Aku masih remaja ketika itu, saat pertama kali kuminta seorang anak lelaki mencium buah dadaku di semak-semak perkebunan singkong. Ia menyuruhku rebah barang sebentar, lalu yang kurasakan setelahnya adalah rasa perih yang menjalar di kemaluanku. Saat itu aku sebetulnya tahu, apa yang dilakukan oleh anak lelaki itu. Tapi ia katakan bahwa itu adalah hal yang biasa dilakukan Ibuku dengan bermacam pria di luar sana. Aku yang saat itu sedang memikirkan sesuatu hanya terpejam dan terpaku.
Malamnya aku termenung, teringat kejadian siang itu. Aku tersentak tatkala ibu datang menghampiriku.
“Sedang apa, An?”
“Sedang melamun.”
“Anak perawan tak boleh melamun malam-malam.”
“Mengapa anak perawan selalu tidak boleh melakukan ini dan itu?”
“Sebab pamali.”
Ibu tidak tahu, bahwa saat itu aku sudah tidak lagi perawan sejak anak lelaki itu memasukkan kelaminnya pada kelaminku. Maka untuk urusan pamali, itu sudah bukan masalah buatku.
Aku merasa menang atas kejadian pada siang itu. Sebab melepas keperawanan berarti mendapat kebebasan. Itulah yang kutahu. Dengan begitu, aku sudah tidak perlu lagi dihalangi oleh pamali yang ini, juga pamali yang itu. Rasanya tak adil, memang. Ketika perempuan perawan selalu dibatasi oleh pamali ini dan pamali itu, lelaki perjaka justru bebas melakukan ini dan itu. Maka buatku, melepas keperawanan berarti memberi jalan pada pembebasan.
Toh, aku ingin bekerja seperti Ibu. Aku tahu, bahwa Ibu adalah seorang pelacur. Itulah yang dikatakan orang lain atas Ibuku. Ia tidak pernah malu dengan pekerjaan yang selama ini selalu membuatnya dipandang sebelah mata. Mulanya, aku tidak pernah tahu apa yang dikerjakan oleh Ibu. Tetapi teman-teman kelasku kerap menjauhiku karena orang tua mereka melarang anaknya untuk bergaul dengan anak seorang pelacur. Begitu kata mereka.
Aku pernah bertanya pada Ibu, “Bu, apa yang salah dari menjadi pelacur? Dan mengapa Ibu harus menjadi pelacur?”
Ibu menjawab sembari tersenyum.
“Menjadi pelacur berarti menjadi penolong, An. Semua pekerjaan akan baik selama diniatkan untuk kebaikan.”
Dan ya, bagiku pekerjaan Ibu adalah pekerjaan yang baik, sekalipun bagi sebagian orang, pekerjaan Ibu adalah pekerjaan hina dan menjijikkan. Apa hinanya, toh Ibu memang banyak menolong orang.
Lelaki lusuh berumur paruh baya yang kerap datang ke rumahku, misalnya. Ia mengaku bahwa hidupnya selalu ditemani oleh kesepian. Maka dengan mendatangi Ibu, ia mampu mengusir rasa kesepian yang selama ini selalu membelenggunya. Juga seorang duda yang sudah lama ditinggal mati istrinya. Ia tak pernah tersenyum, dan baru tersenyum ketika ia menjumpai Ibu di malam harinya. Atau seorang pengemis malang yang memiliki tatapan nanar di hari-harinya, ia baru kembali hidup ketika berjumpa dengan Ibu di hari liburnya. Jadi, apa salahnya?
Memang pernah aku belum mengerti, saat itu usiaku baru sebelas. Seorang guru agama mengatakan padaku, “Perempuan seperti Ibumu, An, tidak akan mengerti berkah dari ketentuan Tuhan untuk menjaga diri.” Ucapnya di depan kelas tatkala tengah menerangkan makna dari ayat dalam kitab suci.
Seperti ibumu, adalah pemaknaan bias yang hanya Pak Zamuri yang tahu maksud dari ucapannya itu. Pun dengan ujaran menjaga diri. Buatku selama ini, ibu selalu berhasil menjaga diri. Dari kezaliman yang memasung martabat keperempuanannya, misalnya. Sekali pun ia adalah seorang pelacur, tetapi ia adalah satu-satunya perempuan yang tidak pernah tunduk terhadap kejahatan dan belenggu lelaki.
