Refleksi
kita adalah orang-orang
yang mencintai sepi
yang melacurkan diri
di tengah kerumunan
mencari ketenangan dari mereka
yang berteriak di malam hari
dengan tubuh-tubuh terbalut mimpi
kita adalah orang-orang
yang mencari sunyi
menyembah berjuta pasang mata
tapi tak pernah mau terlihat sama sekali
penjilat, yang mengilusikan dosa
dalam kesucian semu
kita adalah tubuh-tubuh munafik
dalam konstruksi ruang yang rapuh
(Terban, 2020)
_
“AKU”
Aku seperti apa yang kau ingat
bekas merah di lengan bagian dalam
goresan tipis antara dahi dan alis
aroma bunga tulip pada bagian kerah baju
Aku seperti apa yang kau lihat
tegak berdiri di atas satu kaki
menggenggam nafsu terbungkus kertas
membentangkan sebelah sayap tanpa bulu
Aku seperti apa yang kau bentuk
prisma segitiga berwarna abu muda
padat dengan rongga setengah lingkaran
dua lengkungan pada sisi sebelah kanan
menjadi kesatria separuh malaikat
bertanduk dengan taring penghisap madu
tiga buah topeng menggantung di leher
sesaat dipakai membelakangi muka
Aku seperti apa yang kau mau.
(2018)
–
Majusi
aku terasing, melihat orang-orang
yang didikte agama, yang kini
masing-masing dari mereka bisa
menciptakan tuhan sendiri-sendiri
tapi, sejak lama aku tak peduli
aku nyaman memuja Matahari
nyaman sujud di bawah terik-Nya
membakar dan mengupas dosa
mereka tertawa,
aku menyusun huruf-huruf Alif
tegak, untuk menyangga imanku
kami bertemu di neraka
kutunjukkan Tuhanku: Api
yang sebelumnya tampak
dengan menjelma Matahari
mereka menangis
kala panas-Nya mengupas dosa
mengais, memohon ampunan
pada Api, Tuhanku
dan tuhan mereka?
tunduk bersujud,
memuja Neraka.
(Yogyakarta, 2019)
–
Mawar Hitam
terbiasa diam,
kau mengaksarakan
tiap keresahanmu
di atas daun
tumbuh di tepi pagar
menghiasi taman gelap
kau biarkan mimpimu
mengalir bersama malam
terbawa menuju pagi yang semu
di atas malam
kau bebas bergoyang
menembus angin
kau bisa tersenyum lepas
tak ada air mata yang mengikat
meski hasratmu masih terbalut
keraguan yang terus menua
kau tetap tegar menopang
kembang tanpa mahkota
semua kelopak berjatuhan
setiap kelopak yang gugur
adalah kesedihanmu yang hilang
pada akhirnya
dalam pertemuan dua musim
kau layu tanpa tunas baru
(April, 2018)
–
Katarsis Bebunga
dalam hening bait puisi alam
melantunkan syair-syair purnama
bisik angin dalam tarian hujan
menuntun, mengembara ke utara
air mata bersandar
pada kesunyian ujung malam
sementara jemari
terus melukis senyum dalam lelap
menangislah!
meski lembayung senja terbenam
bintang bintang akan datang menari
meski dingin malam menusuk
fajar dengan segera datang memeluk
menangislah, terus berjalan!
bagaimanapun
alam akan mendengar
meski ia tak terdengar
angin terus melihat
meski ia tak terlihat
sedang surya
hangat memeluk
meski ia tak tergapai
menangislah!
(2017)