Ke Mana Ide-Ide Itu Pergi?

Kristina Silalahi

3 min read

Tuan Pengarang terbangun dengan keadaan berbeda pagi itu. Ia merasa kepalanya sangat ringan walaupun badannya seakan remuk. Terang saja, ia tidur di taman kecil belakang rumahnya semalaman. Di atas tanah tanpa alas apa pun. Ia menggigil dan segera memaksa tubuhnya bergerak. Kertas-kertas dan pena ia kumpulkan, tapi tunggu… di mana tasnya?

Oh! Rupanya ia mendudukinya. Dan sekarang di mana ia meletakkan sandalnya? Apakah ia bertelanjang kaki tadi malam? Tuan Pengarang tidak peduli lagi, ia segera memasuki rumah kecilnya dan segera menuju dapur. Perutnya sudah berbunyi, berteriak minta diisi.

Sambil menunggu air matang, ia memijat-mijat pundaknya. Kepalanya sedikit pusing namun ia merasa ringan di saat bersamaan. Ringan yang aneh. Seharusnya ia memikirkan banyak hal. Termasuk cerita yang seharusnya ia serahkan pada Nona Editor besok pagi. Hanya saja semuanya… hilang? Apa angin malam menyapu hal-hal berat itu dari pikirannya saat ia tertidur?

Lengkingan suara dari teko membuat Tuan Pengarang terlonjak dan segera mematikan api. Dengan sedikit linglung ia menyeduh mi instan. Nyaris saja ia menumpahkan bumbu ke tempat sampah alih-alih ke dalam wadah. Ia memaksa dirinya fokus dan segera menyantap mi agar bisa melanjutkan aktivitasnya yang tertunda selama berhari-hari.

Belum habis setengah, pikirannya kembali melayang, tangannya bahkan berhenti di udara saat akan menyuapkan mi ke mulutnya. Ada yang ia lupakan. Tapi apakah itu? Editor, cerita, menulis, lalu… apalagi?

Cerita harus ia serahkan besok pagi. Harus ia serahkan pada Nona Editor. Yang ia serahkan adalah cerita. Cerita yang berusaha ia tulis selama berhari-hari. Yang ia tulis adalah… oh tidak! Tuan Pengarang memekik! Rupanya inilah alasan kepalanya sangat ringan. Ia tidak ingat apa pun yang ia ingin tuliskan. Ide-ide yang ia pikirkan sampai ia tertidur di halaman belakang lenyap begitu saja.

Astaga, astaga! Ini tidak boleh terjadi! Apa yang harus kulakukan?

Tuan Pengarang terus bergumam sambil mondar-mandir. Ia teringat kertas-kertas yang tadi ia bawa. Itu kertas-kertas berisi potongan-potongan ide cerita yang sudah ia tulis dari kemarin. Harusnya ia bisa mengingat kembali dengan membaca potongan-potongan cerita itu. Walaupun tidak ada yang saling berkaitan dan menjadi satu cerita utuh.

Dengan panik ia menyambar tas yang teronggok di lantai dekat pintu belakang. Ia mengeluarkan semua isinya dan berjongkok, membuka setiap kertas lecek itu. Nihil. Semuanya kosong.

“Tidak mungkin!” Tuan Pengarang berseru keras. Seingatnya, kemarin kertas-kertas itu berisi tulisan.

Dengan napas memburu, Tuan Pengarang menggeledah seisi rumah. Ia membuka setiap laci dan rak. Ia sadar itu kebiasaan buruk. Setiap mendapat ide, ia akan mencari kertas apa pun dan menuliskan ide yang berisi potongan cerita dan menaruhnya di mana saja.

Ia mendapatkan banyak kertas. Hampir di setiap laci dan rak terdapat kertas. Bahkan di balik jam dinding pun ia menemukan kertas. Tapi percuma. Semua kertas itu kosong. Seakan-akan semua tinta itu sepakat untuk melarikan diri. Semuanya bersih. Tak ada jejak tersisa.

