Ibu Berpengetahuan, Ibu Berkontribusi

Apriliya Wahyu Putri

2 min read

Pilihan Tasya Kamila untuk menjadi ibu rumah tangga setelah menikah dengan Randi Bachtiar sempat diperdebatkan oleh netizen. Sebagian netizen berkata, “Sekolah tinggi, ujung-ujungnya di dapur!”

Mempersoalkan perempuan dan pendidikan masih dianggap sebagai norma dalam masyarakat Indonesia. Cibiran ke perempuan berpendidikan tinggi yang memilih menjadi ibu rumah tangga beriringan dengan narasi: “Sekolah jangan tinggi-tinggi, nanti laki-laki tidak ada yang mau dengan kamu!” atau “Jangan pintar-pintar, nanti tidak ada lelaki yang mau dengan kamu!” atau “Buat apa sekolah tinggi-tinggi, toh, akhirnya kembali ke dapur?”

Narasi-narasi seperti ini masih terus dilestarikan, disebarkan dengan berbagai medium, dari percakapan di ruang keluarga hingga di media sosial. Ketika perempuan memberanikan diri berpendapat terhadap isu yang ada justru dinilai banyak bicara. Perempuan yang asertif menunjukkan argumen akan ditanggapi dengan nada yang culas. Bahkan, sering dijadikan bahan gurauan.

Langgengnya justifikasi atas keharusan perempuan mengurus kasur, dapur, dan sumur bisa ditinjau  dari perspektif evolusinya. Manusia pertama kali berevolusi sekitar 2,5 juta tahun yang lalu di Afrika Timur dari genus Australopithecus. Kemudian, mereka berkelompok-kelompok melakukan perjalanan menuju Afrika Utara, Eropa, dan Asia. Serta, memutuskan bermukim di sana.

Respons dari perjalanan kebermukiman ini adalah munculnya spesies manusia baru. Pertama, Homo Neanderthalensis atau manusia dari Lembah Neander. Spesies ini berasal dari Eropa dan Asia Barat dengan typology fisiologis yang bermasa otot besar serta mudah beradaptasi di iklim dingin. Kedua, Homo erectus atau manusia tegak yang berasal dari Asia Timur. Ketiga, Homo soloensis atau manusia dari Lembah Solo, Solo, Jawa Tengah dan Homo floresiensis yang terdapat di pulau Flores. Keempat, Homo rudolfensis atau manusia dari Danau Rudolf, Homo ergaster atau manusia bekerja, dan Homo sapiens, manusia modern.

Seleksi alam sangat bergantung dan mengunggulkan kelahiran cepat. Berhubung Sapiens bukan merupakan spesies manusia yang mendominasi kala itu, maka terciptalah pembagian peran antara laki-laki dan perempuan sebagai respons untuk bertahan hidup.

Laki-laki aktif berburu dan mengumpulkan makanan, perempuan mengelola rumah tangga serta mendampingi pertumbuhan anak-anak mereka. Hal ini yang membuat kecerdasan spasial pada laki-laki berkembang lebih baik daripada perempuan. Sedangkan, perempuan mengembangkan kemampuan bersosialisasi dengan bergosip dan storytelling, dikarenakan perempuan membutuhkan bantuan dari anggota keluarga dan tetangga dalam pengasuhan anak.

Pada 70.000 – 30.000 tahun silam, Sapiens mengalami revolusi kognitif untuk yang pertama kali, yang memungkinkan mereka mengalami kemajuan pesat dalam mengartikulasikan dan menuliskan bahasa. Dan, pada akhirnya Sapiens menjadi satu-satunya spesies manusia di bumi, selama 10.000 tahun.

Ragam pengetahuan manusia salah satunya berakar dari pengetahuan sehari-hari (ordinary knowledge) yang jika diajarkan terus-menerus akan menjadi nilai dan kebudayaan yang dipercaya benar. Kebenaran dalam konteks ini diukur dengan kriteria kesepakatan, sesuatu dianggap benar atau salah tergantung pada kesepakatan penilaian sebagian besar masyarakat.

Langgengnya nilai-nilai femininitas perempuan pada peran gender merupakan kristalisasi dari pembagian peran antara laki-laki dan perempuan ribuan (bahkan jutaan) tahun silam. Tidak heran, jika kita sering mendengar hal-hal yang mendiskreditkan para perempuan, hingga detik ini.

Perempuan yang berani berpendapat seketika kehilangan fokus terhadap apa yang sebelumnya diperjuangkan jika stigma atas perempuan yang asertif selalu ada dan langgeng. Tentu saja, hal ini secara langsung berdampak pada tidak terlaksananya Pembangunan Berkelanjutan, Sustainable Development Goals (SDGs), di Indonesia.

Dampak yang lebih fundamental adalah, adanya keterbatasan anak-anak perempuan kita di masa depan dalam meraih mimpinya. Dan, jika kemungkinan itu terjadi, dunia akan terbelenggu di dalam kebodohan. Karena, sejak lahir orangtua membelenggu potensi anak-anaknya dengan aturan-aturan, yang sebenarnya sudah tidak relevan lagi.

Paradigma ini akan membuat perempuan-perempuan yang ingin berkontribusi pada kemajuan peradaban menjadi enggan berkembang. Bukankah kita sebagai manusia yang berdaya pantas untuk tidak menerima nilai-nilai yang sudah tidak relevan bagi kemajuan peradaban? Khususnya nilai-nilai yang membatasi perempuan untuk berpendidikan dan/atau berpengetahuan tinggi.

Berpikir filsafati, salah satunya dengan mengkritisi, adalah keterampilan dasar yang harus lestari di antara masyarakat. Dengan aktif bertanya dan berargumen kita akan terbiasa menilai mana yang benar atau salah dan baik atau buruk, untuk dikonsumsi.

Jika pun perempuan memilih untuk berkontribusi pada ranah rumah tangga, tidak ada salahnya untuk senantiasa menempuh pendidikan tinggi serta mengemukakan pendapatnya. Karena perempuan yang melahirkan peradaban dan merawatnya. Keluarga merupakan madrasah anak yang pertama, kualitas intelektual, moral, serta mental dari anak sebagian besar dipengaruhi oleh kualitas intelektual, moral, serta mental dari orang tua.

Jika menginginkan perkembangan peradaban yang berkualitas, maka tenaga pendidik peradaban harus sama-sama berkualitas, lepas dari segala belenggu identitas gendernya. Bukankah hubungan laki-laki dan perempuan akan jauh lebih sehat jika kedua belah pihak sama-sama menjunjung tinggi kesetaraan, serta berpengetahuan tinggi?

Apriliya Wahyu Putri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email