Seperti pada waktu itu, kudengar ada huru-hara di kampungku, seluruh warga bergunjing mengenai Bu Wati yang tengah digebuki oleh suaminya karena ia lupa menyuguhkan kopi sepulang suaminya berjudi. Bagi mereka yang selalu tunduk pada perintah suami, tindakan Bu Wati dianggap sangat kurang ajar sekali. Karena mereka percaya bahwa kewajiban dalam melayani suami adalah mutlak, sisanya tentu tidak ada lagi.
Di saat semua warga kampung sedang sibuk menyudutkan Bu Wati, adalah Ibu yang dengan berani menerabas masuk dan menampar wajah sang suami. Ibu kalap, dan lantas membawa Bu Wati pergi. Tentulah tindakan Ibu hanya dianggap sebagai keniscayaan. Alih-alih mendapat pujian, cacian demi cacian justru dilemparkan kepada Ibu.
“Dasar perempuan tidak tahu aturan, berani-beraninya ia ikut campur urusan orang yang tidak patuh terhadap kewajibannya.”
Begitulah Ibu kerap dihakimi. Bagi Ibu, ujaran mengadili seperti itu tidak berarti apa-apa. Sebab Ibu percaya, bahwa ia telah memiliki pedoman hidup sendiri.
Begitulah, Ibu kerap mengatakan padaku, bahwa segala yang benderang tidak selalu baik, kadang kala, kebenderangan itu kerap membawa manusia pada pedalaman paling nisbi. “Manusia itu, An, tidak hanya bisa diwakili dari apa yang hanya terlihat oleh mata. Kebaikan jiwalah yang membuat manusia memiliki arti. Sedang jiwa selalu jauh dari itu, An. Ia ada di dalammu, di nurani.” Jadi Ibu pikir, tak ada salahnya juga menekuni kegelapan, sebab gelap tidak takut dilihat gelap, toh dalam kegelapan tetap ada kebaikan: damai. Seperti malam ini, kegelapan justru telah memberkati diriku untuk melerai kebingungan yang kutemui di siang hari.
Ibu memang tangguh. Bahkan Ibu tak gentar tatkala Ayahnya yang notabene senang menikah berkali-kali, membuang ibu yang dianggap sebagai aib keluarga tatkala Ibu ketahuan mengandung diriku. Ia tak gentar angkat kaki, karena buatnya, tak ada gunanya bergantung kepada lelaki yang hanya tahu menyakiti.
Aku memang tidak mengenal siapa Ayahku, tetapi sesingkat yang kerap Ibu katakan, bahwa Ayah hanya akan menjadi Ayah ketika ia memiliki bahu yang tangguh untuk memberikan tanggung jawab. Tangan yang kuat untuk memberikan perlindungan. Dan dada yang lapang untuk mengajarkan pentingnya sebuah martabat kepadaku sebagai anak, dan Ibu sebagai istri. Selebihnya aku tidak pernah mendengar apa-apa mengenai ayahku kecuali dari bibir-bibir para tetangga yang kerap mengatakan kalau aku adalah anak haram dari hasil pemerkosaan.
Pernah suatu waktu kujumpai pamanku datang berkunjung ke rumah kami. Dari bilik dapur kulihat pamanku mulai meraba-raba tubuh Ibu. Ibu bangkit, penuh murka. Ditamparnya wajah lelaki itu kuat-kuat. Paman menatap Ibu nyalang, tidak terima.
“Kau itu jangan sok jual mahal. Siapa kau berani-beraninya menampar wajahku? Dasar perempuan sundal. Kau memang pantas diperkosa. Lihat bajumu itu, kau memang sengaja ingin menggodaku, kan? Sudah kukatakan kalau aku akan membayarmu! Kau lupa aku siapa? Aku kepala desa di kampung ini! Sundal sepertimu tak pantas menolak, apalagi menampar wajahku.”
Begitulah cerca paman. Seingatku yang masih duduk di bangku SD kelas dua, siang itu Ibu hanya menggunakan daster lusuhnya. Tapi buatku yang belum dewasa, hal itu sontak membuatku berpikir bahwa mengenakan baju serba panjang adalah baik hukumnya agar tidak diperkosa.
Sejauh itu aku memang belum mengerti apa arti dari kata ‘diperkosa’. Yang jelas, ‘diperkosa’ tentu memiliki makna yang buruk. Sebab karena ‘diperkosa’ ibu harus diusir dari rumah, sebab karena ‘diperkosa’ ibu harus dicaci dan dihina, sebab karena ‘diperkosa’ ibu harus membesarkan aku yang kini turut dibelenggu oleh luka dan deritanya.
