Akhirnya Kenta keluar kantor juga! Berakhirlah penantian Airin dalam persembunyian. Sambil menjinjing tas kerja, Kenta terlihat berjalan ke arah selatan, alih-alih langsung ke timur menuju Blok 2 Kifune, seperti tiga hari berturut-turut yang lalu. Airin yang heran, segera melangkah sebelum Kenta menghilang dari pandangannya.
Ini adalah hari keempat Airin memata-matai suaminya. Hari pertama sampai ketiga, ia mendapati suaminya menyambangi rumah bertuliskan Sugawara, di depan Taman Kifune. Entah siapa mereka. Airin tak kenal. Kecurigaannya membesar. Apakah suaminya punya pekerjaan sampingan? Kenapa? Gaji Kenta sebagai manajer keuangan di Kantor Pos Meito masih cukup membiayai hidup mereka. Lantas, kenapa Kenta selalu mengunjungi rumah modern minimalis itu? Mungkin benar, Kenta punya wanita simpanan!
Airin menepuk-nepuk pipinya dengan keras sembari melangkah. Ia tak ingin diteror pikiran negatif. Ia harus fokus. Matanya tak lepas dari pria jangkung berjas hitam itu. Kenta berjarak beberapa meter di depannya. Untunglah, di senja kala, jalan yang terapit Taman Issha dan Sungai Ueda ini lumayan ramai. Para pekerja berjalan kaki memenuhi jalan. Keramaian ini mudah menyamarkan eksistensi Airin. Sesekali ia bersembunyi dan mengintip. Kenta tak sekalipun menoleh ke belakang. Aman. Airin lanjut mengikuti Kenta.
Kenta berbelok dan masuk ke area Mall AEON Meitopia. Airin kembali didera tanya. Buat apa? Membeli barang untuk wanita simpanannya?
Bukan! Kenta mengambil sebungkus besar popok bayi! Rasanya Airin ingin menangis. Ia yakin Kenta berselingkuh. Ia pun yakin Kenta memiliki anak dengan wanita itu. Apakah karena selama ini Kenta tak benar-benar menyetujui kesepakatan pra-nikah mereka?
Airin berusaha menenangkan diri dan mengenyahkan teror dari rasa curiga dan kecewa. Kenta segera membayar barang itu dan langsung berjalan ke pintu keluar. Pria itu menyusuri jalur yang sama, jalan yang terapit Taman Issha dan Sungai Ueda.
Malam mengakhiri senja. Lampu-lampu Distrik Meito menyemarakkan Kota Nagoya.
Dalam langkahnya, Airin ingat apa yang Natsuki, sahabatnya, katakan.
“Jam pulang suami sangat penting untuk diperhatikan. Ini akan menjadi tanda apakah dia selingkuh atau tidak.”
Awalnya, Airin tak menggubris kata-kata Natsuki. Tapi, ketika dia menyadari bahwa sudah lama ia tak lagi bisa menatap wajah Kenta saat sore hari di bawah atap Rose Hills, Airin mulai mempertimbangkan kata-kata Natsuki.
Airin ingin memperoleh jawabannya sendiri. Maka ia memata-matai suaminya beberapa hari ini. Ia sudah pernah mengecek ponsel Kenta diam-diam. Namun tak menemukan petunjuk apapun. Kenta memang bukan pengguna aktif surat elektronik.
Selain itu, tak ada perubahan sikap pada Kenta. Pria manis itu masih memeluk Airin ketika terlelap. Ia juga tetap mencandui aroma lavender dari tengkuk dan dada Airin. Ketika pagi, Kenta selalu menghidangkan roti bakar madu beserta susu matcha hangat untuk Airin yang masih terlelap akibat mengejar tenggat manga-nya.
Kenta kerap mengungkapkan kekagumannya pada semangat juang Airin. Sejak pertama tatapan mata keduanya bertemu di Kantor Pos Meito, lima tahun lalu, Kenta tahu ia telah jatuh cinta dan tak akan pernah melepaskan Airin.
