Di tengah kebebasan dan kemudahan membangun media daring, perusahaan-perusahaan media tetap harus punya tanggung jawab untuk lebih mengedepankan independensi dan mempertahankan mutu.
Pada 2015, catatan Bre Redana soal kemunduran eksistensi media cetak menuai berbagai respons. Dalam tulisannya yang bertajuk Inikah Senjakala Kami, mantan wartawan Kompas itu mengatakan, “Internet menyediakan semua data, tapi dia tidak akan pernah bisa menggantikan proses pertemuan dan wawancara.” Seperti penumpang kapal yang kian dekat menuju akhir hayat, begitulah ia mengibaratkan nasib wartawan media cetak masa kini.
Reproduksi, duplikasi, replikasi, dan publikasi ulang merepresentasikan bagaimana mayoritas pemberitaan media daring bekerja. Rasanya begitu memuakkan memilah informasi penting sembari dijejali iklan-iklan yang melayang di layar gawai. Belum lagi kekeliruan tanda baca. Masih perlunya mengeklik halaman berikutnya demi bisa melanjutkan bacaan juga sering membuat jengkel. Mutu tulisan pun terkadang tidak sebanding dengan citra dan prestise dari media daring itu sendiri. Tidak heran jika kinerja para jurnalis mulai dipertanyakan.
Baca juga:
Nyatanya, penyebab persoalan mutu tersebut bukan hanya karena produktivitas dan kreativitas para jurnalis yang menurun. Faktor lain yang krusial adalah perkembangan teknologi yang membuat banyak media konvensional gulung tikar.
Pada zaman Orde Baru, di mana politik tengah memanas dan akses informasi belum semudah sekarang, media cetak menjadi penyalur paling efektif untuk menjangkau masyarakat. Pada awal Reformasi, terbitnya majalah, koran, tabloid, hingga buletin banyak melahirkan tulisan bernas yang menginspirasi kultur dan tren generasi di masa itu.
Fungsi pers tak sekadar menjadi media informasi, pendidikan, dan kontrol sosial. Pers juga berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Dalam hal ini, pers menjadi bagian dari bisnis yang tidak dapat dipisahkan dari elemen-elemen ekonomi dan politik. Pers tidak hanya dihadapkan pada persaingan antarmedia, tapi juga urgensi dalam memperoleh pembaca dan iklan. Hasil riset Nielsen memaparkan bahwa persentase iklan yang dimuat di media cetak hanya sebesar 5,5%, kalah jauh dari media daring dan televisi.
Berita Kejar Tayang
Ketika semua orang beralih ke media daring, media cetak yang dulu oplahnya menjanjikan kini harus gigit jari. Pendapatan dari iklan di media cetak tidak bisa menambal ongkos produksi yang kian naik. Akhirnya, pilihan jatuh pada pembuatan situs web resmi yang bisa diakses semua orang.
Jurnalis dari berbagai media harus bersaing untuk mencari pundi-pundi rupiah. Di media daring, tak jarang para jurnalis harus mengubah sistem menulis mereka. Misalnya sistem kejar tayang yang bertumpu pada jumlah klik pengunjung dan iklan. Padahal, sistem ini mengandung segudang masalah. Sistem kejar tayang yang lebih mementingkan kecepatan naik cetak, membuat hasil tulisan cenderung ugal-ugalan. Belum lagi judul yang clickbait dan kata kunci serampangan dengan dalih menarik banyak pembaca. Bahkan, tak sedikit jurnalis hanya menyadur berita dari situs lain tanpa mencantumkan kredit.
Untungnya, masih banyak redaksi media daring yang mempertahankan idealisme para jurnalisnya. Banyak media yang masih sama-sama mempertahankan kualitas berita daring maupun berita cetak mereka. Laporan yang faktual, editorial yang tidak asal-asalan, feature yang mendalam, hingga rubrik-rubrik khas lainnya masih tetap terjaga. Namun, keputusan untuk tetap mempertahankan kualitas jelas perlu pertimbangan yang matang.
Berita Berbayar
Mekanisme berlangganan tampaknya masih belum bisa menjadi solusi final dari masalah kemunduran eksistensi media cetak. Di sisi lain, media-media daring yang menawarkan jurnalisme data tentu tidak berangkat dengan modal idealisme saja. Mereka juga perlu biaya, misalnya untuk melakukan pengembangan situs dan riset. Orang-orang yang berani membayar demi mendapatkan produk jurnalistik berkualitas, kebanyakan berkecimpung di dunia yang membutuhkan akses informasi. Seperti akademisi, politikus, pebisnis, hingga pekerja media itu sendiri.
Barangkali, munculnya media alternatif yang mudah diterima kalangan anak muda bisa menjadi solusi. Media alternatif tersebut, pertama-tama, perlu menunjukkan komitmen untuk menghasilkan produk jurnalistik berkualitas. Komitmen ini adalah modal agar mendapat kepercayaan publik. Produk jurnalistik berkualitas tentu tak datang secara gratis, ia perlu dukungan dari segi biaya. Media alternatif bisa memberlakukan sistem donasi yang disertai transparansi laporan penerimaan. Jurnalisme daring yang bermutu, diharapkan terbit dari media alternatif yang dikelola anak muda ini. Menjaring anak-anak muda yang kompeten dan cekatan agar menghasilkan produk jurnalistik yang segar dan layak adalah tujuan utama media alternatif.
Dewan Pers sudah seharusnya proaktif dalam mendata media digital yang menjamur agar muatan berita tetap menjunjung nilai-nilai kode etik jurnalistik. Bukankah pada intinya kualitas berita juga berpengaruh pada respons pembaca?
Editor: Prihandini N