Founder of Omong-Omong Media & OM Institute

Karena Kita Bukan Cinderella

Okky Madasari

3 min read

“Setiap anak percaya tak ada cerita yang tak nyata”

– Mata di Tanah Melus –

Jika kita membaca kembali cerita anak klasik dunia dalam konteks hari ini, kita akan menjumpai berbagai hal problematik. Kisah Cinderella misalnya, akan membuat kita bertanya-tanya, kenapa seorang anak perempuan disodori mimpi untuk bisa bertemu dengan seorang pangeran tampan dan kaya yang akan mengubah hidupnya. Selama ratusan tahun, apa yang disajikan dalam Cinderella dipercaya oleh anak-anak perempuan di seluruh penjuru dunia, membuat mereka semua percaya bahwa puncak cita-cita seorang anak perempuan adalah bisa bertemu dengan pangeran yang akan memberi mereka cinta, kebahagiaan, dan mengubah hidup mereka selamanya. And they lived happily ever after.

Apa yang dibaca oleh anak-anak akan tersimpan dalam ingatan, nilai dan pesan yang ditangkap dari sebuah cerita akan terinternalisasi dalam diri mereka, membentuk kesadaran hingga mereka dewasa, yang kemudian akan diteruskan pada anak-anak mereka. Apalagi ketika anak-anak itu membaca Cinderella sebagaimana ibu mereka dulu. Cinderella syndrome menjelma menjadi sebuah norma yang berlaku luas dalam masyarakat.

Tidak hanya Cinderella, cerita-cerita yang menyajikan mimpi tentang pangeran tampan dan pernikahan juga tersaji dalam banyak cerita-cerita lain yang hingga kini terus direproduksi dalam film atau buku-buku dengan beragam versi. Misalnya dalam dongeng Putri Salju (Snow White), Si Putri yang mati suri karena menelan racun, hanya bisa hidup kembali jika ada seorang laki-laki – seorang pangeran tampan – jatuh cinta padanya dan menciumnya. Lagi-lagi, pangeran tampan dan kaya adalah penyelamat hidup seorang perempuan. Sementara perempuan adalah makhluk yang hanya bisa menunggu kedatangan pangeran itu, mengangankannya dalam mimpi, menjadikannya cita-cita dan tujuan hidup.

Selain Cinderella Syndrom, cerita-cerita anak klasik juga membentuk obsesi pada anak-anak perempuan untuk menjadi seorang “putri”. Princess Obsession membentuk perilaku anak-anak perempuan yang disibukkan dengan dandanan dan cara berpakaian yang hanya berpaku pada satu standar tertentu. Definisi cantik dan anggun ditentukan oleh penggambaran dalam cerita, cara berpakaian, model rambut, termasuk kesadaran bahwa kulit putih adalah yang terbaik, semuanya ditanamkan di benak anak-anak melalui cerita-cerita yang mereka baca. Sebagai seorang “putri” yang anggun, aktivitas anak perempuan pun selayaknya dibatasi.

Pembagian peran antara laki-laki dan perempuan sudah ditanamkan sejak kecil, bahkan dari aktivitas anak-anak. Anak perempuan akan banyak menghabiskan waktu di rumah untuk belajar memasak dan membuat kue, menyulam, atau mungkin bermain piano. Sementara anak laki-laki bisa bermain bola dan berpetualang ke mana saja. Mimpi untuk menjadi Cinderella dan obsesi putri-putrian adalah wujud paling nyata ketidakadilan gender yang dibentuk dan dilestarikan melalui cerita-cerita anak.

Dalam beberapa buku anak yang ditulis pengarang laki-laki, kita juga bisa menemukan seksisme dan bahkan misogini. Karya-karya Roald Dahl misalnya, kerap menghadirkan sosok perempuan sebagai representasi karakter yang jahat, sadis, bahkan bisa melakukan kekejaman yang di luar nalar. Bukan berarti bahwa perempuan tak boleh digambarkan sebagai sosok yang jahat, tetapi perlu untuk memeriksa apakah ada bias dan cara berpikir yang tidak adil dalam memandang sosok perempuan.

