Dulu kau tak pernah berpikir akan mendengar nama itu lagi. Kau memendam amarah sepanjang waktu, sejak hari kau melompat naik ke atas truk berisi sayuran dengan sebutir peluru senapan burung menembus betismu. Kau meraung kesakitan sepanjang jalan lintas Palopo-Pare-pare sambil memegangi segumpal daging yang membengkak panas. Kau akan selalu membenci segala sesuatu tentang lelaki itu. Senyumnya, kumis tebalnya, seragam tentara miliknya. Satu titik dalam dirimu bahkan ingin membunuhnya.
Sampai tibalah hari ini, ketika seorang pemuda kota dengan setelan rapi dan berambut klimis muncul di depan rumahmu dan mengingatkanmu nama itu sekali lagi. Serta merta amarah dalam dirimu meledak. Kau berdiri gemetaran dengan tangan terkepal, mengeluarkan sumpah serapah karena tak mampu mengendalikan diri. Istrimu harus menghambur dari dalam dapur demi menahan tubuh ringkihmu agar tidak rubuh ke tanah.
***
Pemuda itu tak beranjak di tempatnya meski kau usir segala cara. Penduduk kampung yang ada di sekitar situ penasaran dan ikut curi dengar. Mereka mungkin tidak punya kepentingan dengan ribut-ribut ini tapi jelas mereka terlibat secara tidak langsung dengan kehadiran si orang asing.
Ia nyaris putus asa mencari rumahmu, karena tak ada satu pun penduduk kampung yang mengenal nama Jose Ximenes. Tapi pemuda itu bersikukuh, ia menyebut banyak hal tentang nama itu, yang dibalas sikap tak kalah keras kepalanya dari penduduk kampung. Mereka bilang tidak pernah sekalipun ada orang Timor yang tinggal di kampung sini selama bertahun-tahun. Meskipun dalam hati mereka agak ragu, karena di antara kerabat mereka ada yang menikah dengan orang luar. Tapi tentu saja bukan orang Timor, melainkan Ambon.
Kau yang sedang dalam perjalanan pulang dari kebun memperhatikan di kejauhan semua ribut-ribut itu. Kau tak tahu pasti apa yang mereka bicarakan, tapi kau merasakan dadamu mendidih. Orang-orang segera menyadari keberadaanmu, juga pemuda itu. Kau berbalik pulang ke rumah dengan menyeret satu kakimu seolah tak peduli. Kau tahu pemuda itu mengikutimu dengan berlari-lari kecil, meski semua orang berteriak kepadanya bahwa kau bukanlah orang yang dicarinya. Bahwa kau bukan Jose, kau adalah Daeng Yusu’. Bahwa kau tidak berasal dari Timor, melainkan Ambon.
***
Memang lebih mudah bagi penduduk kampung untuk menerima keberadaanmu sebagai orang Ambon. Entah Timor, Ambon, atau Papua, kulit gelap dan rambut bergelombang yang kau miliki tak ada bedanya bagi mereka. Bahkan Haji Bahtiar, juragan tambak udang yang kemudian hari menjadi wali nikahmu juga berpesan jika tetangga menanyakan asal-usulmu, jangan pernah mengatakan Timor, atau kau akan menerima hal-hal tak menyenangkan.
Haji itu pula yang selalu berdiri melindungimu dari kebiasaan mereka mengusilimu. Dipilihkannya gadis dari kerabat mereka sendiri supaya mulut yang paling pedas berhenti mempermasalahkan warna kulit dan perawakanmu. Semula kau dan istrimu tinggal di ruang belakang mesjid. Kau mengumandangkan azan lima kali sehari, dan orang-orang memuji suaramu tinggimu. Mereka tidak tahu kalau dulu, di Timor, kau memiliki kakak perempuan yang ikut dalam paduan suara kanak-kanak di gereja. Ia mengajarimu beberapa lagu sederhana dan teknik pernapasan. Tapi kakakmu kemudian mati terseret banjir sewaktu kalian sekeluarga mengungsi karena Operasi Seroja. Dan kau juga tak pernah ingin membicarakannya.
Bagaimana pun, orang-orang kampung kemudian mulai menyukaimu.
