malioboro
di malioboro
di traffic light
antara benteng vriedenburg
dan istana kepresidenan
orang orang menyebrang
penuh sangsi, penuh sesak.
ada pelukis jalanan
goreskan kecemburan
musisi nyanyikan nostalgia
nostalgia sederhana, seperti rindu
pedagang menawarkan kelembutan
menawarkan cinta
yang menemu wajah-wajah
berganti, asing pribumi.
aku menunggumu
wahai gadis masa silamku, dulu
yang pergi merantau
sejak empat tahun lalu.
rokok aku nyalakan
di trotoar jalan
terus mencarimu dalam ramai
bertemu mata demi mata
datang dan pergi.
seorang gadis kecil
jualan kesedihan
menawarkanya sepanjang malioboro
dihiraukan malioboro.
semua orang lebih peduli pada toko
pada distro, los-los malioboro.
halte bus itu kosong
tak ada orang
tak ada penumpang.
menghambur merpati putih
sesaat derit besi roda kereta
terdengar seperti lolong anjing
di balik gedung tua,
terasa dekat dan dekat
membawamu padaku.
seekor kuda
mengibas mukaku
sambil berak
dan mengejek
kesendirianku
dalam penantian.
tiba-tiba tukang bunga
berjalan menunduk
bunga di tanganya layu
tak laku.
fotografer memotret cinta
dalam kepudaran gambarnya.
becak yang menabrakku
melarikan diri selamanya.
kau datang
bergaun dan berdandan
sedang aku seperti gelandangan
dan lalat lalat hijau mengitariku beterbangan
dan kau tak menyapaku, melupakanku! Bahkan menatap pun tidak!
(Sewon, Bantul, 2016)
–
jazz untuk nada
kota gelap mendung seperti gerhana
dan angin turun dari gunung tengah kota
berembus menuju selatan
penuh bayang menakutkan
seperti cinta, cinta yang penuh kepura-puraan
penuh ketidaknormalan, kebohongan.
seperti drama, drama akrobat yang akan diselesaikan
seseorang dengan pistol dan status sosial di jalanan.
terdengar musik jazz dari kafe mewah tengah kota
saksofon, luka, bass-gitar, pesakitan, trombon, kesedihan.
lalu nada jazz terdengar menyakitkan
seperti bunuh diri, sebab improvisasi blue notes dan deras hujan
adalah kesengsaraan dan kegetiran.
di kafe ada pasangan-pasangan
yang hirau pada keresahan bersama cintanya.
pasangan yang berciuman tak kenal waktu
karena berhubungan dengan lelaki pangkat dan barbar
wanita pada make-up dan gaun import amerika
lebih hedon
lebih western
lebih postmodernist
sampai status sosial borjuasi.
mendung tambah mendung
hujan bertiup ke selatan.
air hujan berputar mengelilingi alun-alun kota
tersangkut dalam watertorn
masuk dalam masjid, kelenteng dan gereja
lalu keluar dan dapatkan pengampunan.
tapi hujan masih deras, langit mendung gelap sekali.
apalagi yang harus aku perjuangkan?
nada jazz bersarang dalam kepala
penghinaan membeku dalam-dalam
saat mencintai cinta berubah jadi sakit terasa dendam
kebencian bersarang menyebar ke seluruh darah dalam-dalam.
maka satu tahun dalam hujan deras adalah seribu tahun
dan cuaca kota tropis satu musim–penghujan
dan tak ada pengakuan, tak ada penerimaan
lalu angin angin turun dari gunung membelenggu
dan hujan pun tak kunjung usai dibuatnya.
(Bulaksumur, Gajah Mada, 2016)
–
seperti delta danau kita
tiba-tiba lanskap hijau
terlihat dari danau
atasi kegersangan
musim panas yang tak kita inginkan.
angin kadang bertiup ke arah situ
arah balik bukit-bukit itu
penuh rerumputan tinggi seperti delta danau kita
yang pernah asingkan jiwa telanjangku.
saksikanlah! keliaran cinta tumbuh dalam dosa
seperti burung tegak kepalannya tersipu
dan masuk dalam jurang terjal berliku.
besok, rembulan datang menemu jemarimu
seperti tangan langit berwajah gerimis
yang keluar di ujung senyum manismu
seperti lanskap hijau musim panas
yang kemudian melingkari jari manismu.
rembulan kita dalam labirin satu pintu
kau hanya perlu jalan lurus.
(Bulaksumur, Gajah Mada, 2016)
–
dan nafas kita
tempat perpisahan payung dan hujan
meninggalkan kenangan
seperti kau sudah melupakan
aroma-harum tubuhku
yang dibasahi gerimis air matamu.
sedikit cinta untukmu
tatkala hasrat berbicara tentang lebah
yang bernafsu
mengisap puting madu
bunga-bunga taman dada kecilmu
biarkanlah lebah berdansa di sana hingga hujan turun.
musim hujan mengingatkanku padamu
yang jadi kupu-kupu melingkar di bawah perut jantanku.
aku masih saja mengenal harum
bau tubuhmu ketika hujan turun
rintikan suara air di atap rumah itu
mengingat suara erangmu yang tak terdengar.
mana terasa dingin angin hujan deras
yang awalnya hanya gerimis jatuh
kau dekap aku sangat dekat, sangat dekap, sangat dekap.
dan nafas kita jadi lengking biola berdesir pendek
tak beraturan.
(Sewon, Bantul, 2016)
–
aku ingin tidur denganmu
kehalusan perempuan
seperti ratu inggris
di bingkai di dinding
atas kepala tidurku.
bau parfum yang vulgar
aku tak ngantuk matanya
aku ingin tidur denganmu
di bawah sinar bulan purnama.
walau kau pakai rok
dan sweater wol, na!
kau tetap gadis laki-lakiku
“female masculinity”
jadi peluk aku
sebab aku milikmu sepenuhnya.
aku bukan profesor binal
yang ditulis nobokov
dalam ‘lolita’, na!
jujur saja, aku jujur padamu
payudaramu tampak menonjol jika kau telanjang.
pilu sajak ini seperti membayangkan:
punggung putih pasir pantai itu
perut landai mercusuar basah itu
bukan upayaku menentang moralitas.
kemarilah,
aku menunggumu tertidur tertutup selimut
bulu di tubuhku begitu lebat
hitam kental diisap matahari.
kenapa kau tak datang?
(Sewon, Bantul, 2016)
*****
Editor: Moch Aldy MA