Aku tak pernah menyangka bahwa niat Melly untuk berhijab adalah awal dari berakhirnya hubungan cinta kami. Seingatku hari itu sangat indah. Mungkin Jumat sore. Aku dan Melly duduk di sebuah bangku panjang di pelataran kampus dan aku mengelus-elus tangannya ketika ia mengutarakan niatnya. Baguslah, kataku. Sedikit mencandainya, kutambahkan bahwa dengan begitu aku tak akan cemburu lagi karena berhijab akan menghindarkannya dari tatapan nakal lelaki lain.
Aku tahu ini klise, tapi setidaknya itulah yang dikatakan ustaz di televisi, sebagaimana kata ibuku setiap kali memarahi adikku, Nur, ketika keluar rumah tanpa menutup kepalanya. “Kau pikir Ibu dan Bapak tidak akan ikut diseret ke neraka karena membiarkanmu berjalan-jalan memperlihatkan aurat, heh?”
Namun, Melly hanya menyunggingkan senyum. Ia melepas tangannya dari genggamanku dan mengatakan sesuatu yang tidak begitu kumengerti. Mungkin waktu itu aku terlalu menganggap sepele urusan ini, atau terlalu bodoh untuk memahami perempuan. Tapi sekarang aku menyesalinya.
Semenjak hari itu Melly tak pernah lagi peduli pada hubungan kami. Bukannya aku tak peka untuk tidak menyadari perubahan itu, hanya saja tidak ada gelagat selama dua tahun lebih empat bulan bahwa hubungan kami akan mengarah ke akhir seperti ini.
Kami menjalani hari-hari yang menyenangkan. Melly adalah anak baik dan penurut. Kecantikannya sangat menonjol di antara kawan-kawannya yang lain dan terkadang aku merasa sebagai lelaki paling beruntung yang dicintainya, ketika ia memiliki kesempatan untuk memberikan hatinya pada lelaki yang lebih tampan atau lebih kaya.
Tapi kenyataannya tidak sesederhana itu, terlebih ketika Melly mengatakan bahwa ia tak lagi menginginkanku.
Melly tak mengatakan hal itu secara langsung. Tak ada drama, tangis atau suara yang meninggi. Ia hanya tak muncul di kampus, tidak mengangkat teleponku, atau membalas ratusan pesan yang kukirimkan kepadanya. Ketika aku muncul di rumahnya, ayahnya hanya menjulurkan kepala dari pintu setengah terbuka, mengatakan bahwa gadis itu sedang tak ingin diganggu. Aku menanyakan apakah ia sedang sakit atau memiliki masalah, tapi pensiunan polisi itu memandangiku kesal lalu membanting pintu dengan kasar.
Belakangan hari baru aku tahu bahwa mereka telah mengirimnya keluar Sulawesi untuk mendalami agama kepada seorang alim tertentu. Gadis itu juga telah menghapus foto-foto berdua kami di Instagram dan Facebook.
Ada banyak foto liburan di pantai, melihat sunrise di puncak gunung, tertawa di kantin, foto jari-jari kami saling bertautan erat, di bioskop, foto close-up, jarak jauh, di depan cermin mall, semuanya. Tersisa hanya beberapa gambar kelam berlatar hitam dengan kalimat-kalimat panjang tentang api neraka dan hukuman bagi pendosa.
“Itu adalah hal yang biasa terjadi.” Seorang kawan memberi pengertian. “Sejenis siklus alami tiap manusia. Semua orang pada akhirnya akan tersadar dan memilih untuk berhijrah.”
“Tapi berhijrah tidak mesti mengorbankan hubungan kami berdua. Aku tak bisa membayangkan hidup tanpanya,” kataku.
Ia tertawa, seperti menangkap hal tolol dalam ucapanku.
“Kau tahu, kawan,” katanya, “jangan tersinggung, karena aku pun sama pendosanya sepertimu. Tapi tidakkah kau lihat sikap Melly saat ini?” ia merebut ponsel di tanganku. “Lihat bio Instagram-nya. Ia telah mengganti namanya menjadi perindu surga, dan ini… lelaki baik-baik untuk perempuan baik-baik, kau tahu artinya itu?”
Aku menggeleng.
