KITA MATI
mati kata-kata
mati pula segala
mati bahasa
liang lahat terbuka
mati cinta
mati pula puisi
matilah aku
kau juga
HIDANGAN KEMARAHAN PUKUL 7 PAGI
aku memikirkannya. tapi malam begitu gaduh. kangkung tumis. hidangan kemarahan. aku tak tahu bagaimana mengatakannya; telepon genggam baru saja melarikan diri dari tubuhnya.
sebentar saja. tapi kata-kata menghentikan permainannya; sudah tutup! tak ada permainan lagi. datanglah sebelum petang.
DARI HALTE MENUJU PUSARA PUKUL 12 MALAM LEWAT
ia melarikan diri dari kantuknya. membawa segumpal kemarahan sekaligus merayakannya.
di sana ia tertiup. di sana. di sana. di sana. ia meniup. ia meniup. dan semua darah dalam dirinya dapat diangin-anginkan dengan satu napas. memutar Pablo Arellano:
“istirahatlah dengan penuh kemarahan…” begitulah ia menangis.
HIDANGAN TRAGEDI
sejauh apa aku dapat berlari?
pernahkah kau sejenak berhenti kemudian mengadu cerita pada jalan sembab di januari yang basah tentang apa yang kau lalui?
tentang bagaimana cara menemukan arah pulang ketika rumah tenggelam dalam bayang-bayang kota. dalam kata-kata.
kau katakan; aku pernah berada di sini. tapi di mana?
apa di dalam hutan yang telah habis dibakar? ataukah di jalan-jalan kota yang sesak oleh desahan jarum jam?
kukatakan; pernahkah kau membayangkan bagaimana laut yang indah itu menyimpan banyak misteri? serupa perempuan di ujung jalan yang penuh tanda tanya. atau gunung-gunung yang menyembunyikan kesunyian lainnya di dasar lembah yang curam.
KE MANA LARINYA GELAK TAWA SEBELUM MALAM MELANTUNKAN DESAS-DESUS?
di sepanjang jalan aku menyaksikan debu menari bersama angin. laju kendaraan. segala hiruk pikuk yang memupuk kehidupan. ke mana larinya gelak tawa sebelum malam melantunkan desas-desus? atau lari adalah gelak tawa itu sendiri?
aku menyusun banyak pertanyaan pada gelap malam yang dikelabui cahaya remang lampu kota, pada anjing yang menyalak pukul tiga lewat sebelas menit dini hari, dan juga pada mereka yang sibuk menyusun pertanyaan untuknya sendiri.