Dada Tuan Pengarang berdegup kencang. Secepat kilat ia berlari menaiki tangga. Di lantai dua rumahnya hanya terdapat dua ruangan. Satu kamar tidurnya dan satu lagi ruang kerjanya. Lagi, Tuan Pengarang menggeledah kamar tidurnya. Kegiatannya berhenti begitu ia mendengar sesuatu dari ruang kerjanya. Suara seperti… kaca? Kaca- kaca yang saling beradu.

Ia berlari dan berhenti tepat di depan ruang kerjanya. Deru napasnya semakin cepat begitu mendengar riuh rendah suara di dalam ruangan itu. Tidak keras namun ramai. Ramai yang teredam.

Dengan tangan yang gemetar dan dingin, ia menyentuh kenop pintu dan mendorongnya perlahan. Pintu terbuka dan ia merasakan pintu mendorong sesuatu. Tuan Pengarang menjulurkan tangan ke dinding dan menyalakan saklar lampu.

Ia terkesiap. Sungguh pemandangan yang tidak pernah terbayang dalam otaknya. Ratusan bohlam kecil memenuhi ruang kerjanya. Mereka mulai mengerang dan terlihat seakan terbangun dari tidur. Tuan Pengarang terjatuh begitu melihat bohlam-bohlam itu mengeluarkan mata dan berkedip-kedip.

Tuan Mengarang menampar-nampar pipinya sendiri. Sakit. Ia juga mencubit lengannya. Sakit juga. Ini sama sekali bukan mimpi, pikirnya.

“Hentikan dasar Pengarang Malas. Kau tidak bermimpi. Ah, sudahlah saatnya kita pergi kawan-kawan.” Bohlam yang berada di meja berteriak dan mengomando semua bohlam untuk bersiap.

“Tunggu! Hei! Hei! Kalau be-begitu beritahu aku. Kalian itu…”

“Kami adalah idemu!” potong Si Bohlam itu dengan ketus.

“Mak-maksudmu…”

“Oh, ayolah. Selain malas kau juga bodoh rupanya,” Si Bohlam memutar bola matanya yang menyala. “Baiklah kuberi tahu wahai Tuan Pengarang. Kami adalah ide yang muncul dalam otakmu, yang kemudian kau tuliskan dalam potongan-potongan di kertasmu yang berserakkan itu. Kami berbentuk seperti ini dan setiap kau tuliskan maka kami akan melebur, menyatu dengan kertas melalui tinta yang kau torehkan.”

“Kau menuliskan potongan ide tanpa pernah menyelesaikannya. Kau menggunakan ide baru dan melupakan ide-ide lama,” lanjut si Bohlam. “Perlu kau tahu, Tuan, bahwa setiap kau menggunakan potongan kami, kami tidak bisa melebur sempurna. Kami menggantung antara ide dalam otakmu dan tulisan dalam kertas. Itu melelahkan sementara kau mulai melupakan dan terus mencari ide baru. Kami hanya tidak mau padam sia-sia! Lebih baik kami pergi pada otak pengarang yang tahu cara meleburkan kami dengan benar!”

Tuan Pengarang mencoba mencerna apa yang didengarnya. Sementara itu bohlam-bohlam mulai melayang. Dengan ajaib, jendela terbuka lebar. Mengembuskan angin pagi yang dingin. Tuan Pengarang kehabisan kata-kata. Rahangnya terbuka namun tak sepatah kata pun berhasil keluar.

Si Bohlam Pemberi Komando keluar paling akhir. Sebelum menutup jendela dengan kekuatan ajaibnya, ia menatap Tuan Pengarang dengan sinis.

“Kau perlu belajar menyelesaikan sesuatu alih-alih mencari pelarian, Tuan Pengarang. Selamat Tinggal!”

BRAKKK! Jendela ditutup dengan keras. Tuan Pengarang menatap kepergian bohlam-bohlam itu dengan tatapan nanar. Ia menangis. Sementara telepon rumah berdering. Itu pasti Nona Editor. Oh, apa yang harus dilakukan sekarang?

***

Editor: Ghufroni An’ars

Kristina Silalahi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email