How to Make Millions Before Grandma Dies: Lanskap Sosial dan Satir-Satirnya

Mina Megawati

2 min read

Film Thailand How to Make Millions Before Grandma Dies hadir sebagai bentuk eksplorasi dinamika keluarga, khususnya hubungan antara dua generasi. Lanskap hubungan khas keluarga Asia ini ditampilkan apa adanya, polos, natural, dan begitu terhubung dengan kehidupan.

Debut film panjang sutradara Pat Boonnitipat ini telah unjuk gigi dengan pencapaian 2 juta penonton dari Indonesia pada pekan kedua setelah naik layar pada bulan Mei. Ide dan konsep yang diangkat Boonnitipat merupakan hasil pengamatannya terhadap kehidupan keluarga di Thailand, khususnya dalam konteks warisan dan harapan ekonomi. Ia ingin menggabungkan elemen drama keluarga dengan kritik sosial tentang materialisme dan nilai-nilai tradisional.

Komedi Satir

Satir sosial dalam film ini tergambarkan dari hubungan Amah (Usha Seamkhum) dengan tiga anak dan seorang cucunya. Bagaimana cucu laki-lakinya, M (Putthipong Assaratanakul), berupaya mengambil hati sang nenek demi misi mendapat harta peninggalannya. Hal ini begitu menunjukkan bagaimana sifat materialistis dapat mendistorsi rasa hormat dan kasih sayang terhadap orang tua.

Baca juga:

Boonnitipat merajut tiap scene dan dialognya dengan mulus. Penonton dibuat merasa sedang mengamati hidup mereka sendiri dalam sebuah layar. Film ini sedang membeberkan betapa hasrat dan keinginan memiliki harta warisan tidak hanya datang dari mereka yang miskin seperti M dan ibunya, Chew (Sarinrat Thomas), tapi keturunan yang hidupnya sudah tercukupi seperti kehidupan Kiang (Sanya Kunakorn) saudara sulungnya.

Ironi keluarga juga dirasakan Soei (Pongsatorn Jongwilas) sebagai anak bungsu di keluarga itu. Kehidupan finansialnya kacau, ia kerap terbelit utang sehingga kian berhasrat memiliki warisan Amah.

Penggabungan elemen humor dan drama tanpa menghilangkan pesan sosial, serta penyuguhan pandangan tradisional dan modern dalam satu cerita, menjadi tantangan tersediri bagi Boonnitipat.

Keluarga dan Nilai-Nilai Tradisional

Film ini berhasil menarik perhatian karena cara uniknya dalam mengangkat isu-isu yang relevan dengan masyarakat Thailand. Satir sosial di dalamnya mengajak penonton merenungkan isu-isu mendasar dalam masyarakat modern, khususnya terkait dengan kekayaan, moralitas, dan hubungan antarmanusia. Unsur humor dan kritik tajam dengan jitu dijadikan alat untuk menyampaikan pesan-pesan penting dengan cara yang menghibur dan memprovokasi pemikiran.

Thailand merupakan negara dengan penduduk mayoritas beragama Buddha. Ajaran Theravada Buddha memiliki pengaruh signifikan terhadap pandangan gender. Dalam tradisi ini, peran perempuan sering kali dianggap sekunder terhadap laki-laki, terutama dalam konteks religius dan ritual.

Susan Blackburn, peneliti gender dan agama di Asia Tenggara, mencatat bahwa meskipun ajaran Buddha menekankan kesetaraan spiritual, praktik sosial di Thailand sering kali menempatkan perempuan dalam posisi subordinat di bidang keagamaan.

Blackburn dianggap sebagai salah satu pakar terkemuka dalam bidangnya, khususnya dalam memahami peran gender dalam politik dan masyarakat Asia Tenggara, serta dampaknya terhadap dinamika politik dan sosial di wilayah tersebut.

Baca juga:

Posisi Subordinat Perempuan

“Anak perempuan dapat kanker, anak laki-laki dapat harta,” dialog Chew si anak tengah dan ibunya itu seperti merepresentasikan adanya luka pengabaian dalam pengasuhan. Dia yang merasa selalu ‘dikorbankan’ atas kepentingan saudara sulungnya.

Dalam konteks gender, posisi subordinat diartikan bahwa perempuan sering ditempatkan dalam posisi yang lebih rendah atau kurang berkuasa dibandingkan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk keluarga, pekerjaan, pendidikan, dan masyarakat secara umum.

Posisi subordinat juga turut memengaruhi pembagian kerja, perempuan lebih banyak mengambil peran domestik seperti mengurus rumah dan keluarga, sedangkan para lelakinya bebas ke luar rumah bebas untuk bersosialisasi bahkan memilih pekerjaan.

Kesempatan perempuan dalam hal pendidikan dan peluang kerja terbatas dibandingkan saudara laki-laki mereka. Terlebih pekerjaan domestik kerap kali dipandang sebelah mata dan tidak diakui secara ekonomi dan sosial.

Begitulah kemudian hidup Chew, dia hanya bekerja sebagai penjaga rak makanan di sebuah supermarket. Sedangkan saudara laki-lakinya, Kiang, bisa bebas berkarier. Ketimpangan keduanya ditampakkan secara gamblang dari kehidupan ekonomi mereka. Perempuan seperti dipaksa keadaan untuk mengorbankan cita-cita mereka, sementara laki-laki bisa fokus bersekolah tinggi, bekerja, dan mendapatkan penghasilan tinggi.

Meskipun demikian, Amah dalam beberapa scene terlihat menyesali ketidakadilan yang sudah dia lakukan pada anak perempuannya, namun tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengubahnya karena keadaan dan budayalah yang memaksa. Mereka kemudian menjalaninya turun-temurun.

Baca juga:

Simone de Beauvoir, filsuf dan peneliti feminis Prancis, dalam bukunya yang terkenal The Second Sex, membahas tentang bagaimana perempuan telah diposisikan sebagai “lainnya” atau “yang kedua” dalam hubungan dengan laki-laki dalam masyarakat. Beauvoir mengidentifikasi bahwa perempuan tidak lahir, tetapi dibuat, dan struktur sosial yang dominan telah menyebabkan perempuan menjadi subordinat terhadap laki-laki.

Teori feminis menyoroti bahwa ketidaksetaraan gender adalah hasil dari konstruksi sosial yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat. Peneliti feminis menekankan perlunya perombakan struktur sosial dan budaya yang melanggengkan ketidaksetaraan ini.

Film How to Make Millions Before Grandma Dies memberikan kontribusi penting dalam sinema Thailand dan Asia dengan menawarkan perspektif baru tentang isu-isu sosial. Karya Boonnitipat ini juga bisa menjadi media untuk menyampaikan kritik terhadap masyarakat modern. Hari ini, masyarakat modern kerap kali terobsesi pada kekayaan instan dengan mengharapkan warisan. Mereka kemudian mengorbankan etika dan moralitas atas orang-orang yang semestinya dihormati.

Film berdurasi 2 jam ini pada akhirnya membuat para audiens merenungkan satu hal: Benarkah keluargamu adalah harta paling berharga? Atau harta keluargamu justru lebih berharga?

 

 

Editor: Prihandini N

Mina Megawati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email