Itu benar-benar sesuatu yang abstrak. Lagi pula siapa subjek yang dimaksud dalam kalimat itu?
“Apakah aku yang terlalu baik sehingga tak pantas baginya, atau dialah wanita baik-baik sehingga tak pantas untukku?”
Temanku bilang aku memang tak akan mengerti.
Namun, hidup terus berjalan. Melly benar-benar meninggalkanku dan ternyata aku tetap bisa hidup tanpanya. Aku pun mulai mengencani gadis lain. Seingatku ada tujuh perempuan yang pernah tidur denganku, dan mereka semuanya tidak begitu cantik. Sialnya aku selalu menjadikan Melly sebagai pembanding sehingga gadis itu akan muncul sewaktu-waktu dan menghantui pikiranku dan berakhir pada rusaknya hubunganku dengan gadis-gadis setelah dia.
Setelah kuliah aku bekerja di perusahaan pembiayaan dan memutuskan untuk menikahi Ira, perempuan biasa untuk lelaki yang juga biasa saja sepertiku.
Hidupku, kurasa baik-baik saja untuk beberapa waktu. Kami memiliki dua orang anak perempuan, dan ketika Fathia, yang berusia lima tahun hendak masuk Taman Kanak-Kanak, aku sampai ke kesimpulan bahwa aku memang belum bisa melupakan Melly.
Ibu Kepala Taman Kanak-Kanak bersikeras tentang penggunaan hijab di sekolahnya. “Karena Anda memang tidak membaca aturannya,” ia berkata kesal, “di sini tertulis setiap anak perempuan diwajibkan mengenakan hijab. Kecuali bila Anda seorang Kristen atau yang lainnya. Tapi itu justru semakin menampakkan kebodohan Anda sebagai orangtua, karena telah salah memasukkan anak ke sekolah,” ia lalu menunjuk daftar peraturan yang tertempel di dinding berwarna pelangi.
Aku berusaha meyakinkannya, bahwa ini tak seperti yang ia pikirkan. Aku bilang kulit Fathia sangat sensitif dan gampang terkena biang keringat, tapi ia menyela ucapanku, memutar kedua bola matanya ke istriku seolah-olah Ira telah membuat kesalahan karena mengikutkanku dalam pertemuan orang tua.
Pada akhirnya aku menyerah karena dalam hatiku sendiri aku khawatir istriku mulai melihatku sebagai pengidap Islamophobia.
“Apa yang harus kubenci dari agamaku sendiri?” kataku setiap kali membela diri dari tuduhan Ira. Dan istriku akan membalas dengan nada tak kalah tinggi, “kenapa kau begitu cepat tersinggung untuk hal seperti ini? Kau juga melarangku memakai hijab ketika perempuan bersuami di luar sana berjuang untuk menjadi alim. Sepertinya ada yang bermasalah dalam kepalamu. Aku tak ingin anak-anakku nanti tumbuh besar…” dan ia mulai menangis.
Atau aku bisa saja mengatakan yang sebenarnya. Bahwa keberadaan kain hijab atau semacamnya di dalam rumahku; entah milik anak-anakku yang kini memakainya berlari-lari di dalam rumah seharian, atau istriku yang bahkan tak melepasnya saat tidur semakin membuatku marah. Mereka akan selalu mengingatkanku kepada Melly.
Suatu malam aku sedang duduk di ruang televisi menunggu pertandingan Manchester United ketika secara tak sengaja jariku memainkan remot dan berhenti di kanal berita bincang publik. Siaran ulang yang menurutku cukup menjengkelkan, mengingat orang-orang masih membicarakan hal yang sama sejak pertama kali aku belajar memahami betapa sia-sianya berpolemik soal poligami.
Mereka menghadirkan beberapa orang narasumber. Ada seorang ustaz dari Majelis Ulama dan seorang lelaki tua dengan gigi ompong dan berjanggut lebat. Yang terakhir ini terus-menerus marah sepanjang waktu kepada pemuda dengan potongan rambut belah dua, yang dikenal sebagai ikon muda partai liberal. Ada juga seorang perempuan yang duduk terpisah di pojok. Mereka membicarakan tentang hubungan poligami dan hak para istri yang terabaikan.
