“Assalamualaikum, Mas, sudah tidur?” kemarin Budi menelepon malam-malam. “Kenal Hartanto Ramelan?” saya baru mematikan laptop dan bersiap rebahan di kasur. Pukul 11 malam, di tempatnya mungkin matahari sudah mau menyembul terbit.
“Baru mau tidur. Ada apa, Bud? Aman kau di sana?” kata saya. Budi, sahabat lama saya sedari kuliah, bercerita panjang sampai sayup azan subuh berkumandang.
“Kukira kamu perlu tahu itu, Mas. Aku cuma berkata jujur.”
Saya terlelap tak lama setelah menutup telepon dan bangun dua jam kemudian. Saya tak merasa bangun dari tidur. Rasanya seperti menonton film cowboy di bioskop dan keluar dengan pendengaran yang kurang stereo, plus mata yang berkunang-kunang.
Sekarang Senin. Untuk memulainya memang perlu perjuangan ekstra. Apalagi, mengingat yang Budi sampaikan di telepon. Saya kenal Hartanto sebatas kolega, tapi informasi yang Budi sampaikan boleh juga.
Kanopi berkeretap ditabuh hujan dan saya lama terpekur di ambang pintu, melamun, nglangut. Cucuran hujan yang menumbuk asbes merdu sekali sepagi ini. Kantuk menyerang dan saya rebahkan badan di sofa. Saya tak mengutuk hujan, tetapi kantuk sialan ini seperti membetot kepala dan mencegah saya menyalakan mobil. Ada hal yang harus saya garap di kantor, mungkin telat setengah jam tak apa, toh jalanan bisa saja macet, ada motor yang tergelincir atau luberan air selokan memenuhi bahu jalan.
Namun, mata saya urung terpejam. Suara Budi bergema dalam tempurung kepala. Sudah lama saya tak bertemu dengannya. Hampir sepuluh tahun dan setiap kami berbincang di telepon tak pernah selarut itu. Mungkin ia merasa kangen, kali terakhir kami berbicara serius adalah juga kali terakhir kami bertemu sebelum ia lepas landas ke Amerika menjadi dosen.
Mentereng, terus terang. Budi, sahabat saya, pernah berlomba-lomba menahan perih di perut menunggu honor tulisan cair, demi menghemat biaya makan, mengudap mie instan mentah saban malam, di kosan reyot yang saluran kamar mandinya selalu tersumbat.
“Saya tak bisa melewatkan sisa hidup dengan membohongi diri sendiri,” ujar Budi sehari sebelum keberangkatan. “Bukan berarti Mas saya cap pembohong, lho.”
“Kalau dicap pembohong olehmu, justru saya senang.”
“Kok bisa?”
“Berarti saya dianggap penting sama organisasimu itu, Bud.”
“Kepalamu!”
Kami terbahak, sesekali terbatuk, kadang bersendawa. Saat itu situasi di rumah minum sedang sepi, seolah menjadi rumah kami sendiri. Kami saling menimpali percakapan dengan getas, tak mau kalah dengan alunan rave yang mengisi ruangan. Kami ingat honor pertama yang dihabiskan buat minum-minum dan bangun dengan keadaan kembali miskin. Kami pun sampai ke pembicaraan yang biasa diawali urat syaraf, tapi kali ini dengan suara yang direndah-rendahkan. Budi mentraktir minum dan kami pulang pagi seperti hari-hari kami dahulu yang masih hijau dan serba ngotot akan keadaan.
Budi masih ngotot sampai sekarang. Ia masih sahabat yang saya kenal. Atas dasar itu ia mewanti-wanti soal Hartanto Ramelan dan saya dibuatnya manggut-manggut di telepon. Memang, banyak hal telah berubah seiring apa yang sama-sama kami lalui. Sialnya, banyak hal yang juga tetap sama, dan saya memuji Budi soal yang belakangan ini. Dan saya masihlah seorang peragu yang sama juga.
Malam itu, untuk kali terakhir ia membujuk saya ikut dengannya dan lagi-lagi saya menolak. Saya sempat terpojok karena tak punya alasan yang memadai, pun yang dapat saya tutupi darinya. Ia tahu segala hal tentang saya, sebagai sahabat ia sungguh pemurah. “Tak perlu Mas bekerja yang aneh-aneh. Tinggal saja di rumah yang disediakan kampus dan tetap menulis,” ujarnya. Ajakan itu seperti mencemplungkan mata kail ke kolam lele. Beberapa kolega yang kebelet ke luar negeri apalagi dengan cara yang ajimumpung bakal melahapnya. Tapi buat saya, tawarannya malah mengguyur rasa ragu lebih banyak dari yang dapat saya tampung.
Saya ingat ia pernah kesal sampai ubun-ubun setelah kami berdebat. “Satu-satunya gemini brengsek di dunia ini adalah yang tak pernah ragu akan keragu-raguannya.” Ia melengos masuk kamar lalu saya kirimi video syur artis terkenal, “diantjoek koe, Mas! Bagus juga seleramu,” teriaknya dari kamar sebelah.