Airin yang saat itu sedang mengirimkan naskah manga-nya hanya bisa terkejut saat seorang pria muda jangkung berahang tegas menawarkan bantuan dengan semringah. Pria itu memperhatikan kemasan paket Airin yang koyak akibat terjatuh saat terburu-buru berlari. Setelah selesai membantu, Kenta tak sungkan mengungkapkan, “Saya rasa Anda adalah gadis tercantik yang pernah saya temui sepanjang hidup saya, Nona.”
Airin yang pemalu sebenarnya sangat ingin berlari pulang. Namun, ia lebih malu lagi pada tokoh-tokoh manga yang ia ciptakan. Gadis-gadis yang berani mengejar mimpi dan tak malu mengungkapkan perasaan adalah ciri khas tokoh-tokoh manga besutan Airin.
Maka, berbekal kenekatan, Airin menerima ajakan Kenta untuk minum kopi di pertemuan kedua mereka. Hubungan mereka pun terjalin, dan berlanjut hingga ke pernikahan yang masih bertahan di tahun ketiga. Mereka saling berbagi dan mendukung mimpi masing-masing. Airin paham bahwa Kenta sangat ingin mengunjungi banyak danau di dunia. Dari koleksi foto, kartu pos, dan klipingnya, Kenta terus menghidupi mimpinya itu.
Sementara, Kenta adalah pengagum karya-karya Airin. Sejak mengenal Airin, ia mulai menggemari manga. Walau Airin banyak melahirkan manga yang ditujukan untuk pembaca perempuan, Kenta tetaplah pembaca setia pertama. Kenta sangat bahagia melihat wanita yang dicintainya berkonsentrasi membuat sketsa dan meyulapnya menjadi ilustrasi yang indah. Kenta memahami mimpi Airin yang ia bangun sejak awal karier mangaka-nya: memperoleh Penghargaan Shogakukan. Kekasihnya itu begitu mendambakan validasi atas karya-karyanya. Seolah jumlah pembaca dan angka penjualan tak pernah cukup bagi Airin.
Mimpi Airin membawa satu konsekuensi pada pernikahan mereka. Airin tak mau punya anak sebelum Penghargaan Shogakukan berada di tangannya. Dan, kapankah Airin akan mendapatkan penghargaan itu? Kenta yakin, bahkan para Dewa pun tiada yang tahu.
Beberapa minggu sebelum pernikahan mereka, Kenta mencoba menawari Airin untuk mempekerjakan baby sitter begitu mereka punya anak. Namun, Airin menolak. Ia tak ingin kinerjanya hancur karena melahirkan. Rehat beberapa bulan tak akan membuat Airin kehilangan pembaca, kilah Kenta. Sayangnya, Airin tetap tak tertarik.
Kenta pun mengalah. Ia tak ingin melukai wanita yang ia cintai. Sementara, Airin, jauh di lubuk hatinya, mengakui bahwa ia amat egois. Namun, Airin paham, mimpi membawa pemiliknya pada kesendirian yang tak terjangkau dan tak dimengerti siapapun. Agar berhasil meraihnya, ia harus korbankan banyak hal. Termasuk impian lain suaminya: memiliki anak.
Beruntung Airin memiliki Kenta yang mencintainya. Atau setidaknya, begitulah anggapan Airin terhadap Kenta. Namun, dengan apa yang Airin lihat sekarang … Apakah Kenta masih benar-benar mencintainya?
Airin masih menatap rumah itu. Memorinya berkelebat mengaduk-aduk perasaan. Kenta sudah lama dipersilakan masuk, tetapi ia masih bersembunyi di balik tembok rumah lain untuk mengawasi dari jauh.
Ini adalah hari keempatnya menjadi mata-mata. Tiga hari sudah ia menunda untuk mengetuk pintu rumah itu. Menunda untuk memergoki hal-hal yang tak ingin ia dengar, lihat, atau ketahui. Tiga hari ia menahan tangis dalam pelukan lelap Kenta. Tiga hari ia menahan jijik atas semua endusan dan kecupan mesra Kenta. Tiga hari ia bergulat dengan emosi dan pikirannya sendiri. Juga, tiga hari ia memutus kontak dengan para editor dan penerbit serial manga-nya, akibat perasaannya yang kacau.
