Manuskrip tentang pesantren dan pengajaran pesantren atau pun teks-teks klasik yang dihasilkan oleh pesantren bukan saja menunjukkan betapa majunya budaya tulis-menulis di Nusantara sejak sekitar 500-600 tahun yang lalu tetapi juga memperlihatkan betapa ramah, toleran dan beragamnya Islam di masa-masa awal ia tiba dan menyebar di Indonesia.
Semangat untuk mengkaji kembali kesusastraan pesantren belakangan ini dipicu oleh ikhtiar yang dilakukan filolog dalam negeri maupun luar negeri baik secara individu maupun lembaga untuk menyelamatkan manuskrip dan khazanahnya dalam dua dekade terakhir. Meski begitu, usaha untuk mengumpulkan dan melestarikan manuskrip ini tetap minim publikasi terutama kepada masyarakat umum dan khususnya santri pesantren. Padahal dengan begitu banyak manuskrip yang berisikan tentang ajaran Islam, kita akan memahami bahwa jejak transmisi keislaman pesantren memang terekam dengan detil dan dapat dibuktikan dengan rimbun dan banyaknya manuskrip Islam Nusantara terutama manuskrip milik para masyayikh.
Bagi kalangan akademisi khususnya mahasiswa, teks klasik yang memuat beragam tema khususnya sejarah dan ajaran agama akan memberikan nafas lain dengan membandingkan dengan kondisi Islam Indonesia saat ini yang dipaksa untuk eksklusif, kaku dan menakutkan.
Baca juga:
Manuskrip Islam Nusantara
Ada perbedaan dalam proses Islamisasi di Nusantara dengan Islamisasi jazirah Arab dan sekitarnya baik secara instrumen yang digunakan maupun pendekatan gerakan. Bila tersebarnya Islam di jazirah Arab, Mesir, Syiria, Iran, Iraq dan sebagainya menggunakan metode ghazwun (perang) maka para syaikh menyebarkan Islam di Nusantara, misalnya yang dilakukan oleh Syaikh Jumadil Kubro, salah satu dari banyak wali di Nusantara, menyebarkan Islam melalui pendekatan kultural baik itu pendidikan, pernikahan hingga pemanfaatan budaya lokal atau yang biasa kita sebut local wisdom.
Menyoal awal mula pembentukan lembaga pendidikan atau pesantren, para ulama Nusantara selalu melakukan riset terlebih dahulu, misalnya dengan cara berdakwah, menyelelami budaya setempat dan bahkan pernikahan sebelum membentuk pesantren atau lembaga pendidikan pada zaman itu. Degan demikian mereka memperoleh gambaran yang jelas bagaimana pola kehidupan bermasyarakat di lokasi tersebut dan menyesuaikan pola peyebaran dan pengajaran Islam dengan kondisi setempat ini.
Proses pendidikan melalui pesantren dimulai sejak zaman Sunan Ampel (terlahir dengan nama Raden Ahmad Rahmatullah) yang hidup antara 1401–1481. Beliau membuat pesantren Ampel Denta yang terletak di Surabaya dan menjadi awal pembaharuan gerakan dakwah Islam karena sebelumnta pendidikan keagamaan hanya ada di surau atau padepokan saja. Konsep pesantren ini kemudian juga berkembang di luar Jawa. Kita dapat menemukan buktinya pada manuskrip pesantren yang ada di Surau Calau, Sumatera Barat, Aceh, hingga Sulawesi.
Meskipun meniru konsep pesantren, metode mendidik ala ulama klasik Nusantara sangat beragam, tidak monolitik dan membaur dengan budaya setempat menghasilkan ragam kesenian atau corak beragama yang baru nan ramah akan local wisdom. Dialektika yang intens dalam pesantren baik di Jawa maupun luar Jawa disertai dengan beragamnya ajaran Islam baik syara’ maupun keilmuan lain.
