Saya berjumpa dengan Hitler di Senayan. Dia tidak bangkit dari kubur, bukan pula anak dari seseorang yang sudah lama mati. Hanya saja orang-orang memanggilnya begitu karena bijinya hitam. “Hitam Pelir” itulah dia. Tetapi sebagaimana ‘pelir’ dibaca ‘peler’ dengan ‘e’ yang berbunyi seperti dalam kata ‘monyet’, maka demikianlah pula Hitler dipanggil.
Sebetulnya saya belum pernah melihat apakah pelir Hitler betul-betul hitam dekil atau tidak, tetapi begitulah saya mendengarnya dari orang-orang. Semua rumor itu berawal dari Hitler yang masih remaja, diam-diam mengunjungi rumah pelacuran murah. Semenjak dia memperlihatkan dua telurnya yang menggantung-gantung di hadapan pekerja seks itulah semua orang tahu bahwa pelir Hitler hitam.
Rumor dengan sendirinya memang selalu terbang ke mana-mana dibawa angin, tetapi untuk yang satu ini nyatanya menjadi rumor yang teramat memalukan. Karena rumor itu benar adanya.
Hitler adalah seorang pemain judi slot, dan saya mengunjunginya untuk menanyai dia tentang itu. Sedari awal dia sudah memperkenalkan dirinya sebagai Hitler, dan begitu susahnya saya menahan tawa. Terlebih selepas dia bercerita bagaimana nama aslinya kini terlupakan dan orang-orang hanya mengenali dia dari pelirnya yang hitam. Katanya dia sempat malu karena itu, tetapi lama-kelamaan teman-teman tidak mengenali dia lagi sebagai nama aslinya, selain apabila dia mempertegas bahwa dialah “Si Hitam Peler”.
Oleh karenanya dia jadi terbiasa. Bahkan dia berbangga diri dan melebih-lebihkan dirinya sendiri, seperti “ayo lawan pelir hitamku, dahsyat sekali cara kerjanya!” Hingga setelah sekian lama diredam malu dan dia tidak pernah kembali ke rumah pelacuran akibat selalu ditertawakan, maka akhir-akhir ini dia menjadi takjub, seolah banyak pekerja seks sengaja mengangkangkan dirinya untuk Hitler.
“Hitam Peler, pilih aku!”
Begitulah para pekerja itu menyambut saat Hitler membuka pintu. Tetapi setelah diteliti, yang menjadi daya tarik Hitler bukanlah bijinya yang hitam kumal dan dekil itu, melainkan dia jadi kaya raya karena bermain judi slot, dan Hitler suka melebih-lebihkan bayaran padahal kelaminnya sendiri hanya mampu bekerja tak lebih dari lima menit.
Dalam pengetahuan saya, orang yang bermain judi slot paling mampu menghasilkan satu sepeda motor selepas menjual tiga sepeda motor. Tetapi tidak dengan Hitler, dia punya lebih dari tiga sepeda motor yang dia sewakan untuk para turis yang ingin mengelilingi Kota Jakarta. Dia bilang pada saya, satu-satunya keajaiban dalam hidup adalah ketika pelirnya yang hitam itu dapat membawa keberuntungan.
Hitler mulai berjudi slot selepas ia menamatkan sekolah atasnya. Keluarganya tak punya uang untuk membiayai Hitler kuliah. Bahkan jikalau punya pun, orangtuanya tak mengizinkan Hitler melanjutkan pendidikannya. Bagi orangtuanya, bekerja itu lebih penting daripada keluar duit hanya untuk sekolah, yang ujung-ujungnya dipakai untuk bekerja juga.
Mula-mula Hitler bekerja sebagai penjual minuman di pinggir jalan. Lokasinya strategis, dekat sebuah kampus swasta yang mana selalu ramai anak-anak muda yang keburu panas dibakar oleh matahari ibukota. Kemudian, setiap uang yang dia dapat itu ditabung, lalu dipakai untuk membeli barang-barang yang dia sukai, yang tak pernah terbeli jika dia hanya mengandalkan uang orangtuanya.
Tetapi lama kelamaan, setelah Hitler menemukan bahwa begitu mudahnya uang didapat, dia menjadi semakin terpedaya dengan uang.
“Mencari duit itu memang seperti minum air laut, Bung,” kata dia. “Semakin diminum, semakin haus.” Lantas ia mulai mencari-cari cara agar uangnya kian cepat menumpuk.
Dan selalu teori praktis yang menjadi fokus utama bagi seseorang semacam Hitler. Dia tak peduli dengan investasi jangka panjang, karena katanya, “hidup itu tak lama, bisa jadi saya mati besok, sedangkan uangnya saya butuh hari ini.”
Maka dari itu, selepas dia mengetahui bahwa seseorang bisa mendapatkan uang dengan mudah melalui judi slot, Hitler pun mulai ikut mencemplungkan diri ke dalamnya. Dia deposit beberapa ratus ribu dari uang tabungannya, yang habis dalam waktu kurang dari dua minggu, tetapi uang itu tumbuh menjadi beratus-ratus ribu.
Bukan main riangnya ketika dia menceritakan hal tersebut kepada saya. “Rasanya seperti saya membuka pintu, dan yang ada di dalamnya hanyalah emas-emas yang bergemilangan.”
Dan Hitler pun dibuatnya jadi semakin terpacu. Ia mulai tidak sungkan mendeposit beberapa juta uang karena lagi-lagi ia terus menang. Hingga dia akhirnya bisa membuka jasa sewa motor yang salah satunya dibeli tunai menggunakan uang hasil judi slot, dan selebihnya dia ambil kredit.