***
Kadang-kadang pada malam hari, anak kecil itu akan mengambil alih dirimu. Ia tak pernah mati meski berkali-kali kau coba membunuhnya. Anak kecil bernama Jose Ximenes itu muncul dalam mimpimu dalam bentuk puzzel yang terdiri dari fragmen-fragmen hidupmu di masa lalu.
Suatu malam kau memimpikan langit berbintang di kampung halamanmu di Viqueque. Kau yang saat itu berumur sepuluh tahun baru saja tertidur ketika dikejutkan oleh suara tembakan di luar rumah. Mengintip di sela-sela dinding papan rumahmu kau melihat sebuah truk menurunkan satu resimen tentara Indonesia. Orang-orang berlarian, terdengar tembakan silih berganti. Kau melihat cahaya tipis keluar dari ujung popor senapan. Sekian detik setelahnya kau menyaksikan pamanmu Xavier tua rubuh di pekarangan rumahnya.
Ibumu muncul dan menyeret kau turun dari ranjang. Kau tergantuk di pintu, dahimu berdarah. Tapi ibumu tidak peduli. Ia bilang kalian harus lari secepatnya. Kau melihat bapakmu menggendong adikmu yang kecil, Antoni. Kakak laki-lakimu Manuel, berusia enam belas tahun sedang memegang senapan rakitan pemburu babi, juga Maria, si suara tenor dengan buntalan pakaian telah menunggu di kebun belakang rumah.
Kalian sekeluarga berlarian ke dalam hutan. Di sebuah gua di atas bukit kau bertemu ratusan keluarga lain yang juga ikut bersembunyi. Kau bergabung dengan orang-orang dewasa meratap pilu, memandangi lembah yang terbakar. Kampung halaman kalian telah lenyap dimakan api.
Malam itu juga kakakmu Manuel dan beberapa pemuda lain meninggalkan gua. Ibumu menangis dan melolong sepanjang malam. Manuel anak yang baik. Ia sayang padamu dan adik-adiknya yang lain. Tapi ia memilih takdirnya sendiri dan bergabung bersama Fretilin.
***
Beberapa bulan kemudian, kau bertemu lagi dengan Manuel, tapi dalam sebuah situasi yang tak pernah kau harapkan. Kau yang saat itu bekerja sebagai TBO (Tenaga Bantuan Operasional) tentara Indonesia tertangkap Fretilin. Bersama tujuh bocah lain kalian berbaris-berlutut dengan mata ditutupi kain menunggu eksekusi. Sesaat sebelum mereka menembakmu tentara Indonesia muncul dan menyerbu dari segala penjuru. Pasukan Fretilin yang terkejut tak sempat melawan dan kocar-kacir lari naik ke gunung.
Saat itu, salah seorang di antara mereka, yang bau tubuhnya kau kenal begitu akrab menyambar tanganmu. Ia memutus tali yang mengikatnya dalam sekali sentakan pisau dan berbisik akrab tepat di telinga kirimu, “Larilah.” Kau terkejut dan mati rasa sesaat. Lidahmu tercekat tak bisa berkata apa-apa. Kau melepas kain penutup matamu tapi lelaki itu telah menghilang di balik rimbun pepohonan.
Di atas truk tentara kau duduk dan menenggelamkan kepalamu ke lutut, menangis sejadi-jadinya. Kau baru saja mendengar salah seorang tentara melaporkan semua pemberontak Fretilin di hutan sore itu tewas tak tersisa. Mereka telah membakar mayat-mayatnya dan sebagian lagi dibuang ke sungai. Kau membayangkan tubuh kakakmu Manuel mengapung terbawa arus sungai sampai ke laut.
***
Dalam sebuah mimpi acak, kadang jalannya peristiwa berlangsung dalam lompatan-lompatan kecil, kadang juga tumpang tindih sampai kau sendiri tak tahu di mana pangkal dan ujungnya. Sekali waktu kau mendapati dirimu berlari sendirian di tengah hutan. Kau telah terpisah dari ayah dan ibumu. Tentara-tentara itu tak berhenti membakar rumahmu. Mereka juga mengejar-ngejar kalian sampai ke balik gunung. Kau semakin sedih setelah kehilangan kakakmu yang lain, Maria. Kakinya terpeleset ketika melintasi sungai beraliran deras. Tak ada yang bisa menyelamatkannya, tidak bapakmu bahkan Martinus, pacarnya yang mendapat gelar pemuda paling jago berenang di kampung. Ibumu kehilangan dua anaknya dalam semalam. Dan takdir seolah belum puas jika tak mengambilmu juga.
