Ibuku Tempat Bertanya
sewaktu kecil aku bertanya pada ibu
kenapa matahari cuma satu
ibu tersenyum dan tak menjawab
kecuali elusan kecil
di kening dan ubun-ubunku
tiba pada masa aku masuk sekolah
benakku disambar penasaran lagi:
“Ibu, kenapa aku mendengar guru-guru
saling menggunjing di belakang
dan terlihat membenci sesama mereka,
tapi begitu saling bertatap mata
mereka senyum dan seolah bersikap ramah?”
sekali lagi ibu tak menjawab
kecuali hanya senyum
dan kali ini ditambah cubitan kecil
mungkin karena gemas;
menjelang dewasa begini
aku makin dirubung banyak tanda tanya
kenapa wanita yang kucintai
pergi dan tak menganggapku ada
kenapa saat hujan
kepala manusia menjadi proyektor
yang memutar film kenangan
: kebahagiaan dan penderitaan
juga kenapa sebagai ibu
engkau tak pernah menjawabku
selain senyum dan gerak kecil
yang membuatku makin bingung
dan terus bertanya-tanya
(Yogya, Maret 2022)
–
Mata yang Sore
di depan mesin tik tua
Royal Quiet Deluxe
pria itu duduk diam
meraba waktu dan kertas
ingin menerjemahkan isi pikirannya
menjadi calon bungkus gorengan
hatinya kabut
bibirnya sunyi tengah malam
dan mata yang sore
merakit nasib di hulu sisa usia yang tak lagi panjang
menghadap jendela kamar
dilihatnya pohon melinjo tua
dan samar Gunung Welirang
dengan persawahan yang makin terkikis
“akankah nanti matiku menjadi luka
dan tangis bagi orang-orang?”
matanya yang sore kini memejam
“atau justru menjelma bahagia
bagi mereka yang sudah kurepotkan?”
kini ia memegang buku catatan
lelaki tua dengan mata yang sore
di depan mesin tik tua itu
bersama alunan sendu Bèsame Mucho
membuka sehimpun bualannya di masa muda
tertulis kalimat bertiti-mangsa
dua puluh tiga tahun silam
: “pergi ke pelosok pulau kecil,
bersama pasir, amis ikan, dan guguran buah kelapa,
aku menemani anak-anak belajar membaca
dan sekaligus menjadi juru cerita.”
ia terkenang mimpi itu
bersama keputusasaan dan harapan yang pupus
mesin tik tua dan suara cetak-cetik ajalnya
menjadi lagu pengantar
bagi mata yang sore
menuju terbenam
(Umbulharjo, 2022)
–
Ibuku Menghafal Bebungaan
mungkin musim wabah dan upah honorer
yang membuat ibuku menghafal
nama-nama bunga
setiap kali aku pulang
bagai ahli botani dan pakar hortikultura
ibu mengenalkanku nama-nama baru yang puitis dan berima
lewat tur kecil di taman barunya
aku jadi hafal dan paham
yang mana begonia yang mana aglonema
belum jika membahas calathea dan alokasia
mulai dari yang paling murah
hingga berharga cukup absurd
hanya karena ada bercak dan loreng putih
di wajah daunnya
kata ibu; itu jenis variegata
tapi ibu bukan korban tren
atau masuk angin musiman
ia sudah suka kembang
sejak aku masih di dengkul bapakku
mulai dari euphorbia, kumis kucing, kembang jengger ayam,
cucur bebek, lidah mertua, dan air mata bunda
mawar melati tidak terlalu
tapi bugenvil sampai adenium dan asoka
ibuku khusyuk dan riang merawatnya
ia tak sekadar menghafal nama-nama bunga
namun ibuku juga menyiram dengan peluh cinta dan doa bisu
sembari melipur sedih karena nasib honorer
yang sebentar lagi dibasmi
oleh pimpinan negerinya sendiri
(Muja-Muju, Maret 2022)
–
Lelaki yang Ingin Pergi Berperang
ketika pagi sedang menyuntik bumi
seorang lelaki berkacak pinggang
di pinggir pantai
menantang takdir
dengan sedikit geram
angin basah menyeka lembut bibir keringnya
tapi hati sudah kepalang senja
untuk menerima arahan waktu
agar menadah nasib
secara apa adanya
dan saat tiba daun-daun bakau itu jatuh
kau hanya perlu tahu
bahwa ia sudah pergi
dan siap ‘tuk mati
(Titik Nol Yogya, Maret 2022)
–
Hanya Celoteh Anak Kos
apa relevansi antara korek api dan karet gelang
di kosan apek ini
sementara omong kosong politik dan bacotan keadilan semu
tak lebih sampah dari kerak nasi kering di magicom butut
warisan penghuni masa lalu
di kala suntuk aku berkicau
bagaimana menjalin hubungan damai
antara rokok lintingan sisa tegesan kretek berhari-hari
dengan krupuk puli kiriman ibu
sementara tak ada sambel hari ini
apalagi besok mungkin kaos kakiku sudah apek
dan sepatu di luar kena tempias hujan
kini banyak pertentangan di kepalaku
coincidentia oppositorum
menjelma nyamuk berisik
menguing-nguing di sisi telingaku
sementara asbak semakin gosong
perut dan hatiku pun masih senasib
: sama-sama kosong
(Sapen, Maret 2022)