Misalnya dalam manuskrip yang dapat kita temui di Leiden mencatat bahwa ada pengejawantahan makna Wahdataul Wujud dalam sebuah keris. Catatan ini dapat kita temukan dalam manuskrip Tuḥfatul Mursalah ila an-Nabi karya Muḥammad bin Faḍlullah al-Hindi al-Burhanfuri. Ajaran Wahdatul Wujud atau yang biasa kenal dengan istilah Manungaling Kawula Gusti banyak dipelajari oleh Muslim Jawa era itu dan menjadi salah satu suluk, karena budaya batiniyah dan budaya hindu yang masih sangat kental. Selain itu hal ini menandakan lenturnya ajaran Islam di Jawa.
Selain ajaran tasawuf Wahdatul Wujud dan tarekat, ada pula manuskrip yang berisi surat-surat kesultanan seperti yang dimiliki oleh Kesultanan Buton, Sulawesi. Ada juga yang menjelaskan tentang adab shalat, salah satunya ialah mengucap puji-pujian sebelum shalat yang kita sering dengar di surau-surau dan pesantren serta kita telah anggap sebagai tradisi. Ilmu nahwu tak luput dalam catatan pena ulama Nusantara. Manuskrip Cirebon yang disimpan oleh keraton kanoman ini menjelaskan tentang pengajaran nahwu klasik ala pesantren zaman itu.
Dari sekian banyak manuskrip yang ada, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa budaya tulis menulis kita sudah maju. Manuskrip Islam tentu juga harus dipahami sebagai salah satu mozaik dari apa yang disebut sebagai Islam Nusantara. Budaya tulis menulis ini sekaligus menandai bahwa proses transmisi Islam di Nusantara berjalan dengan ramah dan dengan beragam metode.
Peran Pesantren
Pesantren sebagai ahli waris dan lembaga pendidikan tertua yang ada di Indonesia tentunya memberi andil besar dalam pendidikan bangsa khususnya pendidikan keagamaan. Begitupun dengan manuskrip Islam klasik yang kita temui juga menjadi bukti bahwa jejaring atau sanad keilmuan pesantren sudah menggunakan medium tulis menulis yang biasa kita kenal sekarang dengan metode sorogan dan bandongan (mendengar dan memaknai kitab).
Maka dari itu, sudah seharusnya para santri atau akademisi yang beralatar belakang tumbuh dan besar di Pesantren turut andil dalam melestarikan dan menjaga khazanah manuskrip klasik ini baik fisik dan sistem pengajarannya yang membuktikan bahwa relasi kultur maupun sosial antara entitas pesantren dan budaya lokal masyarakat begitu harmonis.
Tersebarnya manuskrip serta ajaran Wali Songo di seluruh Nusantara juga membuktikan bahwa terjadi hubungan erat antara budaya lokal, masyarakat Nusantara, Islam dan pesantren. Menilik kembali pada peran pesantren ini, kajian tentang teks manuskrip kuno khususnya milik masyayikh pesantren harus kembali digalakkan.
Dengan demikian apa yang kita maknai sebagai Nahdlatut Turats atau kebangkitan teks pesantren tak hanya menjadi wacana belaka. Kajian manuskrip pesantren bisa melalui struktur teks, isi teks, hingga anatomi teks maupun menelisik sumber atau sejarah teks manuskrip yang terdapat di Pesantren. Begitupun dengan khazanah sastra pesantren yang begitu rimbun akan ragam topik dan wacana serta yang menunjukkan menguatkan betapa beragamnya tafsir terhadap ajaran Islam, betapa ramahnya ia terhadap masyarakat, budaya lokal dan kearifannya (local wisdom) serta betapa terbuka dan inklusifnya ia.
Penulis adalah santri denanyar serta sekarang adalah mahasiswa BSA UIN Jakarta
One Reply to “Islam Nusantara dan Kebangkitan Sastra Pesantren”