Bukan dua. Ibumu kehilangan tiga.
Ketika kau terbangun di pagi hari kau merasakan sekujur tubuhmu sakit. Popor senapan menghantam-hantam perutmu, memaksa matamu terbuka. Tiba-tiba kau telah berada di markas tentara. Dan untuk selanjutnya, semua berlangsung begitu cepat dalam urutan-urutan pasti. Kau kemudian mendapati dirimu ikut dalam operasi militer sebagai TBO. Tugasmu membawa ransel milik tentara berisi peluru dan ransum. Waktu itu, bunyi bom dan tembakan tak lagi mengejutkanmu. Dibanding anak-anak lain, kau paling sering dapat pujian bapak-bapak tentara. Mereka bilang kau berbeda. Kau pemberani dan tak pernah menangis ketika disuruh menerobos ke wilayah musuh. Untuk itu mereka menamaimu Roda Gila.
Pada tahun 1978, seorang anggota batalyon berpangkat kopral menawarkan kau untuk ikut dengannya ke Indonesia. Ia berjanji akan menyekolahkanmu di sana. Orang-orang memanggilnya Pak Ali Mundini. Lelaki berusia sekitar tiga puluhan tahun dengan kumis lebat dan senyum yang aneh. Kau tak lagi ingat jawabanmu waktu itu tapi kau tak akan pernah lupa setiap janji yang diingkarinya.
***
Jadi, pemuda parlente berambut klimis itu adalah cucu dari lelaki yang sangat kau benci. Ia menampakkan wajah sedih yang dibuat-buat ketika berbicara kepadamu. Saat ini kakeknya sedang sekarat di rumah sakit di Makassar. Ali Mundini sekarang berusia 71 tahun dan telah setahun lebih mengalami stroke. Hidupnya seperti terombang-ambing di wilayah abu-abu antara hidup dan mati. Sepanjang masa-masa pesimistis itu Sang veteran perang hanya punya satu pesan untuk kerabatnya; mencari tahu keberadaan seorang bocah Timor yang pernah dibawanya dulu.
Kau menggeleng. Kau katakan bahwa kau tidak punya urusan apa-apa lagi dengannya. Ia bahkan tak berhak mempertanyakan kabarmu lagi. Kau memperlihatkan lubang menganga di betismu, bekas peluru yang tidak diobati sehingga menimbulkan infeksi dan luka abadi, perlahan menggerogoti kemampuan berjalanmu. Kau mengatakan dengan suara bergetar, bahwa karena kaki sialan itu kau kehilangan banyak kesempatan untuk menjalani hidup lebih baik.
Pemuda itu mengangguk seperti ingin bilang ‘aku bisa mengerti rasa sakit Anda.’ Tapi itu justru menyinggung perasaanmu. Ia bilang bahwa kakeknya tidak akan bisa mati dengan damai jika tak mendapat ampunan darimu. Ia sudah cukup menderita karena mengingat-ingat masa lalunya, biarkan ia mati dengan tenang dengan menerima maafmu, pintanya.
Kau membalas bahwa jika benar begitu berarti ia harus meminta maaf kepada setiap perempuan dan anak-anak di Timor yang telah dibunuhnya. Kepada para janda-janda yang suaminya dihilangkan paksa.
Kau yakin argumen apa pun tak akan bisa mengalahkanmu.
Tapi ia bertahan dengan satu permintaan yang tak terduga. “Jika Anda memang seorang muslim, Anda pasti akan mengampuni dosa kakekku. Bukankah Allah sendiri Maha pengampun…” Ia lantas bersujud di bawah kakimu dan mulai menangis.
Kau tidak tahu apakah ia serius melakukannya. Apakah tangis itu benar-benar datang dari hati. Tapi bagaimana pun tindakannya itu cukup mengganggumu. Kau merasakan sesuatu yang meresahkan dalam permintaannya. Kau berpaling kepada istrimu, kepada orang-orang, dan mereka semua seperti ingin menyalahkan sikapmu. Sesuatu dalam perutmu seperti teraduk-aduk, membuat batang tubuhmu mati rasa. Dadamu sesak.
