Menjelang pemilu begini, pembicaraan mengenai partai politik selalu menjadi trending topic di dunia maya maupun jagongan dunia nyata. Kalau yang dibicarakan tentang ribut-ributnya saja, ya, percuma, nirfaedah, dan tidak akan ada ilmu yang bertambah. Paling-paling, yang bertambah hanya jumlah haters dan seteru saja.
Lain cerita jika kita membicarakan partai politik dengan niatan untuk mengambil pelajaran. Terlebih lagi jika kita mengupasnya dengan pisau analisa kearifan budaya, pasti elok. Selain bisa menjadi bahan literasi budaya, juga bisa menambah wawasan politik kita.
Salah satu dinamika yang sering muncul menjelang pemilu adalah perpindahan kader elit partai. Hal ini selalu terjadi sejak era Reformasi hingga menjelang Pemilu 2024 ini. Sebut saja nama-nama elit politik seperti Wiranto, Prabowo, Anas Urbaningrum, hingga Budiman Sudjatmiko, mereka semua pernah pindah kapal.
Isu kepindahan kader partai politik kembali memanas di akhir 2023 ini. Pelaku utamanya tak kurang dari kader elit semacam Jokowi, Kaesang Pangarep, dan Gibran Rakabuming Raka. Hal ini menimbulkan polemik di tubuh PDIP, partai induk semang mereka.
Baca juga:
Berbicara mengenai perpindahan kader elit partai sebaiknya dilakukan dengan covering both sides. Pihak partai tentu saja melihat kader yang berganti pihak ini dengan pandangan negatif. Mereka sering kali dicap sebagai pengkhianat partai. Di sisi lain, si kader tentu punya alasan kuat yang mendasari keputusannya pindah ke lain partai.
Alasan kader yang paling klise adalah soal visi dan misi yang sudah tidak sesuai lagi. Alasan seperti ini jelas debatable. Sebab, yang namanya visi dan misi suatu organisasi, apalagi sebuah partai, pasti telah terpampang nyata sejak awal berdirinya. Jika alasannya beda visi dan misi, kenapa, kok, tidak sejak awal bergabung dengan partai?
Argumen kedua adalah menganggap partai lama tidak bisa memenuhi need of achievement si kader tadi. Kader partai dengan N-Ach yang tinggi pasti memiliki keinginan untuk mencapai puncak karier politik. Sejalan dengan keinginannya yang muluk, kader semacam ini biasanya juga memiliki pencapaian yang bagus.
Nah, ketika keinginan tersebut dirasa membentur tembok “demokrasi pura-pura”, maka alternatifnya adalah pindah ke lain partai. Lho, lho, lho, di tahun 2023 ini apa masih ada partai yang pura-pura demokratis? Ada.
Saya tidak perlu menyebutkan nama partai yang pura-pura demokratis tersebut. Cukup dengan satu indikator saja, saya kira sampeyan akan tahu. Indikatornya adalah kursi ketua umum partai. Jika ketua umum sebuah partai politik masih menjadi milik satu keluarga saja, maka hampir pasti partai tersebut menganut paham demokrasi pura-pura. Kira-kira, partai apa saja, tuh?
Partai politik yang memiliki basis kultural yang kuat bisa saja berlaku cuek terhadap need of achievement kadernya. Mereka biasanya mengambil sikap take it or leave it. Partai, partai gue sendiri, kok!
Namun bagi partai yang benar-benar concern terhadap nilai-nilai demokrasi, fenomena kepindahan kader-kader terbaik ini perlu diseriusi. Jangan sampai institusi partai menyerupai kebo kabotan sungu. Ehm, kebo what?
Kebo kabotan sungu adalah peribahasa Jawa yang memiliki arti harfiah kerbau yang keberatan tanduk. Makna dangkalnya adalah orang tua yang mengalami kesulitan karena terlalu banyak anak. Itu baru makna di level kulitnya saja—kita tahu bahwa sastra Jawa selalu memiliki pemaknaan yang bertingkat.
Dalam artian yang lebih dalam, peribahasa ini bisa dimaknai sebagai institusi yang tidak mampu mencukupi kebutuhan para personelnya. Kebutuhan di sini tidak selalu berupa materi, need of achievement juga termasuk di dalamnya.
Lantas, apa yang perlu dilakukan sang kebo agar tidak sampai kabotan sungu? Tidak ada cara lain, partai harus bisa mengakomodasi need of achievement kadernya. Mereka harus mau berubah menjadi representasi demokrasi yang sebenarnya, demokrasi yang terbuka, bukan sekadar pura-pura.
Yang saya sebut sebagai demokrasi pura-pura adalah ketika sebuah partai membuka lebar-lebar pintu karier untuk semua kadernya. Namun, dengan sebuah catatan bold dan underlined bahwa untuk urusan kursi ketua umum tetap harga mati milik garis keturunan dari si pembuat partai. Yang seperti ini, kok, ya, masih mengaku partai demokrasi, sepertinya lebih mirip corak organisasi zaman Kerajaan Singasari.
Jika sebuah partai masih mengusung gaya demokrasi pura-pura tersebut, otomatis akan membatasi karier politik para kadernya. Tak peduli secemerlang apa pun prestasinya, tanpa garis darah dia tak akan pernah bisa menjadi nahkoda partai. Maka, menjadi wajar saja jika si kader berprestasi mencari peluang untuk bergabung dengan partai lain yang lebih prospektif.
Editor: Emma Amelia