Kalau kamu atau temanmu sedang berpacaran dengan orang asing, istilah “Bule Hunter” tentu sudah tidak asing lagi. Terutama pertanyaan yang paling diantisipasi: “Kamu Bule Hunter, ya?” Pertanyaan ini biasanya dilayangkan kepada mereka yang tengah mengencani Bule — orang kaukasia yang memiliki kulit putih — dan biasanya lebih sering ditanyakan kepada orang-orang yang sudah berpacaran beberapa kali dengan Bule. Istilah ini kemudian menjadi stigma dalam masyarakat.
Baca juga Lajang Bukan Sasaran
Stigma pada “Bule Hunter” tak bisa dilepaskan dari sejarah hubungan perempuan pribumi dengan laki-laki kulit putih. Stigma ini berakar pada praktik pergundikan yang dimulai abad ke-16.
Ketika Belanda mendirikan kongsi dagang yang dikenal dengan nama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1602, kebanyakan yang ikut berlayar adalah laki-laki yang belum menikah, sebab pada masa itu perempuan dilarang untuk melakukan ekspedisi.
Para pelayar Belanda ini menetap cukup lama di beberapa daerah di Nusantara, kebanyakan menjadi pegawai VOC. Praktik pergundikan menjadi pilihan domestik yang menarik karena merupakan satu-satunya jalan keluar bagi mereka untuk melepaskan hasrat birahi.
Permasalahan mengenai praktik pergundikan ini ditanggapi serius oleh Gubernur Jenderal J.P. Coen. Ia menyurati Pemerintah Belanda untuk mendatangkan perempuan ‘baik-baik’ untuk dijadikan istri pegawai VOC. Sayangnya, usulan ini ditolak oleh Heeren XVII karena beberapa hal, yakni: 1) ditakutkan perempuan yang dikirimkan ke Hindia hanya akan bertujuan memperkaya diri; 2) butuh biaya besar untuk mengirimkan perempuan lajang; 3) pasangan Eropa yang telah menikah dikhawatirkan tidak akan mengabdi lagi pada perusahaan; dan 4) perkawinan suami-istri Belanda di Hindia sering mandul (Jaelani, 2019). Jalan keluar yang disarankan oleh Heeren XVII adalah praktik pergundikan dengan tujuan percepatan asimilasi.
Selain karena faktor ekonomi, pemerintah Belanda sengaja melarang pegawai Eropa untuk menikah dengan perempuan Bumiputera karena ditakutkan produktivitas mereka akan menurun. Pada masa itu, pemerintah Belanda mengirimkan laki-laki yang masih muda ke Hindia untuk bekerja. Mereka yang masih muda dan sehat diharapkan memiliki produktivitas kerja yang maksimal agar Pemerintah mendapatkan keuntungan.
Jika dikirimkan perempuan Belanda ke Hindia atau laki-laki yang sudah menikah membawa istrinya, dikhawatirkan mereka tidak akan fokus kepada pekerjaan, melainkan pada keluarganya dan urusan rumah tangga. Bisa dikatakan bahwa Pemerintah Belanda sangat perhitungan terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan di Hindia. Mereka hanya mengirimkan laki-laki muda untuk dipekerjakan di berbagai bidang, alih-alih perempuan yang tidak dapat dipekerjakan sehingga tidak menghasilkan keuntungan.
Walaupun pergundikan memiliki stigma negatif di masyarakat kala itu, eksistensinya semakin menjadi-jadi, terutama di barak militer dan perkebunan. Pada masa itu, Gereja tidak menerima praktik pergundikan dan menentang keras hingga membuat “daftar orang-orang berdosa”. Kemudian, memasuki abad 19, pergundikan tersebar ke penjuru Hindia dan menjadi gaya hidup masyarakat kulit putih di Batavia.
Di awal abad 20, pergundikan tidak lagi eksis di Hindia setelah praktik perbudakan dilarang oleh pemerintah Kolonial. Akibat dari pelarangan ini, istilah “Nyai” yang biasa ditujukan kepada seorang perempuan Bumiputera yang hidup dengan lelaki Belanda tidak lagi digunakan di kehidupan masyarakat hingga kini, terkecuali untuk penggunaan di literatur.
Pada kenyataannya, masih banyak pegawai Eropa yang melaksanakan pergundikan. Walaupun perbudakan berkaitan dengan pergundikan, hal ini tidak membatasi para pegawai Eropa untuk mengambil perempuan Bumiputera untuk dijadikan gundik. Sebagian besar terpaksa karena mereka (terutama yang masih muda) dilarang melakukan perkawinan, gaji yang didapat tidak begitu besar, serta mahalnya ongkos berumah tangga dengan perempuan Eropa. Pada akhirnya, para pegawai Eropa tersebut tidak melakukan pernikahan secara legal dan hanya hidup dengan gundik yang mengurus rumahnya.
Ketika gundik memiliki anak, tidak ada jaminan atas legalitas status kekeluargaan. Mereka bisa saja tidak diakui oleh ayah Eropanya. Mereka — anak-anak Indo — memiliki kemungkinan diusir dari rumah oleh ayahnya, tidak jauh berbeda nasibnya dengan ibu mereka. Pasalnya, kasus pengusiran gundik tak jarang terjadi.
Sebelum menikah dengan perempuan Eropa, laki-laki Eropa yang memiliki gundik akan mengusir gundik mereka agar istri sah dapat tinggal dengan nyaman di Hindia, atau kembali ke Belanda meninggalkan gundik serta anaknya, untuk kasus ini lebih lumrah terjadi di kalangan menengah ke bawah. Fenomena seperti ini sering diabadikan dalam cerita, seperti salah satu cerpen dalam novel karangan Iksaka Banu yang berjudul Semua Untuk Hindia.