***
Kau memang seorang muslim. Sesaat setelah sampai di Indonesia kau disuruh ganti agama, masuk Islam. Pak Ali lalu membawamu ke Palopo, Sulawesi Selatan. Di sana kau tak disekolahkan seperti janjinya. Istrinya justru menyuruhmu mengerjakan semua pekerjaan rumah; menyapu, cuci piring, kasih makan ternak. Kau dikasih tidur dekat kandang sapi. Tak diberi uang sepeser pun dan lebih sering ditampar sendal bahkan untuk kesalahan yang tak pernah kau lakukan.
Suatu hari kau nekat lari dari rumah. Kau berjalan kaki ke arah selatan sejak subuh-subuh anjing sampai malam. Kau kelaparan dan mengetuk pintu rumah orang untuk meminta makan. Orang itu membuka pintu, tersenyum, dan menanyakan asalmu. Kau berkata jujur dan ia memberimu makanan dan tumpangan. Mobil itu membawamu kembali ke pak Ali dan kau kena tampar sendal di pipimu lagi.
Pada percobaan berikutnya kau berhasil melakukannya. Tapi demi kebebasanmu itu kau harus merelakan kaki kirimu. Kau masih bisa mengingat wajah lelaki itu ketika kau telah berada di atas truk yang membawamu pergi. Ia memarkir motornya di pinggir jalan dan berhenti mengejarmu. Satu tangannya memegang senapan, baru saja meletus. Ia memperlihatkan senyum puas dan kakimu terluka.
***
Di atas Fortuner berbau stella jeruk dan berpendingin udara kau duduk samping pemuda itu sambil menceritakan semua kisah hidupmu selama dua puluh tahun menghilang. Dari Pare-pare kau menyebrang ke Bone. Kau bekerja apa saja untuk menyambung hidup. Menjadi kuli bangunan lalu ikut menggarap kebun di Sinjai. Ke selatan kau menumpang di rumah kenalan yang mempekerjakanmu sebagai petani garam. Dua bulan di Jeneponto kau memutuskan untuk mencoba peruntungan hidup di Makassar. Itu sekitar tahun 1995. Kau ingin punya becak sendiri tapi kau harus bekerja dulu mengumpulkan modal. Banyak tempat menolakmu karena cacat di sebelah kakimu. Tapi kau tak menyerah. Kau meyakinkan mereka dengan kerja kerasmu. Tentara-tentara itu tidak salah ketika menamaimu Roda Gila. Kau bekerja sebagai kuli panggul di toko bahan campuran, sempat menjadi satpam di sebuah apotek, penjaga malam tempat hiburan, dan kembali menjadi kuli lagi.
Sampai kau bertemu dengan Haji Bahtiar, pemilik rumah yang sedang kau renovasi.
Ia menanyakan asalmu, dan kau berhati-hati untuk bicara jujur. Tapi kau juga takut berbohong. Jika berkata jujur saja kau dapat sial bagaimana pula dengan berbohong. Kau tidak mau kena tampar atau cacat sebelah kakimu lagi. Namun, Haji ini nampaknya orang baik. Diam-diam ia memberimu uang pembeli rokok tanpa sepengetahuan pekerja yang lain. Ia juga senang mengajakmu ngobrol, meskipun lebih sering menceritakan dirinya sendiri. Ia berbicara tentang bisnisnya, sakit asma yang dideritanya, juga anak-anaknya yang kuliah di luar negeri. Kau berpikir bahwa ia menyukaimu karena perawakanmu dan sifat pendiam yang kau miliki. Jadi kau memutuskan untuk berkata sebenarnya.
Setelah Pak Haji mendengar semua ceritamu, ia tertegun sesaat, lalu mengangguk-angguk. Kau menunggu kesialan apa yang akan mendatangimu sesaat lagi. Mungkin ia akan melemparmu dengan sekaleng cat atau memukul kepalamu dengan batu bata. Tapi Pak Haji tak melakukannya. Sebelum pulang ia menggumamkan namamu, Jose, Jose, seperti seorang bocah yang harus mengulang-ulang nama barang yang diminta beli oleh ibunya agar tidak lupa setiba di warung.
