Jika hanya ada satu kesempatan yang baik yang pernah hadir di dalam masa laluku selain orang tuaku, mungkin hal itu adalah bertemu seorang kawan masa kecil bernama Kamila.
Perawakan Kamila kecil, badannya kurus dengan kulit sawo matang. Mungkin dia lebih sering terguyur terik matahari dibanding berlindung di bawah langit-langit yang terlalu putih. Matanya sipit, memiliki sepasang gigi gingsul yang manis, dan jemari yang lentik. Rambutnya panjang berwarna hitam, tetapi tipis. Terakhir, aku mendapati lebam ungu di betisnya dan juga segurat merah di bawah matanya. Kupikir ia habis diserang hewan, tapi ternyata ia diserang oleh pamannya sendiri.
“Aku terjebak,” keluhnya. “Bukan keinginanku untuk tinggal bersama mereka.”
Usia kami hanya selisih dua bulan saja. Kamila lahir saat Februari, sementara aku lahir di bulan April. Aku segera tahu jika kami sebaya ketika kami saling bertatapan mata untuk pertama kali. Sekarang aku duduk di kelas enam SD dan ia baru saja putus sekolah tahun lalu. Hal yang membuatku merasa sedih sekaligus kasihan padanya adalah bagaimana caranya bertahan hidup. Ia menyambung kehidupannya dengan bekerja mencuci piring di RM Padang Sederhana yang berada tak jauh dari rumahku.
Hal lain yang membuatku terkejut, ayah Kamila dipenjara karena menembak ibunya saat keluarga kecil itu tengah berwisata menunggangi kuda di Lembang. Ibunya dimakamkan keluarga di tempat asalnya, Belitung, sementara ayahnya dituntut penjara selama dua puluh tahun dan hakim mengabulkannya. Kamila mengaku, setelah ayahnya dipenjara, ia tidak pernah berjumpa lagi dengannya. Bahkan, tidak pernah tebersit di benaknya untuk menemui ayahnya lagi. Walau hanya sekali.
Gadis itu mengaku memiliki seorang kakak laki-laki dengan selisih usia lima tahun. Namanya Kala. Namun, beberapa bulan setelah ayahnya masuk sel penjara, Kala pergi meninggalkan rumah paman dan bibinya tanpa meninggalkan pesan dan petunjuk apa pun. Kamila ditinggalkan sendirian di dalam neraka.
Saat ini, Kamila tinggal di rumah bersama Bibi Ci dan Paman Oh yang menyebalkan di sebuah rumah yang terletak di kawasan kumuh tak jauh dari komplek perumahanku. Menurut ceritanya, Paman Oh akan meludahi kakinya dan Bibi Ci akan memukulinya jika ia berbuat kesalahan kecil maupun besar. Kehidupannya terlampau kurang. Ah, jika ada daftar anak yang paling tidak beruntung di dunia ini, ia mungkin masuk dalam jajarannya.
“Kamu beruntung, Laksmi. Kamu punya ayah dan ibu. Mereka pergi ke kantor naik mobil dan pulang ke rumah membawa oleh-oleh yang kamu pesan sebelum mereka berangkat,” ucapnya dengan nada tenang.
Aku jadi merasa tidak enak.
“Tapi kamu nggak usah mengkhawatirkan aku,” pintanya lagi.
Awalnya, kami sering bertemu di taman komplek perumahanku yang berbentuk lingkaran dan dipenuhi kembang bokor dan bunga matahari. Taman itu berada tidak jauh dari pintu masuk komplek. Ia akan berdiam di sana saat sore hari sambil membaca buku lusuh yang ia dapatkan entah dari mana. Kadang-kadang, dia membawa Alkitab dan merenung. Kadang-kadang, ia membawa komik detektif Conan. Pernah sekali, ia membawa buku Dunia Sophie yang sangat tebal. Entah ia dapat dari mana.
Aku sendiri telah hafal posisi duduknya. Ia akan duduk di dekat patung gajah karena bayangan patung itu akan meneduhinya. Jika aku tengah bermain ayunan di dekatnya, dia selalu melihatku dengan tatapan takut-takut. Sedangkan jika sore hari hujan turun, ia akan menghilang seperti angin.
