a has-been.

Iblis Empang

Fahmi Khoirussani

6 min read

“Jangan pikir aku tak tahu apa yang kau pikirkan,” ujar Syafii melihat Joni Pelor tak menghabiskan tengkleng kambing yang ia bawakan. Joni Pelor hanya diam, piringnya juga. Baginya hanya ada satu makanan yang cocok untuk saat-saat seperti ini.

Api unggun, dan…

“Krucuk-krucuk…” Perut keroncongan membuyarkan lamunan Joni. Isi kepala Joni sempat meliar membayangkan satu petak empang di depannya. Keduanya duduk di saung bambu berukuran 3×3 meter di pinggir empang. Syafii sibuk melahap tengkleng sementara Joni untuk sementara hanya bisa berkhayal.

Tidak seperti empang-empang lain milik Kolonel Darsim, empang di hadapan Joni kali ini memang berbeda. Ia tergolong sempit dan bukan sembarang orang bisa masuk. Hanya orang-orang terdekat Kolonel Darsim saja. Yang paling aneh tentu saja bagaimana Kolonel Darsim terlihat sama sekali tidak ingin dekat-dekat dengan empang ini.

Bagi seorang pensiunan kolonel yang kerjanya hanya berkeliling mengawasi propertinya, bisa dibilang ia hampir tidak pernah mengunjungi empang itu. Apalagi sejak 15 tahun lalu ketika Kolonel Darsim mendirikan tembok untuk mengelilingi empang, dan menugaskan seorang anak buahnya sebagai penjaga.

Entah apa yang membuat Kolonel Darsim melakukan itu semua. Syafii hanya pernah mendengar selentingan-selentingan bahwa empang itu adalah rahasia terbesar milik bapaknya. Kunci kesuksesan karir Kolonel Darsim.

“Habis kau gorok, jangan langsung dibuang. Ikatkan batu besar dulu biar tak mengambang mayat itu!” Ucap seorang atasan Syafii dulu. Seorang bintang tiga di Ibu Kota, yang juga kawan baik bapaknya.

Dari orang yang sama pula Syafii mendengar bahwa empang itu telah banyak berubah. Beberapa puluh tahun lalu, empang itu pernah sangat kotor akibat entah berapa ratus mayat yang membusuk namun tidak kunjung hancur. Airnya keruh hitam kehijauan dan mengeluarkan aroma busuk yang dapat tercium beberapa puluh meter jauhnya. Jangankan ikan, kodok pun tak sudi berenang di dalamnya.

Sayangnya mayat-mayat itu tidak punya pilihan, semua pilihan ada di tangan Kolonel Darsim.

Atas saran seorang kawannya, Kolonel Darsim lalu mendatangkan ratusan ekor ikan sejenis lele dari pedalaman Amazon.

Brachyplatystoma filamentosum. Yah anggap saja lele yang kalau kau beri makan dengan benar, 3meter dalam satu tahun bukan hal yang sulit.”

Sang ahli ikan sempat berhenti sebentar ketika mengucapkan “Kalau kau beri makan dengan benar”, lalu mengalihkan pandangannya ke Kolonel Darsim. Memastikan Kolonel Darsim paham yang ia maksud, sebelum melanjutkan cerita singkatnya.

Ikan-ikan itu sudah terbiasa memakan daging manusia sejak penjajah dari benua biru datang dan mencoba menaklukkan amerika latin. Haram hukumnya penjajah dikubur di tanah moyang, kata Sang ahli ikan.

Sebenarnya, Syafii tidak begitu peduli dengan cerita-cerita macam itu. Ia lebih peduli pada apa yang akan keluar dari mulut Joni beberapa saat lagi.

“Mana bayaranku?” Ujar Joni Pelor memecah keheningan.

“Begitu caramu berbicara dengan abangmu?” Tengkleng kambing ia tinggalkan. Syafii menyalakan sebatang rokok lalu menghisapnya dalam-dalam.

“Aku datang bukan sebagai adik,”

“Kau pikun, ya? Sudah tak ingat namamu sendiri?” Syafii mendongakkan kepala. Matanya melotot hampir loncat dari kelopaknya.

“Joni Pelor! Dan boleh kutahu dari mana kau dapatkan revolver yang sekarang sedang kau kantongi itu?” Syafii melanjutkan.

Senyum tersungging di bibir Joni Pelor.

“Kita sudahi saja omong kosong ini. Aku cuma mau bayaranku.” Joni Pelor tak bergeming.

Syafii terdiam.

“Kau tahu kenapa aku menyuruhmu datang sendiri, tanpa kawanmu si Rudi, itu?”

“Aku ada satu tawaran,” Raut wajah Syafii berubah. Mata menatap mata. Joni masih tak bergeming, mendengarkan.

“Aku ingin kau menghabisi Darsim.”

