami harus tegak kencang seperti kuda, dan kawin seperti kuda. Yang paling sial adalah kuda yang ditunggangi Beruang atau Panda. Semuanya dipilih dengan acak. Siapa pun yang terpilih memerankan kuda-kuda, sehina apa pun jadinya, kami selalu mensyukurinya. Sebab yang tak terpilih akan ikut dalam acara perburuan, dan jika merujuk pada Neraka Dante, itu semacam neraka tingkat kesembilan.

Perburuan dimulai setelah acara hiburan dan sebelum pemotongan kue. Sisa-sisa budak yang tak ikut serta dalam drama koboi akan ditelanjangi, dan dibiarkan kabur berlarian di area hutan depan rumah. Tugas kami sesederhana menjadi hewan buruan, kami harus menajamkan naluri bertahan hidup, yang artinya kami harus membuang rasa kemanusiaan yang tersisa. Dan neraka dimulai setelah lima menit berlalu, ditandai dengan letupan tembakan ke langit oleh satu-satunya tuan putri kita. Perburuan itu akan berlangsung hingga sesaat sebelum tengah malam dan hari berganti, atau bisa lebih cepat tergantung suasana hati sang pemilik acara. Jika terdengar tiupan peluit panjang, kami yang masih hidup bisa bergegas kembali karena waktu perburuan telah usai. Dua tahun berturut-turut pada ulang tahunnya yang ke-15 dan 16, aku berpartisipasi dalam neraka terkutuk itu. Aku melihat Nomor 9 dan Nomor 17 ditembak mati, yang pertama mampus seketika dengan mata dan otaknya berhamburan, dan Nomor 17 tertembak di kaki lalu meregang nyawa pelan-pelan. Aku kembali hidup-hidup, dan menangis di pundak Kitong untuk mengembalikan kewarasanku. Kitong menangis di pundakku untuk mengembalikan kewarasannya setelah kawin dengan Nomor 27. Ia menyandang nomor 11 peninggalan Rei yang mati pada acara ulang tahun ke-13. Kitong tak lagi mirip Panda, kini tubuhnya menyusut serupa belalang sembah. Toso diantar kemari setahun sebelum Kitong datang, dan hanya bertahan tiga tahun sebelum mati.

Aku melewatkan perburuan di ulang tahun ke-17 dan 18, lalu hanya berperan sebagai kuda yang kencing sambil berdiri, dan kuda milik anak buah bandit Keceng. Nomor 8 menderita patah tulang punggung setelah dipaksa berlari mengejar kuda bandit. Beruang berkali-kali menancapkan taji sepatunya ke paha Nomor 8 hingga berdarah-darah, ia antara sangat menghayati perannya sebagai koboi atau hanya ingin menyiksa. Setelah hari itu aku tak pernah melihat Nomor 8 lagi. Kitong beruntung dua kali hanya dipasangkan menjadi kuda yang makan jerami. Malam-malam itu kami tak lagi menangisi peran-peran kecil. Setelah sembilan tahun menghuni neraka itu, aku masih belum terbiasa untuk menjalani segalanya. Tahun demi tahun saudaraku diantar kemari dengan jalan pincang sehabis pantatnya dicap besi panas. Kami makan roti keras dan tak lagi berdoa. Aku berhenti percaya pada keajaiban dan tak lagi bercerita pernah dilarung dalam kotak kayu. Saat aku genap sembilan tahun di sini, yang bertepatan dengan ulang tahun putri Beruang ke-19, tersiar kabar bahwa Beruang sedang diincar karena suatu kasus. Hanya itu yang kami dengar dan entah kasus apa yang bisa menimpa anjing gila itu. Di sini dialah tuhannya, dan tahtanya tak pernah goyah puluhan tahun. Jadi kabar itu terdengar seperti angin lalu, seperti kentut yang tak berbunyi, tak berbau. Hingga datanglah hari perayaan ulang tahun ke-19.

Kitong terpilih lagi sebagai kuda, aku senang mendengarnya, tapi seketika juga pudar setelah mengetahui nomorku tak dipanggil. Aku akan kembali ke neraka itu. Kewarasanku satu per satu luruh bersama baju yang kutanggalkan sebelum berlari masuk ke hutan seperti babi. Telapak kakiku robek tergores kayu, kuku jempolku terangkat setelah tak sengaja menyandung akar pohon, aku mencabutnya dengan sekali tarikan seperti menghilangkan duri yang menyangkut di baju. Aku tak punya waktu untuk memikirkan rasa sakit yang remeh-remeh, sedangkan ada moncong senapan yang sewaktu-waktu bisa meledakkan kepalaku di belakang. Suara tembakan berkali-kali terdengar, mengguncang, dan mengheningkan segala sesuatu. Aku merasa tak ada tempat yang aman di bawah sana, seperti berlari dari satu ranjau ke ranjau yang lain. Aku mengotori seluruh badan dengan kubangan lumpur dan memanjat satu pohon paling tinggi yang bisa kudapat. Kakiku remuk redam tapi siapa peduli, aku terus naik dan naik, menyisakan segaris darah putus-putus di batang pohon itu. Dari atas sana, pandanganku meluas, pendengaranku entah mengapa menjadi lebih awas, dan aku menemukan putri Beruang sedang mengejar mangsanya. Seekor buruan salah mengambil jalur dan malah menuju ke arahnya, lalu dengan segera punggungnya didor saat berlari putar balik. Aku menahan napas, aku merasa napasku bisa kapan saja terdengar kupingnya. Setelah itu aku melihat putri Beruang berbicara lewat handie talkienya, ia tampak jengkel dan segera berlari keluar.

