Menjamurnya jasa dan penggunaan joki tugas di lingkungan akademik, khususnya di tingkat kampus, merupakan salah satu bukti bobroknya pendidikan di Indonesia. Akui saja bahwa praktik ilegal ini tidak hanya dilakukan oleh mahasiswa, tetapi juga tumbuh di kalangan para dosen. Bak simbiosis mutualisme, penyedia jasa joki tugas mendapat keuntungan berupa bayaran sejumlah uang, sementara pengguna jasa tersebut dapat menyelesaikan berbagai beban tugas mereka.
Sekilas, fenomena ini tampak tidak bermasalah karena toh tidak ada yang dirugikan dalam “bisnis” ini. Namun, sesungguhnya hal itu menunjukkan kegagalan kampus sebagai institusi pendidikan yang seharusnya menjaga integritas dan etika akademik.
Berbagai alasan pun memperkuat eksistensi joki tugas kuliah. Dari sisi pengguna jasa, biasanya kalangan mahasiswa menggunakan sejumlah alasan, seperti waktu yang terbatas untuk menyelesaikan beberapa tugas sekaligus, kesulitan memahami materi atau konsep yang diberikan dosen, hingga beban tugas yang dianggap berlebihan. Mahasiswa memang pintar cari alasan, tetapi dosen juga nggak mau kalah, loh. Di kalangan para dosen yang “nakal”, joki biasanya digunakan sebagai jalan pintas untuk menunaikan salah satu syarat naik pangkat, seperti dengan menerbitkan artikel ilmiah di jurnal internasional.
Mirisnya, penyedia jasa joki tugas ini biasanya juga berasal dari mereka yang secara intelektual memang mampu untuk melakukan pekerjaan ini. Di samping alasan gabut dan cari cuan untuk jajan, mereka memang pandai memanfaatkan kepintaran yang dipunya untuk membantu orang lain yang kebetulan punya duit. Besaran uang yang harus dikeluarkan oleh pengguna jasa joki tugas pun beragam. Biasanya bergantung pada tenggat waktu dan bobot tugas yang diberikan. Jenis tugas yang dikerjakan juga cukup bervariasi, seperti esai, makalah, hingga yang paling epik di kalangan mahasiswa, yakni skripsi.
Harus diakui, di kalangan mahasiswa, menjalani profesi sebagai tukang joki tugas dapat dibilang susah-susah gampang. Tukang joki tugas tidak memerlukan skill khusus yang begitu berarti karena mereka bisa memilih tugas yang sesuai dengan kemampuan atau bidang ilmu yang mereka geluti, tetapi setidaknya mereka harus pintar membagi waktu agar pesanan selesai tepat waktu dan sesuai dengan permintaan konsumen. Apalagi mereka juga punya tanggung jawab menyelesaikan tugas akademik milik mereka sendiri agar tidak keteteran. Selain itu, tidak mudah untuk memeroleh dan menjaga kepercayaan dari konsumen. Kita tidak mungkin menyerahkan tugas pada mereka yang dirasa nggak mampu dan kompeten, kan?
Tindak “Kriminal” yang Mulai Dianggap Normal
Menurut saya, jasa joki tugas yang makin ke sini makin populer karena orang-orang mulai menganggap perilaku ini sebagai hal yang wajar dan normal. Dulu, jasa joki tugas mungkin hanya didengar dari bisik-bisik saja, tetapi sekarang, di berbagai media sosial dan e-commerce, penyedia jasa ini terang-terangan mempromosikan “dagangan”-nya. Bahkan, testimoni pun turut disertakan untuk memperlihatkan kualitas jasa yang mereka tawarkan. Kemudahan akses untuk mendapatkan jasa ini memang turut membantu mempopulerkan penggunaan jasa joki tugas.
Di sisi lain, normalisasi penggunaan jasa joki tugas didukung oleh sistem pendidikan kita yang hingga saat ini lebih mementingkan nilai daripada proses untuk mencapai nilai tersebut. Jujur saja, di lingkungan kampus saya sendiri, tidak banyak dosen yang rela memberikan ulasan atau feedback secara mendetail terhadap seluruh tugas yang diberikan karena berbagai kesibukan, sehingga mahasiswa berpikir bahwa yang terpenting adalah menyelesaikan tugas, tak peduli siapa yang mengerjakan tugas tersebut.
Bukan Masalah Individual, tetapi Struktural
Apabila digali lebih dalam lagi, saya pikir persoalan joki tugas yang makin marak terjadi karena pemerintah gagal membuat kebijakan yang menjamin kesejahteraan bagi para dosen, sehingga mereka memilih untuk melakoni pekerjaan sampingan ini untuk menyambung hidup. Tingkat pendidikan yang mereka punya serta teknologi informasi yang semakin maju membuat mereka berpikir untuk mencari uang di luar pekerjaan utama sebagai dosen karena keuntungan dari jasa joki tugas memang cukup menjanjikan.
Ditambah lagi, tak sedikit juga persepsi yang menampilkan profesi dosen adalah pekerjaan yang menjanjikan secara finasial, pedahal kenyataannya sangat bertentangan. Gaji yang tidak sesuai dengan beban pekerjaan, tentunya bisa berdampak pada kualitas pengajaran yang diberikan oleh dosen, sehingga akan berimbas pada mahasiswa. Fenomena ini kemudian akan menjadi lingkaran setan yang membuat masalah ini tidak kunjung tuntas.
Masalah struktural seperti ini memang tidak bisa dibebankan pada individu. Pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang memungkinkan penghidupan yang layak bagi tenaga pengajar. Apabila dosen masih ngos-ngosan untuk mengejar kesejahteraan, maka jangan harap kualitas pendidikan kita akan membaik.
Pada kenyataannya, joki tugas merupakan penyakit yang sulit untuk dicegah. Apabila pemerintah serius menginginkan pendidikan Indonesia yang lebih baik, tidak sepatutnya pemerintah terus-terusan memelihara keadaan memprihatinkan seperti ini. Saya tidak hendak menjadi polisi moral, tetapi saya pikir, kita sepakat bahwa dunia akademis harusnya menjadi tempat untuk menjaga integritas, setidaknya bagi pelakunya, diri kita sendiri.
*****
Editor: Moch Aldy MA