Diskursus politik Indonesia dewasa ini telah dikaburkan oleh berbagai gimik, polesan, dan citra dari politisi. Dengan memanfaatkan piranti digital, kawanan politisi dengan mudah menghipnotis masyarakat politik yang didominasi anak muda. Jogetan, tangisan, dan aneka drama menjadi tontonan utama yang seolah dinanti-nanti anak oleh muda. Hal ini membuat ide, gagasan, visi-misi, dan program tidak lagi menjadi penting untuk diperdagangkan di dalam arena politik elektoral. Padahal masih banyak anak muda yang mendambakan politik yang substantif, politik yang diramaikan oleh ide dan gagasan untuk membangun cita-cita republik.
Di tengah kekosongan gagasan, pentas politik elektoral semakin diperkeruh oleh barbagai pernyataan dan tindakan dari Jokowi. Terbaru, ia menyatakan bahwa presiden boleh berkampanye dan berpihak asalkan tidak menggunakan fasiltas negara. Ini merupakan cawe-cawe Jokowi kesekian kalinya, setelah sebelumnya ia juga mengomentari format debat capres-cawapres. Hal ini dilakukan demi mengawetkan dan mengamankan kuasanya. Ia bukan lagi seorang negarawan, melainkan telah menjelma menjadi sebatas politisi yang terobsesi pada kekuasaan. Keasliannya semakin nampak, Jokowi adalah presiden yang antirepublik. Pasalnya, dari sejak awal berkuasa hingga menjelang masa purna jabatan, kebijakan, tindakan, dan pernyataannya kerap menggerus nilai-nilai republik.
Baca juga:
Menggali Republik
Sebelum saya membangun argumen bahwa Jokowi antirepublik, saya lebih dulu menjelaskan apa itu republik. Per Mouritsen (2006), dalam tulisan bertajuk Four Models of Republican Liberty and Self-government, menyampaikan bahwa istilah republik tidak dipakai pada masa lalu, namun kumpulan argumen, nilai, dan konsepnya senantiasa mewarnai kehidupan politik kala itu. Barulah Cicero (106-43 SM) dengan ujaran yang populer “res-publica res-populi” mengawali penggunaan istilah republik, bahwa republik sepenuhnya diarahkan untuk rakyat.
Menurut Robertus Robet (2021), republik diartikan sebagai suatu komunitas politik bersama yang diorganisir oleh pemerintahan yang berpijak pada prinsip-prinsip demokrasi, termasuk sistem perwakilan yang diselenggarakan dengan kesepakatan untuk mengabdi pada pencapaian tujuan-tujuan hidup bersama yang baik di bawah prinsip hukum dan persamaan.
Secara praktik, republik ditemukan pada penyelanggaraan pemerintahan dan tindakan politik warga yang didasarkan pada semangat kebersamaan, partisipasi aktif, kebebasan, berpangkal pada hukum, dan mempunyai ikatan solidaritas yang kuat untuk mewujudkan kebaikan bersama (eudaimonia). Sebagai suatu paham, republik merupakan gagasan yang dipakai pada masa lalu sebagai kekuatan utama untuk mengoreksi segala bentuk kekuasaan kolonial dan kekuasan yang bergenre monarki.
Rezim Antirepublik
Definisi dan nilai-nilai republik tersebut sukar ditemukan pada praktik politik Indonesia saat ini. Republik ada secara nama dan melekat kuat sebagai identitas negara. Namun, penghargaan terhadap nilai dan prinsip-prinsipnya kerap diredupkan oleh pola laku kekuasaan. Puncaknya, pada era Jokowi, ide, prinsip, dan nilai republlik dimatisurikan. Ada beberapa argumen yang bisa saya buktikan bahwa rezim Jokowi adalah rezim yang antirepublik.