Suatu hari Pak Haji menawarkanmu untuk mengganti nama. “Kau ini sudah muslim, bagaimana kalau namamu juga ikut diganti,” katanya. Saat itu usiamu sudah dua puluh tahun. Kau tidak keberatan, tapi kau juga tidak punya ide apa-apa tentang itu. Jadi ia menyarankan nama Jusuf. Jose diganti Jusuf. Tapi Pak Haji lebih senang melafalkan Yusu’, sesuai lidah orang Makassar. Tidak begitu buruk, pikirmu. Mungkin dengan begitu perlakuan kasar yang sering muncul tanpa sebab dari kawan-kawan sesama kuli bisa sedikit berkurang.
***
Agustus 1999, pemerintah Indonesia melakukan referendum. Timor-timur memiliki hak menentukan nasib sendiri dan pendudukan militer Indonesia harus angkat kaki dari sana. Orang-orang di kampungmu akhirnya punya negara sendiri. Kau sebenarnya tak tahu apa-apa tentang politik, kecuali bahwa kau mulai mendengar orang-orang di sekitarmu berbantah-bantahan argumen dengan nada kesal. Mereka menyalahkan kebijakan politik presiden yang baru dilantik. Tapi Haji Bahtiarlah yang muncul memperjelas semuanya. Saat itu kau sudah melupakan cita-citamu sebagai tukang becak dan sebagai gantinya kau bekerja di perusahaan pengelolaan udang milik Pak Haji di Galesong.
Ia datang pagi-pagi sekali, dengan wajah cerah sambil menjabat tanganmu dan memberi selamat sambil berbisik. Dengan ekspresi yang berubah cepat Pak Haji bertanya apakah kau akan pulang ke kampungmu di Timor suatu hari nanti. Kau hanya menggeleng. Kau tak punya jawaban. Kau kembali bekerja hari itu sambil mengusap air matamu yang tak kunjung berhenti mengalir. Perasaanmu campur aduk.
***
“Sebenarnya, Haji Bahtiar yang memberi tahu saya alamat Anda,” kata pemuda itu setelah keheningan panjang. Mobil yang kalian tumpangi kini meluncur di atas jembatan Barombong dan sesaat lagi akan memasuki wilayah kota Makassar. Kau memandang ke muara sungai Jeneberang di ujung luar. Kapal-kapal nelayan di kejauhan serupa titik-titik kecil. Langit biru memantul di kedalaman laut.
Kau sebenarnya tak ingin berada di sini. Anak kecil bernama Jose dalam dirimu memberontak dan mengatakan tidak. Kau bisa merasakan kemarahannya. Ketika semuanya sudah terlanjur dan kau telah duduk di sisi pemuda itu, sebuah perasaan bersalah menghinggapi dirimu. Kau seharusnya mendengar saran anak kecil itu. Bagaimanapun, ia adalah sisi lain dirimu sendiri yang tak bisa kau tolak.
Tapi kau tak bisa terus-terusan hidup dalam rasa marah, itulah yang dikatakan istrimu. Ia berada di sana bersama penduduk kampung yang terkejut setelah mendengar semua cerita sebenarnya.
Kadang kau berpikir bahwa orang-orang tak pernah benar-benar mengerti dirimu. Di satu sisi kau cukup senang karena mereka tak lagi memandangmu sebelah mata. Kau telah menikahi salah seorang di antara mereka sehingga suka atau tidak mereka harus menganggapmu sebagai bagian dari mereka. Tak pernah lagi kau dengar sebutan I anu, I bolong,si hitam atau bura’nena Ti’no, suaminya Ti’no, seperti awal-awal kemunculanmu di sana. Daeng Yusu’, memang itu hanyalah sebuah nama, tapi lambat laun nama itu telah mengangkat derajatmu di mata semua orang. Ketika mereka menyebut nama itu, tak ada lagi perbedaan dalam nada suara mereka seperti ketika mereka memanggil Daeng Talli si penadah nira atau Daeng Rewa si kepala desa. Kau adalah satu di antara orang Makassar.
Namun, di sisi lain ada satu fakta yang selalu ingin kau kubur dalam-dalam. Bagaimana pun, kau tak bisa sepenuhnya menjadi seperti mereka. Kau diterima oleh lingkunganmu tapi di saat yang sama kau merasa dirimu tetaplah bukan orang Indonesia atau Makassar. Ada saat kau membenci dirimu sendiri. Kulitmu, rambut keritingmu yang kini telah memutih semuanya, dan cahaya yang perlahan meredup di matamu, itu berbeda. Dan setiap kata yang keluar dari mulutmu terasa hampa. Kau merasa telah hidup di tempat yang salah dan waktu yang salah. Bagaimana bisa kau menjalani 40 tahun hidup semacam ini di sini.