Senyum di bibir Joni perlahan jadi seringai. Ia sama sekali tidak terkejut, meski tidak tahu juga harus berkata apa. Sebagian dari dirinya ingin tertawa selepas-lepasnya. Ia tahu suatu saat Syafii pasti akan membunuh Darsim. Lagi pula memang hanya itu yang di kepala seorang tentara. Membunuh atau dibunuh.

Ia hanya tidak menyangka dirinya yang akan jadi sang jagal, atau ia akan bertukar nasib dengan Kolonel Darsim. Jadi seonggok daging makanan ikan lele.

“Kau bilang tawaran, macam aku punya pilihan saja.” Joni Pelor menundukkan kepalanya. Menyembunyikan entah apa di baliknya.

Syafii lalu bergegas pergi tanpa berbicara lagi. Meninggalkan satu penuh koper berisi entah berapa ratus lembar uang seratus ribuan sebagai tanda jadi. Dadanya lega rencananya sejauh ini berjalan cukup mulus. Ia tahu memang ini satu-satunya jalan keluar.

Bahkan setelah satu bintang tersemat di pundaknya, ia merasa tak pernah bisa lepas dari ketiak Darsim yang hanya seorang Kolonel. Bagaimana pun ada jasa Darsim di hidupnya. Tanpa Darsim, ia barangkali akan berakhir seperti adik angkatnya. Menjadi preman terminal di umur 17.

Sejak dulu ia memang bukan seorang yang pintar dan yakin betul akan gagal pada tes tertulis masuk akademi. Beruntung baginya, gubernur akademi adalah junior Darsim di ujung timur perbatasan dulu.

‘Anaknya Darsim’ begitu ia kemudian dikenal. Sebagai seorang taruna, ia bangga betul dengan julukan itu. Bapaknya adalah seorang pahlawan yang sudah mengkapling tanah di Kusumanegaran, satu komplek dengan Jenderal Besar Soedirman. Hanya ada satu masalah; ia tak kunjung mati, dan Syafii akan selamanya dikenal sebagai ‘Si Anaknya Darsim’.

Seorang atasannya yang lain sebenarnya pernah berujar bahwa usia Panjang Darsim adalah buah dari perjanjiannya dengan empang. Karir yang tak habis bahkan setelah ia pensiun, Darsim bayar dengan entah berapa ratus mayat sebagai tumbal.

Iblis itu kini mengintai Syafii dari kejauhan. Di balik gelap kabut malam, ia tertawa selepas-lepasnya.

***

Motor kupacu sekencang-kencangnya. Tidak biasanya Joni memintaku melakukan sesuatu tanpa pemberitahuan sebelumnya. Apalagi ketika aku mengira bahwa pekerjaan terakhir kami sudah selesai tiga minggu lalu.

“Ini yang kemarin, ya. Sama jatahku kau ambil saja. Aku dapat pekerjaan lagi dari Syafii, tapi dia minta hanya aku yang nanganin. Lagian si Asti sudah mau masuk SD, kan?” ucap Joni kala itu.

“Lumayan, Rud. Sepertinya sih cukup untuk bikin warung sembako seperti cita-citamu,”

Memang, pekerjaan terakhir kami bisa dibilang cukup ekstrim. Mengingat kebanyakan pekerjaan kami hanya menagih hutang. Yah, kau tahu lah, mendatangi orang-orang dengan kredit macet, memastikan kapan mereka akan bayar.

Bukan pekerjaan yang bisa membuat tidur tenang memang. Meski aku juga tidak tahu pekerjaan apa yang bisa membuatku tidur tenang. Apa boleh buat, aku dan anak istriku butuh makan.

Tapi pekerjaan terakhir kami, bahkan ketika aku bisa tidur pun setelahnya aku tak ingin bangun lagi.

Di telepon, Joni tidak bilang kenapa aku harus datang. Ia hanya bilang aku harus datang sembari setengah memohon. Aku tak sampai hati menolak.

“Pesta kita!!!” ucap Joni kegirangan setelah aku mengiyakan.

Sesampainya di pinggir empang lututku seketika lemas. Perut serasa ingin memuntahkan makanan dan usus-ususnya. Kepalaku seperti dirajam batu sebesar kepalan tangan.

Lampu remang di tengah saung masih cukup untuk menerangi pemandangan sekitar. Di depanku, punggung Joni Pelor menutupi api unggun. Satu nampan berisi daging merah yang telah dipotong dadu tergeletak di tanah hanya beberapa senti dari tempat Joni jongkok.

“Hei, lama betul, kau! Sini makan, aku tampaknya tak akan habis,” ujar Joni Pelor.

Sekitar dua meter dari tepi empang, dua jasad laki-laki telanjang masih mengambang. Satu dengan usus terburai dan rusuk yang entah ke mana.

“Ternyata daging tentara tak seenak lele. Jadi sisanya kukasih ke lele saja, nanti kita bakar lelenya!” ujar Joni Pelor sembari asyik menyantap sate bikinannya.

Aku terbangun pagi harinya. Sempat tak ingat apa-apa hingga akhirnya cukup sadar untuk melihat sekeliling empang yang telah dipasangi garis polisi. Warga desa sudah berkerumun bertanya-tanya apa yang terjadi, sama sepertiku.