***
Pertemuan pertama kami di taman komplek dimulai dengan keadaan canggung. Aku tidak suka melihat orang bertingkah canggung. Sampai suatu saat ketika aku merasa tidak tahan lagi melihat sikap Kamila yang memandangku dengan tatapan kaku, aku pun memberanikan diri untuk menghampirinya dan bilang, “hai!”
Dia menatapku dengan tatapan hampa. Ada nanar yang bercampur dengan kikuk, “mau jadi kawanku?”
Aku mengangguk cepat-cepat.
Semenjak itulah kami berteman. Hampir setiap hari kami berjumpa di taman pukul empat sore dan air mukanya berbeda-beda setiap hari. Terkadang ia terlihat senang. Terkadang ia terlihat murung. Terkadang ia terlihat marah. Kutanya, apa yang kau pikirkan? Dia selalu menyuruhku untuk jangan bertanya lagi.
“Apakah paman dan bibimu yang menyebalkan itu mempunyai seorang anak?” tanyaku penasaran.
Dia menggeleng. “Bibi mandul.”
Aku hanya ber-oh saja. Mandul itu apa? Saat itu aku masih belum paham. Aku pun tak ingin bertanya lebih lanjut.
Kami senang bermain jungkat-jungkit dan bermain perosotan. Sesekali kami membeli permen gula. Dia sering tak punya uang, maka aku sering pula mentraktirnya beli permen kembang gula. Terkadang ia ingin beli cilok atau baso tahu karena lapar. Dia sering menolakku juga saat aku hendak membayarinya. Kulihat ia merogoh sakunya dan mengeluarkan uang seribuan yang banyak dari sana.
Kamila bilang ia senang sekali membaca. Semua itu berawal sejak Tante Zahra, salah satu langganan di rumah makan tempat ia bekerja, beberapa kali memberinya buku-buku cerita bergambar. Katanya, tante itu merupakan seorang psikolog. Apa itu psikolog? Aku juga belum paham waktu itu. Tapi semenjak Tante Zahra memberinya buku-buku itu, Kamila pun menjadi tergila-gila dengan cerita.
Kamila melahap segala macam cerita dengan sangat cepat. Waktu luangnya hanya digunakan untuk membaca. Jika ia telah kehabisan buku, ia akan merasa gelisah dan tak tahu harus melakukan apa. Makanya, saat kami berjumpa di taman di sore-sore selanjutnya, aku akan meminjaminya buku-buku cerita yang Mama selalu belikan padaku tiap bulan kepadanya. Jika ia telah selesai membacanya, kami akan berjumpa lagi di taman dan ia akan mengembalikannya padaku dan menukarnya dengan buku lain.
“Buku-bukumu sangat bagus dan kertasnya berkualitas tinggi, Laksmi. Aku suka dengan bau kertasnya. Tenang saja, aku membacanya dengan sangat hati-hati,” ujarnya kala itu saat mengembalikan novel The Little Prince-nya Antoine de Saint Exupéry dengan kondisi mulus seperti sedia kala. Setelahnya, kami pun saling berbagi ketertarikan kami pada kisah-kisah yang pernah kami baca.
Mama yang mengetahui kondisi Kamila itu memintaku untuk mengajarinya apa pun yang telah kudapat di sekolah. Gadis itu senang berhitung. Maka kami sering belajar matematika bersama setelah kami puas berbincang tentang hari-hari yang membosankan. Aku kagum, Kamila sangat pintar. Bahkan aku merasa ia lebih pintar dariku. Ia mencerna segalanya dengan cepat dan baik. Mama juga memintaku untuk memberinya kamus bahasa Inggris padanya. Semenjak itu kami sering menghafal kosakata bahasa Inggris di sela-sela kami bermain jungkat-jungkit.
“Laksmi, biar aku ramal. Kelak kamu akan menjadi seorang akademisi, menuntut ilmu di salah satu kampus terbaik di benua Eropa, dan kamu akan merasakan perasaan aneh saat memandangi salju pertama yang jatuh,” bisiknya.
Mataku membulat, “Apa?”
