Professional Google Map Reader

Jugemu, Muhammad, dan Arti Sebuah Nama

Agus Ghulam Ahmad

4 min read

Di kala banyak orang geram dengan Aulia, komika Lampung yang membawakan materi satir seputar nama Muhammad, saya juga ikutan geram. Bukan karena ia menistakan Nabi—bagi saya, ia hanya sedang mengkritik orang-orang yang kelakuannya bertolak belakang dengan namanya—tetapi karena kesimpulannya bahwa sebuah nama tak berarti apa pun.

Saya akan mulai bercerita dari nama saya sendiri. Nama depan saya Agus dan nama itu sangat menguntungkan ketika datang bulan Agustus. Sebab, lahir di bulan yang sama dengan ulang tahun bangsa yang mesakke ini membuat saya ketiban pulung diskon Agustusan bagi yang bernama Agus. Punya nama pasaran begitu juga agak menguntungkan karena lebih mudah dihafal. Agus berarti lahir bulan Agustus dan bagi saya nama itu begitu berarti.

“Apalah arti sebuah nama?” tanya Aulia. Bagi saya, sebuah nama selalu berarti ketika itu menyimpan doa-doa. Nama belakang saya, Ahmad, merujuk ke salah satu panggilan Nabi Muhammad dan atas dasar harapan orang tua saya agar anaknya kecipratan akhlak nabi. Saya kira begitu juga doa yang tersimpan dalam jutaan nama Muhammad di dunia, baik yang bebas maupun mendekam di penjara. 

Berapa pun orang bernama Muhammad yang dijebloskan ke penjara, tak mengurangi arti dan doa dalam nama tersebut. Lagian, tidak ada yang bisa menebak masa depan seseorang—karena itulah ada doa dalam sebuah nama. Dalam hal ini, doa memang tak berfungsi sebagai jaminan. Nama baik bukan jaminan seseorang akan baik. Namun, ia akan selalu menjadi pengingat seperti baju yang kita pakai. 

Muhammad sendiri dalam bahasa Arab berarti “yang terpuji”. Hari ini nama itu memang jadi salah satu yang paling populer di dunia. Namun, dulu hanya satu orang bernama Muhammad. Muhammad bin Abdullah, Muhammad Sang Nabi. 

Dalam sejarahnya, nama itu pun menjadi kontradiksi yang menarik. Bayangkan, betapa dilemanya musuh-musuh Nabi Muhammad dulu saat mengolok-olok beliau. Ketika mereka bilang “Muhammad yang tercela”, secara harfiah mereka menyebut “Yang terpuji yang tercela”. Maka dalam setiap olok-olok mereka, selalu ada pujian untuk Nabi.

Kini, nama Muhammad menjamur. Sejak kepergian Nabi Muhammad, kita tidak bisa mencegah bila ada orang bernama Muhammad yang berkelakuan seperti Abu Jahal. Namun, setidaknya dengan membawa nama itu dari lahir hingga dewasa, masih ada hal baik yang menyertainya, yaitu kecintaan orangtua mereka kepada Nabi Muhammad dan doa yang tulus. Bukankah dengan demikian setiap nama—terlepas dari bagaimana tingkah pemiliknya—menjadi berarti?

Hal ini berlaku bukan hanya kepada nama Muhammad, tapi tokoh-tokoh suci lain seperti Yesus, Sidharta, dan sebagainya, juga sederet nama baik yang dipilih hati-hati oleh setiap orangtua. 

Bagaimana kita bisa mengatakan apalah arti sebuah nama, padahal itu menjadi pertanda untuk mengidentifikasi kita? Nama itu juga akan dibawa sampai mati, orangtua kita memilihnya dengan seabrek pertimbangan dari yang masuk akal hingga di luar nalar. Kadang kala, sebuah nama didapat dari kontemplasi panjang bertahun-tahun, terkadang itu didapat dari hasil perhitungan orang-orang yang dianggap suci. Apa pun, selain menyimpan doa, setiap nama juga menyimpan cerita. Cerita itulah yang akan mewarnai sejarah hidup kita.

Apalah arti sebuah nama? Pertanyaan itu saya kira hanya keluar dari mereka yang tak pernah mempertimbangkan dan memilih sebuah nama—mereka yang belum pernah menjadi orangtua. Sekali saja mereka diberi kesempatan untuk memikirkan sebuah nama, saya rasa pertanyaan tadi akan pudar seketika.

Baca juga: Asal Mula Kebencian

Di Jepang, ada kisah humor klasik bercerita bagaimana arti sebuah nama, judulnya Jugemu. Kisah itu biasa ditampilkan oleh zenza, pencerita pemula dalam kesenian Rakugo. Premisnya tentang orangtua yang meminta nama kepada biksu agar anaknya berumur panjang. Sang Biksu memberi beberapa rekomendasi nama dan Sang Ayah memakai semuanya. Jadilah anak mereka diberi nama teramat panjang.

Alkisah, sepasang suami-istri dikaruniai seorang bayi laki-laki. Hingga seminggu kelahiran, sang bayi belum juga diberi nama oleh ayahnya.

“Bagaimana ini, Sayang? Sebentar lagi sudah hari ketujuh, anak kita belum juga punya nama,” keluh sang istri.

“Oh, ya? Sudah mau tujuh hari, ya…”

“Iya, malam ketujuh itu perayaan Oshichiya, loh, kita harus mengumumkan namanya,” gumam sang istri. “Memangnya kamu mau anak kita sepanjang hidup tak punya nama?”

Sang istri lalu menyarankan agar suaminya pergi ke kuil meminta nama bayi. Sang suami awalnya menolak, sebab kuil adalah tempat berduka untuk orang mati. Khawatirnya anak mereka bakal berumur singkat.