Pertama, republik menjujung tinggi solidaritas kewargaan. Solidaritas ini menjadi basis nilai bagi aktivitas politik warga. Karakter ini sukar ditemukan di rezim Jokowi. Pasalnya, konflik horizontal ramai terjadi di pelosok Nusantara, di Papua misalnya. Selain itu, rezim ini juga mengawetkan polarisasi berbasis identitas, serta membiarkan penyingkiran terhadap masyarakat adat dan kelompok marjinal lainnya. Politik kewargaan yang teraktualisasi dalam bentuk protes dan pelbagai aksi demonstrasi kerap direspons dengan pembungkaman dan kekerasan.
Kedua, republik menganjurkan partisipasi aktif warga dalam setiap proses politik. Artinya, pada perumusan kebijakan apa pun, warga mempunyai otoritas untuk terlibat. Keterlibatan ini merupakan esensi kebebasan warga dalam sebuah republik. Namun, pada rezim Jokowi perumusan aneka kebijakan tidak melangsungkan proses yang partisipatif, transparan, dan akuntabel sehingga kerap menuai protes dari masyarakat.
Ketiga, republik membentuk pemisahan yang ketat antara yang publik (res-publica) dan yang privat (res-privata). Artinya, dalam sebuah republik kepentingan publik lebih tinggi dan lebih diutamakan dari kepentingan pribadi. Pada era Jokowi, ia secara terang-terangan meleburkan antara yang publik dan privat. Tidak ada lagi batas yang curam antara kepentingan pribadi, keluarga, dan golongan dengan kepentingan publik. Pencalonan Gibran sebagai wakil presiden, kawanan menteri yang tanpa rasa malu mengerahkan energi untuk memenangkan salah satu kandidat capres-cawapres, dan kebijakan bansos yang kerap diklaim sebagai wujud kebaikan pribadi Jokowi merupakan bentuk nyata kepentingan pribadi yang didahulukan melebihi kepentingan publik.
Baca juga:
Keempat, republik merupakan konsepsi politik yang tidak memberi panggung bagi oligarki. Namun, di negara republik yang dipimpin oleh Jokowi, relasi politik oligarki terus diawetkan dengan memberi pelindungan dan berbagai instrumen kepada para oligark untuk memuluskan kepentingan mereka. Undang-Undang Omnibus Law, revisi UU KPK, dan UU IKN adalah di antara cek kosong yang diberikan kepada kalangan oligark untuk menjarah aneka sumber daya publik. Hal ini telah menganulir semangat dan cita-cita republik.
Kelima, republik adalah paham politik yang membasmi segala bentuk kekuasaan monarki. Kekuasaan yang berbasis garis keturunan selayaknya ditolak dalam sebuah republik. Tetapi di era Jokowi, dinasti politik justru dinormalisasi, sehingga tidak aneh, jika Gus Mus menyatakan bahwa Indonesia saat ini menjadi negara republik rasa monarki.
Keenam, prinsip republik yang paling penting adalah menyelanggarakan pemerintah yang berbasis pada konstitusi dan mengibarkan semangat antikorupsi. Dalam sebuah republik, konstitusi menjadi pemandu dalam menyelenggarakan aktivitas warga dan lembaga-lembaga tinggi negara. Selain itu, konstitusi juga menjadi alat untuk memerangi korupsi dan kesewenang-wenangan kekuasaan. Namun, dalam rezim Jokowi, institusi hukum seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi telah direnggut marwahnya oleh kepentingan untuk terus berkuasa. Dawuh dari Machiavelli telah diabaikan oleh Jokowi, korupsi itu buruk tidak semata-mata karena melanggar hukum, tetapi kelak merusak republik.
Inilah yang kita rasakan saat ini. Republik berada di ambang kehancuran. Oleh sebab itu, Jika Cak Imin menganjurkan untuk taubat ekologi, Jokowi butuh lebih dari itu, ia harus melakukan taubat republik, kembali menginsafi republik agar cita-cita kebangsaan kembali tertata.
Editor: Prihandini N