Selain ketidakadilan gender, masalah yang berakar dalam cerita-cerita anak adalah rasisme. Cerita-cerita anak dari Barat, terutama yang klasik, hampir semuanya ditulis oleh penulis berkulit putih yang tumbuh pada masa perbudakan, penjajahan, segregasi antara bangsa kulit putih dan kulit berwarna, masa di mana rasisme masih dianggap hal yang wajar dan memang sudah seharusnya diterima. Penggambaran karakter, adegan, ucapan, dan esensi cerita-cerita anak pun kemudian banyak yang bermuatan rasis. Hal itu bisa saja tanpa disadari penulisnya, atau memang seperti itulah nilai yang diyakini penulisnya – sebagai hasil dari pendidikan, bacaan, keterpaparan situasi yang mereka lalui sejak lahir hingga dewasa.

Ketika perbudakan telah dilarang, kolonialisme berakhir, dan kebijakan diskriminatif berdasarkan warna kulit sudah banyak dihapus, pikiran dan cara pandang rasis masih tetap bercokol di diri banyak orang. Itu sebabnya dalam buku-buku anak kontemporer pun kita masih akan menemukan rasisme.

Kesadaran Tumbuh

Nilai dan norma dalam masyarakat terus berubah seiring tumbuhnya kesadaran. Apa yang dulu dianggap kewajaran – karena belum adanya kesadaran dalam masyarakat – kini menjadi hal yang patut untuk dipertanyakan. Meski belum dominan, nilai-nilai baru yang menjunjung tinggi kesetaraan, keadilan, dan prinsip kemanusiaan semakin mengemuka dalam masyarakat. Dengan cara pandang dan kesadaran baru inilah kita bisa memahami persoalan-persoalan yang tersembunyi di balik bacaan anak.

Meski demikian, ketika sekarang kita menemukan banyak hal yang tak relevan dalam buku-buku anak-anak tersebut, bukan berarti kita tak boleh lagi membacanya, atau harus mengecamnya, mengharamkannya, menyensornya. Membaca cerita-cerita tersebut dalam konteks dan kesadaran hari ini justru akan membuka diskusi kritis, mengajarkan hal baru untuk anak-anak.

Dengan memberi kesempatan pada anak-anak untuk membaca berbagai hal, anak-anak akan belajar untuk menilai sendiri beragam sudut pandang, termasuk untuk mengoreksi bias-bias yang ada dalam cerita yang ia baca. Dalam proses ini, kehadiran orang dewasa yang bisa memandu menjadi kunci.

Selain itu, dalam upaya membangun nilai dan kesadaran baru, perlu ada upaya untuk terus memberikan bacaan-bacaan baru yang bisa memberikan alternatif cara pandang. Cerita-cerita anak yang membawa nilai-nilai kesetaraan dan kemanusiaan harus semakin banyak diproduksi, disebarkan, dan dibaca.

Untuk bisa menarik perhatian anak-anak sebagaimana cerita-cerita klasik yang bertahan ratusan tahun, setiap cerita harus tetap memikat dan memberikan kenikmatan pada pembacanya. Setiap cerita harus tetap menjadi cerita, bukan menjadi kumpulan nasihat apalagi medium dakwah. Kekuatan cerita tetaplah kunci. Jika anak-anak bisa menikmati cerita tersebut, mereka akan bisa memetik sendiri nilai dan pesan tanpa harus si pengarang yang menunjukkannya.

Buku anak adalah medan pertarungan nilai dan gagasan, maka penulis buku anak harus bekerja keras untuk menyajikan cerita sebaik-baiknya agar bisa merebut perhatian pembaca kecilnya.

***

Okky Madasari adalah seorang novelis dan akademisi. Ia telah menerbitkan sepuluh buku fiksi yang empat di antaranya adalah serial novel anak Mata. Tulisan ini disampaikan dalam kuliah umum di Universitas Negeri Jakarta, 13 November 2021.

Okky Madasari
Okky Madasari Founder of Omong-Omong Media & OM Institute

One Reply to “Karena Kita Bukan Cinderella”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email