Kau Ingin Lebih Gelap
: Leonard Cohen
o hineni, hineni…
antara ada & adha
dalam namaku
di sepertiga malam
dahi kubenamkan
pada sajadah, tuju
arah rumahmu
nafsu dalam nafsi
kuredam entah
berapa lama & kali
lilin-lilin dinyalakan
tapi terang darimu
tak kunjung datang
yang hadir & mampir
hanya hening-gelap
yang nyaring & pekat
memekakkan telinga
menusuk-nusuk mata
membakar sisa percaya
tuhan, pikiranku Ismail
yang kusembelih
dengan pisau-iman
maka, di manakah
domba yang kau janjikan?
o tuhanku yang hantu,
apa matahari niscaya terbit
dari mendungnya langit itu?
sedang aku telah kenyang
terlampau puas berpuasa
mengganjal lapar kepala
yang tak bisa ditawar
sepiring bahasa lulabi:
barangkali atau nanti.
o hineni, hineni…
aku masih di sini
antara ada & adha.
(2024)
–
Aku Mengucap Namamu
: MW
di antara desas-desus
empat ribu dua ratus
religi yang percaya diri
& lebih dari tiga ribu
sosok yang-ilahi
kerak neraka tahu
kau satu-satunya iman
yang kupercayai.
satu-satunya tuhan
yang kusembahi.
tak diragukan lagi
kau satu-satunya mite
yang kubutuhkan.
itula mengapa ia
cemburu & sisakan
satu jahanam
bagi puisi-puisiku.
(2024)
–
Pertunjukan Besar di Langit
: Pink Floyd
aku tak pernah takut
mampus. kapanpun &
di manapun. ini serius,
kekekalan yang malah
buatku muntah darah &
bergidik ngeri. betapa seram
kehidupan abadi: tak ada lagi
kemungkinan, tak ada urgensi,
tak ada kebaruan. maka, gagasan
ada-menuju-kematian begitu
menggairahkanku. membikin
adrenalinku meningkat pesat.
berpacu dengan selagi bisa &
selagi sempat. mengapresiasi
hal-hal yang subtil. tapi sublim &
nampak kecil;
aku ingin nikmati apa-apa
yang hidup & yang berdenyut.
sebelum kebolehjadian itu
satu per satu redup &
mati dijemput maut.
memangnya apa yang bisa
ditawarkan makna, tanpa
yang-terbatas & yang-fana?
(2024)
–
Rapsodi Barangkali
: WR
barangkali semua
yang-tak-kekal hanyalah
interval, gerak ialah tempo,
& manusia adalah grand
piano: lima puluh dua tuts
putih misalkan gembira &
tiga puluh enam tuts hitam…
tak-gembira, atau barangkali
sebaliknya. barangkali pula
keduanya eksis demi buat
komposisi musik pahit-manis
yang asik-menarik ritmiknya.
barangkali kau benar, dosa
terburuk adalah tak hidup
pakai dua telinga. barangkali
kita merupa progresi elegi
yang digubah Schubert
dalam Ave Maria.
barangkali Bach benar lagi,
roh absolut itu imanen dalam
seluruh bebunyi. barangkali
bumi seperti bulan Debussy,
nyanyian setan yang
meninabobokan. barangkali
maut, sama dengan gema
sentimentil lonceng kecil
Liszt & Paganini—bersetia
hantui kemewaktuan kita
yang sengaja luput dalam tuli.
“punten, Beethoven, sepanjang
apakah dua puluh Hz hingga
dua puluh ribu Hz itu?”
(2023)
–
Lupakan Aleph Dua Ribu Sepuluh
katamu,
Coelho yang magis,
tipiskan batas-batas
harapmu & pasrahmu.
kau tahu, kita akan
tetap memakan foton.
campur Radiohead.
di bawah remang neon,
tandaskan antidepresan.
tertawai keras beton-beton.
usir bulir-bulir kecemasan.
misalkan cinta
sebagai massa,
aku mau mencintaimu
sembilan puluh sembilan juta ton.
(2023)
–
Kita Tak Pernah Peduli Israfil Bunyikan Sangkakala dengan Kunci Apa
persetan a minor,
persetan e mayor.
kita tak pernah peduli
pada apa atau bahkan
bagaimana cara. kita
tak pernah peduli
apakah sangkakala itu
ditiup, digesek, ditekan,
dipukul, dipetik, ditepuk.
tapi kiamat-kiamat kubra
dalam hidup kita, tetaplah
tiba, tanpa aba-aba. dari
arah yang dekat. di luar
dari nubuat & tanbiat.
(2023)
–
Selamat Datang di Parade Hitam
: My Chemical Romance
anakku
di dunia yang dipenuhi
para pemenang,
siapa yang memahami
para pecundang
siapa yang sudi
mendoakan pendosa
orang yang dieksilkan
orang-orang tak berguna
siapa yang mengasihi
orang tak berdaya
yang tak bisa dicintai
tokoh figuran
yang terabaikan
tersepelekan
yang tak diinginkan
anakku
maukah kau jadi messiah
bagi orang-orang kalah itu?
(2024)
–
Secuil Pertanyaan untuk Tuhan
mengapa
icarus jatuh sekali
tapi aku berkali?
(2023)
*****
Editor: Ghufroni An’ars