Kau menghibur diri dengan mencintai perempuan yang dipilihkan Haji Bahtiar untukmu. Pada hari ketika kau menemui kedua orang tuanya kau hanya bisa menunduk memandangi lantai papan dan tak berani mengangkat kepalamu menatap mata mereka. Sepanjang waktu Pak Haji berbicara dan berbicara mewakilimu dan kau tak kuasa menanggung malu sendirian. Kau tak punya uang atau janji masa depan yang baik untuk Ti’no. Kau melamar istrimu hanya dengan modal bacaan Al-fatihah dan seperangkat alat sholat. Kau terkejut ketika mereka menerimamu dengan tangan terbuka. Tak ada keluarganya yang marah atau menolak, setidaknya secara terang-terangan, meski kau tak mengajukan panaik atau mahar sebagaimana umumnya. Dan sekali lagi, kau harus berterima kasih kepada Haji Bahtiar yang berdiri untukmu.
Kau akhirnya menikah dan kau mencintai istrimu. Sesuatu yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya akan terjadi pada hidupmu. Usia kalian terpaut sebelas tahun dan kalian ditakdirkan tidak memilki anak. Semula kau ragu apakah Ti’no bisa mencintaimu sepenuh hati dengan keadaan ini. Tapi belakangan kau merasa bersalah karena rasa ragu itu tidak berasal dari mana-mana kecuali dirimu sendiri.
Di usia senja ia tetap setia mendampingimu, di sebuah rumah kecil, gubuk papan seluas enam kali delapan meter dan sepetak kebun dengan pohon pepaya dan jambu. Perempuan itulah yang selalu berada di sisimu ketika kau terbangun pada tengah malam dengan keringat dingin di sekujur punggungmu. Pada malam-malam ketika kau kalah oleh dendam dan rasa sakit hati seorang bocah korban perang, istrimu berada di sana, mencoba menghiburmu. Ia memberimu segelas air putih, mengelap punggungmu yang basah tanpa berkata apa-apa. Lalu kau akan merasakan kedamaian dan kembali jatuh tertidur di pangkuannya.
Tapi saat ini Ti’no tak ada di sisimu dan Jose kecil telah menguasai hampir seluruh ruang di hatimu. Jadi kini kami bisa bertanya, apakah kau akan menyerah kepada dendam masa kecilmu dan berhenti di tengah jalan, atau berdamai dengan dirimu sendiri lalu memberi maaf kepada lelaki sekarat itu?
***
Kau menutup pintu mobil dengan pelan, dan tanpa berkata apa-apa kau berjalan meninggalkan pemuda itu menangis sendirian di balik kemudi. Dari sebuah ponsel yang jatuh di sisinya sayup-sayup kau mendengar suara seorang perempuan mengabarkan berita duka di seberang sambungan. Kau menggeleng pelan, berjalan menyeret satu kakimu di trotoar jembatan untuk pulang ke Galesong. Air di bawah jembatan berkilau-kilau membuat suasana berubah menjadi hangat. Tiba-tiba kau sangat merindukan Ti’no, istrimu. Sensasi damai menjalari seisi tubuhmu. Kau mengikhlaskan semuanya. Jendral Ali Mundini telah mati dan kau tak akan pernah berurusan dengannya lagi. Di balik punggungmu kau bisa merasakan pemuda itu keluar dari mobilnya dan meneriakkan terima kasih berulang-ulang. Pemuda yang malang. Kau tidak berbalik, bahkan untuk sekedar menoleh. Kau terus berjalan pulang. ***
Sangat menarik dan bold penulisannya. Mantap sekali sebagai bacaan sekali duduk.
Aku nangkepnya ini tentang berdamai dengan inner child wound. Dan dendam yang dibalas dengan pemaafan itu memang tujuan utamanya untuk kedamaian diri sendiri. Keren :’)
Baru kali ini betah baca cerpen dengan POV kedua sampai habis. Bener bener bacaan sekali duduk.