Penjelmaan dalam Karya Sastra
Dalam kesusastraan Indonesia, pergundikan tidak luput dikisahkan oleh para pujangga dan novelis. Para penulis lebih mengenal istilah “Nyai” yang penggunaannya dikenal di beberapa karya, salah satunya dalam novel Abdoel Moeis yang berjudul Salah Asuhan diterbitkan oleh Balai Pustaka (1928).
Dalam novel Salah Asuhan, digambarkan seorang ayah Eropa hidup bersama anaknya yang merupakan seorang Indo. Tuan du Bussee, sang ayah berpendapat bahwa: “… bila ia mengambil ‘nyai’ dari sini. Jika ‘nyai’ itu nanti beranak, pada pemandangan orang Barat itu sudahlah ia berjasa besar tentang memperbaiki bangsa dan darah di sini. Tapi lain sekali keadaannya pada pertimbangan orang Barat itu, kalau seorang nyonya Barat sampai bersuami, bahkan beranak dengan seorang sini. Terlebih dahulu nyonya itu dipandang seolah-olah sudah menghinakan dirinya sebagai bangsa Barat; dan dikatakan sudah ‘membuang diri’ kepada orang sini.” (hlm. 17).
Pernyataan Tuan de Bussee tentang pernikahan antara orang Barat dan orang Bumiputera merupakan pandangan kebanyakan orang-orang Barat pada masa itu. Di zaman kolonial Belanda, mengambil perempuan lokal sebagai gundik merupakan pemandangan yang lumrah dijumpai. Namun, seorang wanita Eropa yang menikah dengan laki-laki Bumiputera akan dianggap rendah oleh sebangsanya, lalu mereka juga akan dikucilkan dari pergaulan kelas Eropa. Penggalan penyataan Tuan du Bussee ini merupakan salah satu penggambaran kehidupan di masa Kolonial Belanda yang masih menekankan supremasi kulit putih.
Corrie, anak perempuan Tuan du Bussee yang merupakan seorang Indo digambarkan merasa derajatnya lebih tinggi dari Bumiputera. Walaupun merupakan seorang Indo, Corrie tidak begitu berbeda dengan golongan Eropa lainnya: merasa lebih superior dari golongan Bumiputera hanya karena perbedaan warna fisik, terutama kulit yang lebih putih daripada perempuan Bumiputera. Sifatnya ini terjelma dalam dialog berikut: “Bukankah benar bahwa engkau berperasaan, bahwa derajat bangsamu ada jauh di atas derajat bangsa Bumiputera?” (Tuan du Bussee) “Ya, Papa! Sesungguhnya perasaanku demikian, karena sungguhlah begitu halnya. Bagiku Bumiputera tidak patut mendapat perindahan kecuali mamaku sendiri saja.” (hlm. 22).
Dialog antara Tuan du Bussee dan Corrie ini menunjukkan bahwa karakter Corrie juga telah ditanamkan doktrin mengenai superioritas golongan Eropa. Dialog lain yang menguatkan argumentasi: “Sudah tentu tidak, Pa! Corrie tak suka bergaul dengan orang Bumiputera.” (hlm. 23).
Karakter Corrie merupakan penjelmaan dari perempuan Indo masa Kolonial Belanda yang congkak dan merasa lebih baik daripada golongan Bumiputera. Walaupun ibu Corrie adalah seorang Bumiputera, Corrie hanya menghargai ibunya dan tidak menganggap Bumiputera lainnya. Sedangkan, Corrie menyukai Hanafi, teman dekatnya. Tetapi, Corrie selalu menyangkal dan tidak mau kalau harus menikah dengan Hanafi yang merupakan seorang Bumiputera. Pernikahan antara perempuan Eropa dengan laki-laki Bumiputera saat itu dipandang jelek, seperti perkataan ayahnya yang berusaha membujuk Corrie untuk tidak menikahi laki-laki Bumiputera.
Di masa kini, terdapat perbedaan orientasi dalam masyarakat Indonesia yang berkencan dan menikahi orang Kaukasia. Jika pada zaman kolonial Belanda didasari atas superioritas orang kulit putih juga keinginan untuk mendapat keturunan Indo sehingga bisa memanjat stratifikasi sosial, maka di zaman sekarang berorientasi pada eksotisme orang Indonesia yang menjadi daya tarik bagi orang Kaukasia.
Selain itu, perubahan ini juga disebabkan standar kecantikan Indonesia yang masih memiliki pengaruh Barat, seperti kulit putih mulus dan hidung mancung. Kriteria yang merupakan standar kecantikan dari masa kolonial ini menyebabkan beberapa orang Indonesia memiliki preferensi orang Kaukasia untuk dijadikan pasangan.
Warisan masa kolonial, inferiority complex, dan penolakan dari sesama golongan membuat beberapa orang Indonesia lebih memilih bule yang kemudian memunculkan istilah Bule Hunter dengan konotasi yang negatif di masyarakat Indonesia.
Tapi bisa juga orang memilih bule karena memang cinta dan preferensi pribadi. Memilih orang mana pun sebagai pasangan, apa pun alasannya, merupakan hak pribadi yang tak bisa dilarang, bukan?
Tulisan yang menarik dan membuka wawasan. Thanks.
Seorang teman yang menikah dengan laki-laki berkewarganegaraan AS pernah bercerita, ia memutuskan menjadi bule hunter melalui situs kencan online dikarenakan bule tidak mempersoalkan keperawanan wanita. Fyi, teman tersebut pernah menikah sebelumnya dan bahkan telah melepaskan kegadisannya sebelum akad nikah ( di pernikahan pertamanya )