Ustaz dari Majelis Ulama mengatakan bahwa teks kitab menganjurkan demikian yang dibuktikan dengan praktik yang lazim di zaman dahulu, sehingga tak logis menggunakan satu kasus menyimpang untuk menggugurkan kebolehannya.
Hal itu segera disela oleh lelaki bergigi ompong, mempertegas bahwa hanya pembenci Islam sajalah yang menolak poligami.
Pemuda itu tetap tenang, menyodorkan data-data tentang tingkat kekerasan pada perempuan secara umum dan dampak psikologis-sosial-ekonomi semacamnya bagi istri yang cenderung tak terpenuhi haknya dalam praktik ini. Tetapi sekali lagi disela secara kasar oleh si lelaki ompong, mengulang bahwa hanya orang kafir saja yang menolak sunah nabi.
Aku sebenarnya tidak begitu peduli dengan perdebatan tersebut, kecuali pada tua bangka yang dipanggil secara segan oleh pembawa berita dengan sebutan kiai. Juga fakta bahwa ini berhubungan langsung dengan upayanya menyelamatkan muka.
Kabar yang beredar, kiai itu merupakan pemilik salah satu pesantren besar di Jawa dan mempraktikkan poligami. Kini ia berada dalam masalah besar karena tuduhan penganiayaan dan penelantaran yang dilakukannya kepada istri-istri mudanya. Ia memiliki banyak istri, mungkin dua, tiga, atau sepuluh, tapi satu-satunya yang hadir di sana, dalam setelan niqab berwarna hitam, kupikir cukup berani untuk memberikan kesaksiannya.
Perempuan itu masih cukup muda dan sorot matanya memancarkan kebingungan, seperti menanggung banyak beban. Ia membeberkan sejumlah fakta yang membuat lelaki ompong itu meradang, membela diri bahwa televisi telah bersekongkol untuk memfitnahnya, menghina agama Islam.
Kebencian dan cemburu dalam dadaku muncul bersamaan dengan pengakuan-pengakuan perempuan tersebut. Aku merasa sesuatu dalam diriku mencoba untuk keluar. Sesuatu yang telah lama mengendap, perasaan yang campur aduk. Ketika akhirnya aku menyadari sesuatu yang tak asing pada suara perempuan itu, sekonyong-konyong tawaku meledak memecah malam.
Ira terbangun dan menyalakan lampu. “Ada apa?” tanyanya.
Aku memegangi perutku dan tertawa menuding ke televisi. Istriku duduk di sampingku dengan segelas air. Ia kebingungan karena tak menemukan hal lucu kecuali gigi ompong Si Kiai. “Kamu jangan menghinanya, dia itu orang tua.”
“Tidak, aku tidak menghinanya,” kataku sambil beralih ke perempuan yang menangis di sudut.
“Ia adalah korban Si Kiai,” kata istriku, “kasihan sekali, berita yang beredar… tapi kenapa kau tak menunjukkan simpatimu sama sekali kepadanya?”
“Kenapa?” aku menegakkan punggung, hendak memulai pertengkaran baru. “Buat apa? Tidak ada simpati untuk perempuan seperti itu. Dia telah mendapatkan apa yang diinginkannya. Lelaki baik-baik untuk perempuan baik-baik.” Aku tertawa penuh kemenangan sambil menenggelamkan tubuhku ke dalam sofa.
Istriku hanya terdiam. Sesaat kemudian ia berkata bahwa aku memang telah menunjukkan gejala kegilaan dan dia mengancam dengan serius jika aku tak berhenti tertawa, besok ia sungguh-sungguh akan menyeretku ke tempat ruqiyah. Aku bangkit dan ingin bilang bahwa aku telah sembuh sekarang, tapi istriku buru-buru mematikan lampu dan menghilang ke dalam kamar.
Aku terduduk kaku sendiri di depan pendar putih cahaya televisi dan perempuan itu masih di sana, di pojok sambil menunduk sedih. Entahlah, kupikir selama aku tak menceritakan tentang gadis bernama Melly dan hubungannya dengan kegilaanku ini, istriku tak akan mengerti. Tak akan pernah.
Editor: Ghufroni An’ars