Belum ada suara peluit, apakah perburuan ini sudah berakhir? Aku menunggu beberapa lama dan rasa sakit pelan-pelan mulai menggelitik kaki. Di kejauhan ada asap membumbung dari arah rumah, asap pekat yang bukan main-main. Aku memutuskan untuk turun dan menyadari sebuah kebakaran hebat telah terjadi, itu benar-benar seperti di neraka. Beginikah rasanya melihat api bekerja? Mereka berdansa lebih tinggi dari pepohonan, membentuk dinding yang akan membaptis siapa pun yang melewatinya jadi abu. Asap perlahan menghampiriku, di saat itulah waktu seperti memuai dan bergerak lebih lambat. “BANGSAAAAT! ANJING GILAAA!” Suaraku ditelan asap dilahap api bersama dengan kayu-kayu yang meletik. Aku terus berlari memunggungi api merah darah, punggungku berkeringat, bekas-bekas lumpur di kulitku mengering, darah dari luka-lukaku menggumpal, tapi aku terus berlari. Aku bisa mendengar suara Rei menggema di kupingku, “Jangan mati.” Itulah kata-kata terakhirnya. Aku terus berlari hingga sampai pada sungai deras yang membelah hutan. Aku tak pernah berlari sejauh itu selama perburuan, dan aku tak pernah tahu ada sungai yang tak bisa dilewati. Betapa ironisnya jika mengingat cerita aku dilarung saat bayi, dan di sini aku berhadapan dengan sungai yang akan membawaku mati.

“Aku pernah selamat sekali, kalau mati di sini, itu hanya kematian yang tertunda,” ucapku meyakinkan diri sendiri. Hidup ini selebihnya hanya bonus, selebihnya hanya bonus. Aku melompat memeluk air yang akan membersihkan badanku. Aku berharap akan diantar sampai jauh, sampai laut. Setelah itu waktu berhenti.

***

Saat terbangun, tak ada siapa-siapa di sampingku. Aku berusaha mengangkat punggung dan memeriksa di mana aku berada. Rasanya pusing dan aku bisa merasakan kepalaku diikat perban, saat menyibak selimut, kakiku juga sudah dibebat. Aku meraba pantat kananku dan merasakan angka 26 terpatri, ini jelas bukan mimpi buruk yang panjang. Seorang perempuan tua menghampiriku dan tampak lega melihatku bangun.

“Sudah dua minggu kamu tak sadar, aku bahkan tak menyangka kamu masih hidup. Istirahat saja, jangan banyak bergerak dulu, tulang-tulang di badanmu pasti rasanya mau copot semua.”

“Ibu siapa?”

“Orang-orang manggil aku Mak Rondo. Kalau kamu?”

“Eh?”

“Namamu, dipanggil siapa?”

“Dua puluh–” untuk sesaat api berkobar di kepalaku. “Heri.”

“Kalau Kitong? Rei?”

“Dari mana Mak tahu?”

“Kamu sering mengigau nama-nama itu. Lalu siapa lagi ya? Lani, Dian, To–”

“Toso. Itu saudara-saudaraku.” Tiba-tiba saja kepalaku sakit dan Mak Rondo mengambilkanku air hangat. Aku menangis cengeng, tak pernah secengeng itu sejak hari pertama aku masuk ke rumah Beruang. Mak Rondo memberiku waktu cukup lama untuk menenangkan diri. Setelah itu aku menanyakan apakah ia tahu perihal kebakaran besar yang terjadi. Mak Rondo masuk ke dalam dan membawakan selembar koran. “Maksudmu ini?” Jarinya menunjuk ke satu kolom berita dengan gambar kobaran api. Aku membaca berita itu lamat-lamat.

Kebakaran di lahan milik perusahaan hutan negara menghanguskan 1.275 hektar hutan di kawasan Lemah Abang, Minggu (11/8). Api diduga berasal dari pembakaran liar oleh PT. Jaya Raya Abadi. Rumah milik Bupati Lemah Abang, Tretan Bin Acer juga dilahap api. Saat peristiwa kebakaran terjadi, Tretan yang menjadi saksi kasus suap pembebasan lahan sedang berkunjung ke rumah singgahnya di Muntai Muara bersama keluarga. Belum ada laporan korban jiwa hingga hari ini. Namun, ditemukan sejumlah bangkai satwa dilindungi di rumah Tretan. Rata-rata adalah orangutan yang diduga diselundupkan dari Kalimantan. 23 orangutan ditemukan mati terbakar di dua kandang besar belakang rumah Tretan. Belasan lainnya ditemukan mati dalam hutan. Polisi masih dalam penyelidikan atas dugaan perdagangan satwa liar yang menjerat Tretan.

Aku meminta Mak Rondo membawakan koran-koran lain. Aku membolak-baliknya putus asa, dan berita kebakaran itu tak pernah menempati halaman pertama. Pada salah satu berita berjudul Kebun Binatang Tretan Bin Acer, ia hanya membuat daftar nama-nama satwa dilindungi yang ada di rumah Tretan: 2 monyet hitam, 1 elang brontok, 2 jalak bali, 3 beo, dan puluhan orangutan. Bekas luka di pantatku terasa berkedut dan panas. Aku menarik napas panjang. “BANGSAT! ANJING GILA!”

 

Jakarta, 2022

Inas Pramoda
Inas Pramoda Pengamat twitter, bisa ditemui di Jakarta dan sekitarnya seperti azan magrib.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email