Airin menimbang, kegamangan ini tak boleh berlanjut. Maka ia mantapkan diri untuk berani melihat, mendengar, dan mengetahui apa yang terjadi. Meskipun ia tak akan pernah siap untuk patah hati.
Airin mendatangi pintu rumah itu dengan setengah berlari. Ia menekan bel. Tak lama, seorang wanita lanjut usia ber-kimono putih membuka pintu dengan cekatan.
“Sumimasen… Apakah Kenta ada di sini?” Airin berusaha menyembunyikan emosinya.
“Kenta-san? Tentu saja ada. Silakan masuk,” wanita menyambut Airin dengan ramah.
Airin bingung. “Apa yang sudah kalian lakukan? Apakah Kenta berselingkuh dengan Anda?” tanya Airin, hilang kendali.
“Eh??!” wanita itu membekap mulutnya.
***
“Nyonya Sugawara, saya memohon maaf,” untuk ketiga kalinya Airin menunduk pada Sugawara Rie yang masih menemani Chieko, cucunya, bermain.
Wanita itu dengan rikuh menjawab, “Daijoubu desu … Tak apa, tak apa …” pada Airin untuk menenangkan hati kenalannya itu.
Di sebelah Airin, Kenta ikut menenangkan istrinya. Dari dapur, Sugawara Takeshi, kawan baik Kenta, berseru meminta maaf pada Airin, “Gomen ne … Karena keluargaku, kalian jadi salah paham.” Ia muncul membawa baki yang penuh dengan menu makan malam: empat piring curry rice, empat gelas air, dan dua botol sake. “Ayo, makan!”
Airin menatap suaminya. Kenta tersenyum sambil mengangguk penuh ajak.
***
Jalanan Distrik Meito sesekali dilalui mobil. Makin malam, suasana makin lengang. Makin banyak mobil diparkir di halaman rumah atau lapangan kosong yang dijadikan lahan parkir. Kenta dan Airin menyusuri jalan perumahan sambil bergandengan. Keduanya masih dibekukan kebisuan karena takut untuk bersuara duluan.
Airin merasa bersalah dengan tuduhannya. Kenta khawatir dengan perasaan istrinya. Kebekuan ini membuat Kenta penat, dan tentu harus diakhiri. Maka ia memberanikan diri.
“Ai-chan… Maaf ya… aku tidak memberitahumu soal Takeshi,” Kenta menoleh.
Airin menatap suaminya. Langkah mereka terhenti.
“Aku tidak ingin dianggap menyinggungmu saat kau tahu aku sangat bahagia bermain dengan Chieko-chan dan membantu Takeshi.”
Airin merengkuh Kenta. Ia membenamkan wajah pada dada Kenta yang hangat. Kisah Takeshi masih mudah Airin putar di kepala. Takeshi dan Sayumi baru bercerai tiga bulan lalu. Menurut pengakuannya, Sayumi merasa lebih hidup dengan menjadi perancang busana. Ia menjadikan profesi barunya itu sebagai alasan untuk berpisah dengan Takeshi. Nahas, sebelum persidangan, Takeshi menemukan bukti perselingkuhan Sayumi bersama seorang model pria. Hati Takeshi hancur, tapi ia harus tegar mengasuh Chieko yang baru berumur setahun. Perselingkuhan Sayumi membuat hak pengasuhan jatuh ke tangan Takeshi.
Pria itu meminta tolong pada ibunya untuk turut mengasuh Chieko. Sementara, reuni Universitas Tokyo menjadi sarana penyambung pertemanannya dengan Kenta. Ketika Takeshi menceritakan kondisinya, tanpa ragu Kenta langsung menawari bantuan untuk sering berkunjung dan membantu Takeshi. Sebagai salah satu dokter umum yang sibuk di Rumah Sakit Kimura, Takeshi kerap pulang larut malam. Untunglah semenjak perceraiannya, ia diberikan kelonggaran jadwal shift. Meski demikian, tak mudah mencari baby sitter. Takeshi pun sadar, ia tak mungkin membuat Kenta selalu membantunya. Sebaliknya, Kenta menganggap hal ini sebagai pengobat kerinduannya untuk berinteraksi dengan anak kecil.