Ketika saya diajak ke rumahnya yang masih kumuh, beberapa dinding hanya terdiri dari seng. Dia menunjukkan kamarnya, bahwa di dalam sana tergantung kering poster Dewa Zeus bercahaya keemasan yang selalu dia tatap dengan mata berkilauan pula. Hingga saya menduga, ini adalah kamar tidur sekaligus kuil spiritualnya. Setiap hari dia berterima kasih kepada Dewa Zeus yang telah memberikannya keberuntungan melalui pelir hitamnya.
Saya tanya apakah dia pernah rugi, dan dia menjawab bahwa setiap pemain selalu pernah merasa rugi. “Mana ada permainan yang selalu menang, Bung. Serupa hidup, mana ada kehidupan yang terbebas dari kekalahan.”
Kemudian katanya, “sudah demikianlah hukumnya. Saya anggap saja setiap kerugian adalah bayaran kepada dewa sekaligus investasi kepada bandar saya.”
Lantas saya bertanya lagi, “apa kau tidak takut ditangkap polisi? Judi slot, kan, ilegal.”
Hitler terkekeh, kemudian dia menjawab, “memang polisi ahlinya dalam bidang ini. Tak hanya dalam video porno, tetapi judi juga, sementara setiap malam para warga kota dirudung oleh ketakutan akan kejahatan, namun polisi diam-diam saja.”
“Saya tak bisa bilang apa-apa soal itu, jika memang saya ditangkap, saya anggap saja itu sebagai takdir. Lagipula penjara bisa dibayar.”
Orangtua Hitler adalah orang yang taat beragama, dan mereka tahu bahwa anaknya bermain judi slot. Tetapi orangtuanya tidak marah karena Hitler berjanji akan memberangkatkan orangtuanya naik haji. Memang jika di dalamnya terdapat uang, maka segala perkara menjadi lebih bisa diterima. Asalkan dia tidak makan babi saja, itu kata orangtua Hitler.
Tetapi janji itu masih jauh sekali untuk dicapai. Pusaran uang dalam judi slot terkadang simpang siur. Tak ada yang dapat menduga serupa manuver para politikus. Terlebih akhir-akhir ini, kata Hitler, dia sering merasa rugi. Bahkan satu motornya harus dia jual untuk mendepositkan uangnya.
Hitler tidak lagi berjualan minuman. Lapaknya itu diberikan secara cuma-cuma untuk salah seorang temannya karena Hitler adalah seorang yang pemurah. Padahal bisnisnya itu terjamin aman dan dapat membuatnya keluar dari lubang kotornya, sekali dan untuk selamanya. Sebab orang-orang tidak akan pernah berhenti pergi sekolah, dan kampus itu menjadi tempat yang paling makmur untuk seorang penimba duit. Namun sekarang, segala hal ia gantungkan kepada Dewa Zeus-nya. Dan hanya itu yang dia punya.
Setiap malam, sebelum ia masuk ke dalam permainannya, ia akan menatap poster Dewa Zeus dan menyentil tipis-tipis pelirnya, berharap daripadanya datang suatu rahmat. Dan ia masih memakai kalimat yang sama, “bahwa inilah hidup, terkadang di atas, terkadang di bawah.” Dan dia berencana untuk menjual keseluruhan sepeda motornya apabila dia terus jatuh rugi.
Sementara para penagih utang diam-diam mulai mengawasi sepetak rumahnya. Hitler sering merasa curiga. Seolah setiap orang yang dia temui di gang adalah orang yang sama, orang yang suatu saat bakal datang menggedor-gedor pintu rumahnya. Dia sering merasa cemas, dan setiap kalinya dia cemas, Hitler akan menggaruk-garuk pelirnya. Oleh sebab itulah, keseringan Hitler mengurung dirinya di dalam kamar bersama Dewa Zeus-nya. Dan tidak ada yang boleh mengganggunya.
Ketika saya menatap wajah Hitler, saya tahu sudah beberapa malam dia tidak tidur. Betapa lemak pada garis matanya jatuh mengendur, begitupula bibirnya jadi tersungging ke bawah, seolah seluruh rupa wajahnya meleleh oleh kepala yang setiap malam meringis-ringis menimba sungai yang kering. Tetapi seorang pemain akan selalu menjadi pemain, entah perlu berapa banyak bukti untuk menaklukkan Hitler, nyatanya tak ada yang bakal mampu kecuali dirinya sendiri.
Saya menduga, suatu saat Hitler bakal mati dengan cara yang sama seperti pemilik nama aslinya dalam suatu bunker. Tetapi entahlah, selepas saya mengucapkan terima kasih dan meninggalkan dia, saya sama sekali tak punya hak untuk menghakimi bagaimana ujung kehidupan seseorang.
Setiap orang memiliki garis tangannya sendiri. Dan siapa saya yang mampu menghakimi sang penjudi itu. Lagipula untuk sementara waktu, dia memiliki sepeda motor yang lebih banyak daripada saya. Dan barangkali sewaktu-waktu dapat menandingi kekayaan seorang artis apabila Dewa Zeus-nya berkehendak.
Saya menyatakan kepada diri saya, dua bulan kemudian saya harus mengunjunginya lagi. Barangkali nasibnya telah berubah dan orang-orang sudah menganggapnya sebagai Raja Pelir. Atau bisa jadi dia masih terkurung di dalam kamar yang sama, terkurung di dalam penjara, atau mungkin sang penjudi sudah terkurung di rumah sakit jiwa.
***
Editor: Ghufroni An’ars