Perang prinsip bagi kami sudah biasa. Apalagi bila keraguan termasuk ke dalam suatu prinsip hidup—mengingat moto Marx yang tersohor itu, de omnibus dubitandum—tak pernah berlarut-larut masalah di antara kami dan lekas selesai dengan saling mengomentari fantasi masing-masing.
Seperti hujan, kenangan tentang Budi di kepala mendadak terhenti. Mendorong saya keluar rumah dan bergegas ke kantor. Secepat itukah masa lalu bergulir? Saya gantungkan jawabannya pada cuaca penghujung tahun. Bisa mendung dan muram, bisa juga mendadak gerah dan panas.
Khusus di hari Senin, alasan berangkat siang memang selalu berlimpah bagi para pemalas. Tak sedikit yang baru memarkirkan kendaraannya di pelataran parkir. Kantor saya berada di lantai 10, berbagi gedung dengan kantor-kantor lain, dengan wajah-wajah karyawan yang berganti setiap tahunnya. Saya tak bisa mengingat betul di lantai berapa mereka bekerja dan itu memang tak penting. Saya hanya butuh teman untuk membenarkan alasan dan sama-sama membuka pembicaraan di dalam lift dengan kemacetan khas hari Senin.
Sampai di ruangan, saya nyalakan laptop dan menyeduh kopi. Beberapa kolega sudah khusyuk di depan layar masing-masing. Mereka anak muda yang tekun dan rajin. Benar apa kata Hartanto, ia amat antipati terhadap gaya bohemian. Dalam merekrut tim, setidaknya perlu diperhatikan motivasi mereka selain uang atau gaji. Apa keinginan mereka dan sejauh mana dapat dipercaya. Dalam hal ini ia menyerahkannya pada saya. Tak menunggu satu purnama, tim kami terbentuk dengan solid. Tak ada dana yang mubazir, laporan rapi dan klien tersenyum puas. Tentu saja dengan ongkos yang tak sedikit dan itu membuat saya lumayan berbesar hati.
Seandainya Hartanto Ramelan menganggap saya cerdas, saya akan berbelaskasihan pada para pelamar kerja yang punya pengalaman gagal masuk perguruan tinggi bergengsi hanya karena nilai eksaknya pas-pasan. Setelah melalui kehidupan sepanjang ini, saya telah cukup bijaksana untuk bekerja seperti kambing kantoran yang kompeten. Saya dapat menjalani apa yang ia minta dan mengakhirinya dengan sepotong senyum, sesederhana itu. Ia paham keraguan adalah penyakit akut yang saya idap dan hanya bisa disembuhkan oleh Isa Almasih yang kembali turun dari langit. Orang seperti Hartanto Ramelan dapat membuat saya tak memikirkan tentang keraguan.
Kali ini kami kedapatan proyek dari klien tersohor. Mereka mendonorkan CSR-nya dalam jumlah fantastis. Perusahaan sawit internasional membuka lahan di tengah hutan, mencukur cepak hutan hujan terbesar ketiga di dunia; mengubahnya menjadi keuntungan miliaran dollar ke kantung sang pemilik. Tentu kami tak perlu membahas akibat dari gundulnya hutan itu dan ke mana para penduduknya sekarang tinggal. Hal seperti ini sudah dibahas Budi di sebuah simposium dan pemberitaannya membuat klien kami khawatir.
Agensi kami tentu saja sudah menanggapi kekhawatiran itu dengan profesional dan mengutus beberapa penulis lokal yang tak pernah menulis secara becus tapi menyebut diri sebagai penulis, untuk menggarap laporan tentang telah dibangunnya sekolah dasar hingga menengah atas di suatu wilayah terpencil. Tentu dibangun oleh klien kami, siapa lagi? Para penulis itu gampang saja, tinggal menulis betapa haru-biru mewarnai kampung udik itu. Anak-anak dari orangtua yang terampas tanah hidupnya tak perlu lagi mengirim anaknya ke kota yang jauh untuk bersekolah. Para pembaca akan terharu, mungkin menitikan air mata.
Perkara lain menyusul. Saya mengontak Hartanto, memberinya kabar yang tiba-tiba mengundang tawanya. Di badan email saya tulis serinci mungkin alamat rumah dan kapan Budi hilir mudik ke kampus, di fakultas mana ia mengajar, di bar mana ia kerap nangkring, siapa saja kolega dan kelompok yang melindunginya. Saya pun mengiriminya foto-foto Budi yang dapat dengan mudah diingat agen kami yang berdarah reptil dan berkulit seperti mamalia itu, setibanya mereka di Amerika.
Kemudian saya tinggal bersedu-sedan, kalau perlu merengek, biar para peneliti sok tahu dan remaja bau kencur tak sampai mengendus terlalu jauh. Tapi bukan itu yang saya persoalkan, melainkan, tentu saja, agensi kami akan mendaftarkan diri untuk menangani kasus orang ‘hilang’. Hartanto sedang melobi para filantropi yang juga taipan yang juga CEO korporat bergengsi yang juga investor sawit dan tambang migas. Saya membayangkan betapa senyum merekah di bibirnya, juga mimik haru Budi sahabat saya seketika ia kelak ‘ditemukan’.
***
Editor: Ghufroni An’ars