Melanjutkan kisah dan kesaksian yang ditulis langsung oleh Ayu Masruroh, korban penganiayaan karena mengungkap kasus kekerasan seksual di Pesantren Shiddiqiyyah, Jombang, Jawa Timur, berikut ini uraian kejanggalan perkembangan kasus tersebut.
Pertama-tama, bagaimana mungkin seorang pelaku kekerasan seksual dengan korban yang diduga belasan santri perempuan pesantren Shiddiqiyyah di Jombang, Jawa Timur, masih dibiarkan bebas berkeliaran mencari mangsa lainnya dua tahun sejak ia dinyatakan tersangka?
Tersangka kekerasan seksual harus ditahan untuk menjaga supaya dia tidak melakukan kejahatan yang sama dan untuk menjaga keselamatan para perempuan yang mungkin menjadi korbannya. Dengan masih bebasnya tersangka predator seksual ini, berapa banyak korban lagi yang bertambah selama dua tahun ini?
Bagaimana mungkin tim polisi yang datang ingin membawa sang tersangka, pulang dengan tangan kosong hanya karena puluhan orang pendukung sang tersangka menghadang mereka?
Kemudian, bagaimana mungkin Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur dengan personel ribuan orang malah meminta doa dari masyarakat supaya kasusnya selesai dan bukannya mengerahkan petugas lebih banyak? Mengapa polisi yang biasanya garang kini seperti ciut nyalinya dan menyerah membiarkan sang tersangka bebas?
Bagaimana mungkin kejaksaan selalu mengembalikan berkas kasus tersebut kepada polisi dan terungkap bahwa semua bukti yang diajukan polisi malah tidak dapat dipakai atau rusak sedangkan saksi-saksi yang diajukan malah tidak tahu apa-apa tentang kasus ini? Apakah ada kongkalikong antara polisi, kejaksaan dan keluarga tersangka?
Apakah karena pelakunya, M. Subchi Azal, adalah anak dari kyai sepuh dan pendiri pesantren Shiddiqiyyah, dan putra mahkota pesantren tersebut?
Apakah karena pesantren yang mengklaim punya anggota 5 juta ini dekat dengan istana dan menjadi pendukung kuat Joko Widodo untuk menjadi presiden?
Jokowi mengunjungi pesantren ini pada bulan Juni 2014 untuk meminta restu pendiri dan sesepuh pesantren Shiddiqiyyah untuk menjadi presiden dan pesantren tersebut menjamin 5 juta anggotanya di seluruh Indonesia akan mendukung Jokowi. Setelahnya beberapa orang terdekat Jokowi juga berkunjung, termasuk Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi pada Maret 2017.
Pertanyaan-pertanyaan yang demikian banyak menunjukkan betapa membingungkannya kasus kekerasan seksual yang seharusnya sangat jelas ini dan yang seharusnya menjadi prioritas untuk diselesaikan dengan seadil-adilnya.
Kemandekan kasus ini menunjukkan betapa lemahnya hukum di Indonesia terhadap pihak-pihak yang punya pengaruh dan kekayaan. MSA yang kemungkinan besar sudah memakan korban belasan santri perempuan benar-benar seperti kebal hukum. MSA seakan mengolok-olok dan mempermalukan – bukan hanya korban dan pelapor – tetapi juga pihak kepolisian dan hukum di Indonesia.
Lebih ironis lagi dan menambah pentingnya kasus ini supaya cepat diselesaikan, kekerasan seksual ini dilakukan oleh ustadz (guru) dan terjadi di pesantren yang seharusnya menjadi pusat ajaran moral dan kebaikan.
Kasus ini menjadi ujian bagi umat Islam serta masyarakat, penegak hukum dan pemimpin agama dan pemerintahan Indonesia untuk menjawab pertanyaan apakah mereka mentolerir kejahatan yang dikutuk oleh masyarakat seluruh dunia.
Apakah mereka akan membiarkan seorang tersangka kejahatan ini – seberapa berpengaruhnya pun dia dan seberapapun kuatnya koneksi politiknya – untuk tidak tersentuh aparat hukum, dan menjadi preseden bagi penegakan hukum di Indonesia bahwa seseorang bisa bebas dari jeratan hukum kalau ia kaya dan berpengaruh?
Apakah sudah sedemikian hancurnya moral dan keadilan di Indonesia?
Mungkin beliau lupa kalau pengadilan akhirat itu ada dan paling adil