Tidak terpantau satu pun akun media sosial capres-cawapres, akun media sosial timses, hingga akun media lima partai besar PDIP, Golkar, PAN, PKS dan PKB yang mengunggah soal peringatan Hari Peduli Sampah Nasional. Dalam debat cawapres Januari 2024 lalu pun, masalah sampah tidak dibicarakan dan dibahas secara serius dan fundamental. Padahal, di tahun lalu banyak masalah sampah yang serius di seluruh wilayah di Indonesia.
Lebih dari 30 TPA terbakar di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah TPA Sarimukti di Bandung, TPA Suwung di Bali, dan TPA Bakung di Bandar Lampung. Selain itu, banyak pula masalah TPA overcapacity seperti yang terjadi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terkenal dengan sektor pariwisata dan pendidikan. Jogja Darurat Sampah pun menjadi trending topic akibat ditutupnya TPA Piyungan yang tak lagi mampu menerima sampah. Alhasil, sampah pun menggunung di sudut-sudut Kota Jogja dan makin hari makin menumpuk sampai menguarkan bau busuk.
Bila kita melihat visi-misi dari setiap paslon, masing-masing memiliki pandangan dalam melihat masalah dan mengatasi persoalan sampah. Masalahnya, dalam setiap visi-misi paslon itu urusan tata pengelolaan sampah masih berkutat di hilir. Hal ini bisa kita lihat bagaimana dalam visi-misinya paslon 03, yakni membuat program bernama Kadariklim (Kampung Sadar Iklim) dengan maksud mengintegrasikan pengelolaan sampah di tingkat kampung. Sementara itu, paslon 02 berfokus pada upaya preventif, yakni kampanye budaya ramah lingkungan dan paslon 01 menyebut akan memperbanyak infrastruktur ekonomi sirkular dalam visi-misinya.
Padahal, masalah tata kelola sampah juga berkaitan dengan pengurangan timbulan sampah. Urusan pengelolaan sampah tidak hanya soal daur ulang dan potensi ekonomi atau biasa dikenal dengan konsep ekonomi sirkular. Perlu diketahui bahwa, timbulan sampah yang dihasilkan di Indonesia mencapai 68,5 juta ton pada tahun 2023 lalu. Pada tahun 2022, timbulan sampah di Indonesia bertambah banyak dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Jenis sampah yang ditimbulkan pun beragam, persentase terbanyak adalah sampah sisa makanan (40,7%), kemudian sampah plastik (18%). Timbulan sampah yang dihasilkan sempat membawa Indonesia menempati posisi kelima sebagai negara dengan penghasil sampah terbanyak di dunia menurut data World Bank tahun 2020.
Hari Peduli Sampah di Tahun Politik
Setiap tanggal 21 Februari, Indonesia memperingati Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN). Dalam sejarahnya, tanggal peringatan HPSN ditetapkan dalam rangka mengingat tragedi meledak dan longsornya TPA Leuwigajah di Bandung, Jawa Barat pada Februari 2005. Kejadian yang menewaskan ratusan orang 19 tahun yang lalu itu bahkan menjadi insiden TPA terparah kedua di dunia.
Di Indonesia, alih-alih dianggap sebagai tempat pemrosesan akhir, TPA sering dianggap dan masih difungsikan sebagai tempat pembuangan akhir. Mayoritas sampah dibuang dan diangkut ke TPA tanpa ada proses pemilahan atau pemrosesan terlebih dahulu. Hal inilah yang membuat beberapa TPA overcapacity hingga lonsor dan meledak.
Isu lingkungan memang menjadi bagian dari kampanye politik. Isu ini pun masuk dalam topik khusus debat yang menampilkan ketiga cawapres beradu argumen dan solusi. Namun, pasca kampanye dan pencoblosan berlalu, isu lingkungan, terutama masalah sampah, masih menjadi hal yang jauh dari harapan untuk dianggap prioritas oleh pemerintah.
Dalam masa rekapitulasi hasil surat suara saat ini, para elit politik sibuk mengatur rencana posisi dan jabatan. Alih-alih sibuk mengatur masalah yang sedang dihadapi masyarakat saat ini, yakni melejitnya harga pangan, mereka masih berkutat untuk menyiapkan diri agar tetap berkuasa. Kalau urusan pangan saja masih dianggap remeh dan tetap menyalahkan alam sebagai alasan naiknya harga pangan, lantas bagaimana dengan isu lingkungan yang selama ini jauh dari kata prioritas? Belum lagi, para elit politik jugalah perpanjangan tangan dari perusahaan-perusahaan yang menyumbang pencemaran lingkungan dan gas emisi.
Baca juga:
Penanganan masalah sampah dan krisis iklim oleh pemerintah masih lamban dan tidak meyakinkan. Padahal, isu ini telah mendapat banyak perhatian generasi muda. Menurut hasil riset Celios, sebanyak 60% masyarakat, terutama dari kalangan muda, menilai pemerintah belum mampu merumuskan kebijakan penanganan krisis iklim. Pada akhirnya, kerja-kerja dan kampanye lingkungan masih bergantung pada aktivis, peneliti, NGO, yayasan, hingga individu yang secara mandiri melakukan aksi dan advokasi berkali-kali.
Dalam semangatnya, masyarakat sipil beraksi secara mandiri dan independen sekaligus mendorong pemerintah membuat kebijakan, menyediakan fasilitas, mempermudah akses, dan menegakkan hukum yang adil terhadap mereka yang membuat masalah sampah. Masyarakat menanti untuk dirangkul dan bersama-sama menyelesaikan masalah sampah.
Editor: Emma Amelia