Ajudan Kolonel Darsim yang datang pagi-pagi rupanya mendapati Joni tengah menyantap sate di pinggir empang. Dan ketika si ajudan menyadari di empang tengah mengapung dua jasad majikannya, ia bergegas menelpon polisi. Sementara Joni masih tetap asyik menyantap satenya seolah dirinya adalah hantu yang tak terlihat.

Ia sempat dimasukkan ke tahanan meski kemudian dinyatakan gila sehingga tak bisa dibawa ke pengadilan. Aku beberapa kali mengunjunginya di rumah sakit jiwa dan membawakan makanan, kadang nasi padang, kadang martabak.

“Aduh, maaf, Rud. Aku tak lapar.” Selalu begitu ucapnya.

Beberapa bulan kemudian kudengar kabar dari seorang petugas rumah sakit jiwa bahwa Joni Pelor kabur dari sana. Kamarnya ditemukan dalam keadaan rapi, kosong dan terkunci dari dalam. Ada yang bilang ia hilang digondol arwah Kolonel Darsim yang menuntut balas. Meski tentu lebih masuk akal jika anak buah Syafii-lah yang menuntut balas.

Ada juga yang bilang bahwa pihak rumah sakit hanya ingin menutupi kejadian sebenarnya. Joni Pelor mati bunuh diri. Arwah Joni Pelor kini bersemayam di pinggir empang menunggu umpannya dimakan lele. Dan ketika seekor lele menyambarnya, arwah Kolonel Darsim dan Syafii bergiliran melepaskan lele dari kail Joni Pelor.

***

Bertahun-tahun lalu, aku membuat hutang yang barangkali tak akan bisa kubayar. Kurasa memang itu yang akan terjadi jika kau membuat perjanjian dengan iblis.

Aku kabur dari rumah menuju kaki gunung, setelah sebelumnya memukuli Darsim hingga ia hampir sekarat. Waktu itu penyakitnya mulai kambuh-kambuhan dan ia tidak banyak memberikan perlawanan. Hanya berlindung sebisanya.

Aku lupa apa tepatnya alasanku melakukan itu, dan memang tidak ingin mengingatnya. Meski tahu betul ia layak mendapatkan itu. Aku juga yakin setengah dari orang yang mengenalnya, ingin membunuh orang tua itu. Setengah lagi barangkali sudah antre untuk menjilat pantat keriputnya.

Dan setelah bertahan sekian hari hanya memakan bekal dari rumah, aku terpaksa turun gunung. Menyelinap di malam hari, melewati orang-orang desa yang sedang ronda menuju satu tempat dengan makanan berlimpah dan minim penjagaan; empang kesayangan Darsim.

Kubawa sebilah pancing, lalu duduk dan berharap. Lewat beberapa menit, pancingku mulai memberikan perlawanan. Di ujung sana, aku tahu ada seekor lele dengan berat setidaknya 5 kilo. Sementara di balik punggungku, Syafii telah entah sejak kapan duduk manis menunggu.

Di luar dugaanku, ia membiarkanku pergi begitu saja dengan seekor lele yang menjadi makananku beberapa hari berikutnya. Dan hingga saat ini tidak pernah mengungkit kejadian ketika aku hampir saja menghabisi orang tuanya itu. Begitu juga dengan kejadian-kejadian ketika ia memergokiku tengah memancing di empang Darsim.

Syafii sebenarnya selalu bisa melaporkan kejadian-kejadian itu pada Darsim. Tapi tidak, Rud. Ia justru memberikanku sepucuk beceng, dan beberapa lembar uang lalu menyuruhku turun ke kota.

Aku jadi ingat pernah ada kala tomat satu truk pick up dihargai 3000 perak. Seorang dari petani tomat itu lalu nekat mencuri lele dari kolam kesayangan Darsim. Setelah seminggu, anak istrinya tak bisa lagi hanya diberi makan tomat rebus.

Tidak lama berselang, petani itu kemudian hilang entah ke mana. Maksudku bukan tak ada orang yang tahu ia pergi ke mana, justru kebalikannya. Kemungkinan paling besar tentu saja mati. Tapi ia seolah hilang, tak pernah ada di dunia ini. Tak satu pun warga desa membicarakan kepergiannya yang tak wajar itu, kecuali istri dan anak laki-laki si petani. Ia menjadi hantu dan anak istrinya menjadi gila, atau setidaknya itu yang dipercayai orang-orang.

Jika kau bertanya dari mana aku tahu cerita ini, betul, aku tahu dari bocah itu. Ia tidak gila.

Suatu malam jauh sebelum matahari datang, bocah itu tiba di depan bedengku. Keesokan harinya kau sudah mengenalku sebagai Joni Pelor.

Oh, iya, Rud. Jangan lupa sampaikan salamku pada istrimu dan Asti, ya.

Fahmi Khoirussani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email