Kadang aku benar-benar sulit memahami apa yang dikatakan Kamila. Pikirannya terlalu luas untuk tubuh mungilnya. Aku heran bagaimana dia bisa memahami banyak sekali konsep abstrak di dalam kepalanya. Akademisi? Lagi-lagi aku belajar kosakata baru dari Kamila.
“Apa kau suka pura-pura tuli kalau berbicara dengan orang lain?” balasnya sambil terkekeh dan memelukku hangat.
***
Di petang-petang yang lain, kami mulai berbagi rahasia. Katanya ia ingin menjadi pengusaha permen. Aku ingin memelihara robot. Dia ingin punya seekor kucing persia putih. Aku ingin pergi liburan ke Copenhagen. Dia ingin mengunjungi makam ibunya sekali saja. Lantas dia bercerita tentang ke mana perginya orang-orang setelah mereka mati. Matanya berbinar-binar saat ia membayangkan tempat paling indah: surga.
Tak hanya perkara-perkara indah, gadis itu hampir selalu menceritakan sesuatu hal yang menurutku terlalu kelam bagi bocah seperti kami. Terlalu misteri dan terlalu jahat. Dia menceritakan kabar kematian tetangganya, perselingkuhan pelanggannya di rumah makan padang, korupsi lurah, dan wabah penyakit yang membuat segelintir orang menderita.
Dia juga bilang, bosnya di rumah makan merupakan istri simpanan seorang rentenir. Apa itu rentenir? Ia bilang, “kamu terlalu polos, Laksmi.”
“Lalu kamu?”
“Hanya mencoba mengajarimu untuk bersikap lebih awas, lebih realistis.”
“Ha?”
Dia hanya terkekeh setelahnya.
Aku selalu mendefinisikan kehidupan itu indah. Dia sebaliknya. Aku mengerti mengapa ia bisa berpikir seperti itu dan aku berusaha menariknya untuk masuk ke dalam sudut pandangku yang kurasa “lebih baik” dibandingkan miliknya. Ia terkadang menutup diri seperti kuncup bunga yang belum mekar saat dini hari. Terkadang pula air matanya turun seperti embun dan membuatnya mencoba untuk kembali berharap.
“Apa hal yang akan selalu kamu ingat?” tanyaku suatu hari, saat petang sudah hampir datang.
“Banyak! Banyak sekali!”
Gadis itu awalnya sempat ragu untuk mengucapkannya karena terlampau banyak hal-hal yang ingin dia selalu ingat. Aku memaksanya untuk mengatakannya padaku semua hal itu. Maka ia pun bilang bahwa ia ingin mengingat potret-potret ayah dan ibunya saat musim gugur di Belanda. Aku tidak tahu bagaimana rasanya musim gugur. Kamila bilang rasanya hangat. Namun, lama kelamaan rasa itu akan berubah menjadi dingin. Semakin dingin.
Kemudian ia merogoh sakunya dan menunjukkan kepadaku sebuah foto lusuh dan kekuningan yang selalu ia bawa ke mana-mana. Foto ibunya tengah mengenakan pakaian mantel panjang berwarna cokelat muda dengan sepatu dan lipstick berwarna merah menyala. Dari foto itu, aku menyimpulkan bahwa Kamila terlahir dari kedua orangtua yang sangat berkecukupan. Ah, andai saja mereka masih ada, mungkin saja kehidupannya tidak akan seperti ini.
Dia juga ingin mengingat saat-saat terakhir sebelum ibunya ditembak ayahnya. Saat-saat di mana dia tengah berkeliling naik kuda melintasi deretan pepohonan cemara yang tinggi dan berbincang dengan si pemandu mengenai konstelasi bintang di angkasa. Saat-saat ketika dia ingin berkeliling satu putaran lagi dan jika dia bisa mengubah sejarah maka dia ingin menghilangkan momen-momen setelah itu: bunyi tembakan dan suara jeritan seisi pengunjung tempat wisata.
“Aku nggak ingin kamu tenggelam dalam kepahitan-kepahitan,” aku berusaha menghiburnya.
Dia hanya tersenyum sembari mencabuti bunga allamanda yang tengah mekar dan menggenggamnya seperti ia menggenggam sebuah dupa.