“Tidak, tidak… justru kalau biksu di sana memberimu nama, itu bakal mengubah nasib burukmu jadi baik menuju hidup panjang dan sejahtera,” sanggah sang istri. “Sudah, kamu pergi sekarang, bawakan nama yang baik buat anak kita!”

Pergilah sang suami ke kuil menemui biksu dan menyampaikan maksudnya. Sang biksu berpikir beberapa saat. “Hmm, nama anak laki-laki, ya… bagaimana kalau kita beri nama seperti burung bangau yang konon bisa hidup seribu tahun, Tsuru-taro atau Tsuru-nosuke?”

“Hanya seribu tahun?”

“Hmm… orang bilang kura-kura bisa hidup hingga 10 ribu tahun. Jadi bagaimana kalau kita namai Kametaro atau Kamenosuke?”

“Hanya 10 ribu tahun, Biksu? Kami mau yang lebih panjaaang, seakan-akan bayi kami bakal hidup selamanya.”

“Kalau begitu, Jugemu.”

Jugemu?”

“Itu kata dari sutra yang berarti ‘berkah tak terhingga’. Segala hal baik takkan berhenti-henti melimpahi anakmu kelak.”

“Wah, saya suka yang satu ini. Apa lagi yang Biksu punya?”

Gokōnosurikire. Katanya, sekali tiap 3000 tahun malaikat turun ke bumi untuk menggosok batu besar dengan lengannya. Butuh waktu satu ko untuk menghilangkan batu itu. Goko, lima ko, menandakan jangka waktu yang tak terkira.”

“Anda memang tahu banyak, Biksu! Ada lagi?”

Kaijarisuigyo-no. Ini merujuk ke semua pasir dan ikan di laut. Kamu tak bisa menghitungnya!”

“Bagus!”

“Bagaimana dengan ini, Suigyōmatsu Unraimatsu Fūraimatsu. Titik akhir dari air, awan, dan angin. Ini berarti tak ada habisnya.”

“Lalu, ada lagi?”

Kūnerutokoroni-sumutokoro, artinya tempat untuk makan, tidur, dan tinggal. Ini bagus karena semua orang butuh rumah.”

“Setuju, Biksu. Ada lagi?”

“Ada sebuah pohon yang katanya tumbuh dedaunan segar di musim semi, berbunga di musim panas, berbuah merah di musim gugur, dan bertahan lebih lama dari embun beku musim dingin. Nama pohon ini Yaburakōjino-burakōji.”

“Ada lagi?”

Paipopaipo-paiponoshūringan Shūringanno-gūrindai Gūrindaino-ponpokopīno-ponpokonāno, ini nama dua anak dari raja dan ratu kerajaan China kuno bernama Paipo yang hidup sangat panjang. Ada juga kanji berbunyi Chōkyūmei yang berarti ‘hidup panjang’ atau Chōsuke yang berarti ‘menolong dalam waktu lama’. Andai punya anak, saya akan memberinya nama itu.”

Puas mendengar jawaban Biksu, sang ayah bergegas pulang menemui istrinya. “Sayang, aku dapat banyak nama dari Biksu,” serunya. “Ayo kita ambil semuanya!”

“Hah? Nanti kepanjangan!”

“Kamu ini bagaimana, sih, kalau kita cuma pilih satu nama dan anak kita mati, kita pasti bakal menyesal. Uh, andai dulu aku ambil semuanya!”

Sang ibu bimbang dan akhirnya sepakat dengan suaminya. Pada malam ketujuh kelahiran, nama anak mereka diumumkan ke para tetangga: Jugemu-jugemu Gokōnosurikire Kaijarisuigyo-no Suigyōmatsu Unraimatsu Fūraimatsu Kūnerutokoroni-sumutokoro Yaburakōjino-burakōji Paipopaipo-paiponoshūringan Shūringanno-gūrindai Gūrindaino-ponpokopīno-ponpokonāno Chōkyūmeino-chōsuke.

Dahulu, pada era Edo, kematian anak-anak sering terjadi sampai-sampai ada ungkapan “Anak-anak adalah dewa hingga usia mereka 7 tahun”. Maka, biasanya orangtua bakal menamai anak mereka dengan nama yang mengandung arti berumur panjang. Orangtua Jugemu tak terkecuali.

Sayangnya, kisah tadi tak berakhir bahagia. Ketika Jugemu beranjak remaja, ia berenang bersama temannya di sungai dan tenggelam. Sang teman terlambat memanggil bantuan karena terlalu lama mengeja nama Jugemu. Saat temannya kembali bersama orangtua Jugemu ke sungai, anak itu sudah mati. Ironisnya, nama berisi doa-doa dengan harapan hidup Jugemu disertai keberuntungan justru menjadi penyebab kematiannya.

Baca juga: Seks di Persimpangan Jalan

Terlalu berlebihan dalam sesuatu selalu berujung tidak baik, meskipun yang berlebihan itu adalah sekumpulan hal baik. Setidaknya, itu yang saya dapat dari membaca kisah Jugemu. Ketika punya anak, saya memilih nama-nama baik dan juga membatasinya agar tidak berlebihan. Sebagaimana nama Muhammad berarti singkat dan sederhana: yang terpuji. Takutnya, seperti Jugemu, nama terlalu berbobot malah menjadi pisau yang mencelakai tangan penggunanya kelak. Orang sini biasa menyebutnya “keberatan nama” dan saya percaya itu ada.

 

Editor: Emma Amelia

Agus Ghulam Ahmad
Agus Ghulam Ahmad Professional Google Map Reader

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email