Tapi kini, persetan. Toh aku tidak diperkosa. Siang itu, aku tidak merasa keberatan ketika harus melepas keperawanan dengan anak lelaki di kebun singkong itu.
Seperti yang sudah kukatakan, bahwa berarti aku telah meraih kemerdekaan. Tidak ada lagi pamali. Hanya ada aku dan impianku, untuk menjadi seorang pelacur. Seorang penolong. Seorang penyelamat.
Kalau boleh jujur, mulanya aku memang turut menyalahi Ibu. Dari apa yang kudengar selama ini, selalu mereka katakan kalau Ibu diperkosa karena Ibu adalah Ibu. Adalah kesalahannya karena Ibu menawan, adalah kesalahannya karena Ibu mampu menarik perhatian, adalah kesalahannya karena Ibu terlahir sebagai Ibu. Dan pemerkosaan adalah hukuman yang patut Ibu terima. Begitulah dunia memperlakukan Ibu dengan segala kejahatannya.
Tapi Ibu dengan segala lukanya tak pernah banyak mengeluh. Pernah sekali waktu aku menanyakan kepada Ibu mengenai seberapa dosakah perempuan yang diperkosa. Ibu lantas menatap mataku. “Dosa itu, An, mestinya diemban oleh mereka yang secara sengaja telah menjadikan manusia seperti binatang. Bukan sebaliknya. Dosa mereka tidak hanya kepada Ibu, An, tetapi kepada diri mereka sendiri yang telah mengubah naluri kemanusiaannya menjadi buas; penuh nafsu, tanpa akal dan belas kasihan. Apa namanya kalau cara hidup seperti itu tidak disebut seperti binatang, An?” Baru kulihat kali itu mata Ibu berkobar-kobar.
“Mereka yang memperkosa adalah mereka yang membinatangi diri mereka sendiri, An. Mereka yang mengamini tindakan jahat dengan alasan pembenaran atas nafsu dan dosa orang-orang itu pun sama binatangnya. Tidak ada seorang manusia pun yang pantas untuk diperkosa, An. Tidak seorang pun.”
“Bahkan ketika nafsu binatangnya membawa ia untuk memperkosa binatang sungguhan, An, jika binatang itu tidak ridha, maka mereka tetap berdosa, An. Siapa mereka berani merenggut martabat hidup makhluk lain? Itu jauh dari nilai kemanusiaan, An. Kemanusiaan itu mesti dinaungi oleh rasa saling menjaga. Lewat tindakan, juga perkataan. Itu, bersumber dari nurani. Mereka yang memperkosa tidak punya nurani, An. Manusia yang membinatangi diri mereka sendiri tidak punya nurani.”
Begitulah Ibu selalu mengajariku. Maka karena ingatan singkat ini, aku kembali tersadar mengenai tudingan Pak Zamuri dan merasa itu tidaklah benar. Jika makna seperti ibumu dan menjaga diri itu ia artikan sebagai dakwaannya terhadap pemerkosaan terhadap Ibu, itu berarti Pak Zamuri sama binatangnya dengan orang yang telah memperkosa Ibu.
Ketika aku mulai dewasa, aku mulai diajak Ibu untuk menemaninya bekerja. Sepanjang itu, baru kutahu bahwa apa yang dilakukan Ibu tidaklah sama dengan apa yang dikatakan mereka di luar sana. Ia menjumpai satu persatu rumah lelaki yang menjadi pelanggannya. Di sana, Ibu memasakkan mereka makanan, menemani mereka berbincang, dan merawat mereka dengan penuh cinta. Baru kusadari kalau semua pelanggan Ibu adalah lelaki yang jauh dari kata bahagia.
Kutanyakan satu hal pada mereka semua, “Sudah berapa kali Bapak tidur dengan Ibu saya?”
“Tidak Pernah.”
Mereka semua memiliki jawaban yang sama.
*****
Editor: Moch Aldy MA
selalu, Sarah dengan segala kehebatannya!🥰
Halo! Terima kasih tanggapannya! 🙂
Aku selalu suka tulisan kak sarah, memiliki pandangan lain, terdapat kritik sosial didalamnya, terus berkarya ya kak, suatu kelak bisa jadi tulisanmu akan sama seperti pramodya ananta toer atau tokoh sastra lain.
Halo! Terima kasih tanggapannya! 🙂
Agaknya belum pantas untuk disandingkan dengan mereka. Tapi semoga, ya? :))