Sesekali ia mengantarku pulang ke rumah. Ia senang jalan-jalan di dalam komplek perumahan sembari memandang halaman-halaman rumah orang lain yang asri. Aku selalu memintanya menunggu di teras rumah agar aku dapat membekalinya sekantung roti dan selai. “Besok kita berjumpa lagi?”
“Jika tidak turun hujan,” balasnya singkat.
“Selamat tinggal, Kamila! Hati-hati, ya!”
Dia tersenyum manis dengan mata yang menyipit serta mengucapkan terima kasih. Aku masih menatapnya dari depan pagar dengan punggungnya yang semakin menjauh dan menghilang di belokan jalan. Aku masuk ke dalam rumah.
Tidak lama kemudian hujan turun dengan sangat deras, seperti badai.
***
Di meja makan, makan malam telah tersedia dan tertata rapi. Ikan salmon, sushi, tempura, dan ekado. Ayah tidak pernah memasak santapan orang Jepang sebelumnya. Ibuku juga tidak mungkin memasak karena ia sedang pergi ke Magelang untuk menghibur anak-anak di sana bersama sebuah komunitas yang diikutinya. Mungkin ini adalah ide Om Juan, kawan Ayah yang berkunjung sore hari ini.
Aku dan Om Juan sudah saling mengenal dengan cukup baik. Rumahnya di Bogor, dekat dengan Istana Bogor. Dia sudah beberapa kali berkunjung ke rumah kami. Sesekali ia membawakan kami bibit sayuran dan makanan enak. Om Juan pun bercerita bahwa ia memiliki dua orang anak. Anak sulungnya adalah laki-laki seusiaku bernama Raihan. Sementara si bungsu ialah perempuan bernama Sabina, masih TK. Om Juan tak sungkan menunjukkan foto-foto kedua anaknya dari ponselnya padaku dan berjanji akan membawa mereka kemari supaya bisa bermain denganku.
Aku tidak tahu persis kapan Om Juan datang ke rumah. Mungkin sore tadi saat aku masih bermain-main di taman bersama beberapa teman-teman satu komplek. Akhirnya, di sela-sela sesi makan malam, Ayah menjelaskan kepadaku bahwa Om Juan baru saja ada urusan kantor di Jakarta dan akan menginap di rumah ini semalam. Kulihat Om Juan tersenyum ramah padaku.
Keadaan hari itu, rumah kami cukup sunyi. Hanya ada bunyi riak akuarium yang menemani kesunyian di dalam rumah.
Setelah makan malam yang singkat dan padat itu, akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke kamar dan mengerjakan pekerjaan rumahku untuk besok. Matematika tentang menghitung luas dan volume bangun ruang. Di dalam kamar, seketika aku melihat banyak binatang. Serigala menatapku dari pojok kamar. Tupai-tupai berguling-guling di atas ranjang. Kura-kura tua berusia seratus tahun menatapku sayu dari balik lemari. Kunang-kunang hinggap di kaca jendela yang tirai gordennya belum sempat ditutup. Boneka kesayanganku, Janni, memecah keheningan.
Aku mengabaikan khalayanku. Terkadang aku merasa amat terganggu dengan kehadiran mereka. Semakin aku tumbuh besar, aku semakin mengerti bahwa khayalan-khayalan itu terkadang hanya butuh untuk diabaikan. Entah mengapa, kini aku merasa sudah bertingkah seperti Kamila. Gadis itu benar-benar mempengaruhiku.
Aku hanya tidak tahu bahwa terkadang khayalan-khayalan itu dapat memberikan secuil petunjuk.
Andai aku mengerti.
Saat aku sudah nyaris tidak sadarkan diri, pintu kamarku terbuka perlahan. Aku tersadar kembali dan mengintip ke arah pintu dari balik selimut. Om Juan masuk ke dalam kamarku dengan langkah berjinjit. Matanya menatapku lembut. Jari telunjuknya ia taruh di depan bibirnya, menyuruhku untuk diam.
Dan sesuatu terasa sangat menyakitkan sepanjang malam. Aku tidak bisa bergerak atau berteriak. Rasanya lidahku kelu. Badanku beku. Bagaimana ini?