Mengingat itu semua, Airin teringat pada mimpi ambisiusnya. “Apakah aku egois?”
Kenta mengelus rambut Airin. “Mungkin aku yang belum mahir menyesuaikan diri.”
Airin mendengar kesedihan dalam jawaban Kenta. Ia merasa bersalah dan kasihan pada Kenta, tapi masih terlalu berat untuk menyerah dari ambisinya. Karena perasaannya makin runyam, Airin tak dapat menghentikan isak tangisnya. Padahal kemeja Kenta sudah basah kuyup. Alih-alih menenangkan, Kenta lanjut mengelus rambut Airin. Perlahan, Kenta pun tak mampu membendung tangis pedihnya, meski ia menahan untuk tetap tak bersuara.
***
Airin terbangun karena ia merasakan pipinya dikecup oleh seseorang.
“Kau sudah makan malam?” Kenta berbisik di telinga Airin.
Airin bangun perlahan. Komputernya masih menyala. Bab ke-200 manga-nya belum selesai finishing. Kenta terdengar menyiapkan sesuatu. Harum sup jagung menguar.
“Bagaimana kabar Chieko?” tanya Airin. Ia tahu suaminya masih selalu mengunjungi rumah Takeshi. Kenta bilang, ia ingin tetap mengunjungi mereka sepulang kerja sampai mereka mendapatkan baby sitter yang cocok.
“Dia sudah mulai bisa melangkah lebih dari semeter,” jawab Kenta dengan berbinar.
Airin mendengus. “Kau seperti ayahnya saja.”
“Aku adalah paman yang baik,” sangkal Kenta. “Hai, douzo!”
“Arigatou…” sup jagung yang Kenta beli di jalan pulang terlihat menggiurkan. Airin segera menyendok dan menikmatinya. “Hmm… Oishii!”
“Oh ya, ini…” Kenta menyodorkan beberapa amplop bertuliskan nama Madogawa Airin. “Kau pasti sibuk sekali sampai tak menyadari kehadiran pengantar surat.”
Airin hanya terkikik geli mendengar omelan Kenta yang berlalu menuju kamar mandi. Sambil terus menikmati sup jagung, Airin melihat nama Shogakukan di salah satu amplop. Nama itu cukup membuat Airin tercekat. Wanita itu segera meraih dan membukanya. Hanya butuh sedetik bagi Airin untuk mengetahui bahwa, kali ini, impiannya telah tercapai.
“KENTA!!! AKU DAPAT!!! AKU MENDAPATKANNYA!!!”
***
Airin melihat suaminya sedang menikmati hamparan perbukitan dan air danau kebiruan. Sambil duduk santai di bangku taman Hotel Patra Comfort yang menghadap langsung ke Danau Toba, Kenta tak jemu menikmati bentang alam di depannya.
Ini adalah hari keempat liburan mereka di Danau Toba, Indonesia. Danau vulkanik terbesar di dunia ini sudah menarik perhatian Kenta sejak lama. Setelah menerima Penghargaan Shogakukan, Airin setuju untuk rehat sejenak. Kenta pun segera mengajukan cuti panjang. Kunjungan mereka ke berbagai danau di luar Jepang dimulai dari Danau Toba.
Setiap malam, selama tiga hari terakhir, Kenta—akhirnya—leluasa menikmati “surga dunia”-nya. Kali ini tanpa “ditahan” juga tanpa “pengaman”. Dan hari ini, Airin ingin menyampaikan sesuatu. Kabar yang selalu Kenta tunggu. Ia berjalan perlahan, menggenggam sebatang hasil tes yang mengawali perjalanannya menjadi seorang ibu.