Seharusnya kau melompat keluar dari jendela atau bersembunyi di dalam lemari, bisik boneka Janni di pojok ruangan.
Seketika aku ingin sekali menjumpai Kamila. Dia pasti tahu apa yang baru saja terjadi padaku.
***
Akhir-akhir ini hujan sering turun membasahi bumi sejak pukul dua siang. Genangan air di mana-mana. Mama sudah pulang dari Semarang dan kini ia masih mengaduk adonan biskuit saat aku berdiri meratapi hujan di balik teralis jendela. Kapan berhenti?
“Ma, sudah lama sekali aku nggak berjumpa dengan Kamila di taman. Seminggu? Hampir dua minggu? Apa kabarnya, ya, dia?” keluhku.
Wanita itu menghampiriku sejenak dan mengelus poniku perlahan. “Kita doakan semoga dia baik-baik saja ya, Sayang?” balas Mama.
Aku masih terdiam saat melihat seekor katak melompat di atas rumput halaman belakang yang tergenang air hujan. Ia tak takut bermain-main di bawah derasnya hujan. Mungkin ia sedang menangis namun tak seorang pun dapat menyadarinya.
Di sore-sore selanjutnya, langit sedikit mulai bersahabat. Meski langit mendung kelabu, aku memaksakan diri untuk merapatkan resleting jaketku dan pergi ke taman. Aku sangat berharap dapat berjumpa dengan Kamila dan aku akan menceritakan perasaan sakit di antara kedua selangkangan itu padanya. Mungkin ia mengetahui apa yang aku rasakan.
Namun yang kudapatkan hanyalah tukang koran yang berteduh, tukang gulali yang dagangannya tak laku, dan berlipat-lipat perasaan kecewa. Tidak ada Kamila. Tidak ada lagi siapa pun di sana. Bahkan satu anak komplek pun tidak terlihat bermain-main di sana.
Kamila, aku benar-benar membutuhkanmu sekarang juga.
***
Beberapa sore selanjutnya, keadaan masih tetap sama. Aku tidak pernah mendapati Kamila di dekat patung gajah. Anak-anak komplek mengajakku untuk bergabung bermain jungkat-jungkit bersama mereka. Namun aku menggeleng dan kembali pulang ke rumah dengan perasaan kecewa.
Tetanggaku, Tante Vina melambaikan tangan padaku dari halamannya yang asri.
Aku mengangguk dan pura-pura tersenyum kepadanya.
Dari situ pula, aku mulai merasakan bahwa berpura-pura untuk baik-baik saja itu tidak mengenakkan.
***
Pada sebuah Minggu pagi yang hampa, aku membantu Mama berkebun di halaman depan. Kami menyiangi rumput-rumput liar dan mencabuti daun-daun yang telah layu. Mama menemukan sepucuk surat di antara pot bonsai. Surat itu dilipat sangat kecil dan sedikit basah. Kurebut surat itu – tak pernah berharap seperti itu – dan kubaca dengan seksana. Tulisannya tidak begitu rapi.
Akhir-akhir ini Jakarta diguyur hujan deras terus, ya? Laksmi, kemarin pagi kakakku menjemputku. Aku akan dibawa olehnya ke Malang dan terlepas dari semua belenggu Paman Oh dan Bibi Ci. Selamat tinggal. Maaf begitu mendadak. Suatu hari nanti kita pasti akan berjumpa lagi. Percayalah.
Ah, mungkin surat itu sudah tergeletak di sana sangat lama.
Sepanjang hari aku tidak berhenti menangis. Mengapa ia tidak berpamitan padaku? Mengapa ia tak mengucapkan sepatah kata pun padaku? Mengapa ia tidak mengembalikan buku Northanger Abbey-nya Jane Austen dan menggantinya dengan novel lain?
Mengapa ia meninggalkanku?
Kemudian Ibu dan Ayah mengajariku bagaimana caranya menghadapi kehilangan. Namun, mereka tidak akan benar-benar mengerti. Aku menderita. Sangat menderita. Rasanya menyakitkan. Kami selalu bersama. Satu-satunya milikku telah pergi. Baik itu Kamila atau sesuatu di bawah sana.
***
Bandung, 12 April 2022