Hewan Suci dan Hewan Najis: Konstruksi Budaya dan Nilai Agama

Diaz Keumala Hayati

4 min read

Dalam setiap tradisi masyarakat, selalu ada hewan-hewan tertentu yang menempati posisi istimewa, baik itu karena dianggap suci maupun dianggap sebagai najis. Mulai dari babi, anjing, kucing, sapi, hingga ikan, semua menyimpan mitos, tabu, sekaligus nilai penting peradaban manusia yang menjadi perdebatan sepanjang zaman. 

Dalam masyarakat Sulawesi Selatan ada kepercayaan yang menganggap makhluk bersisik sebagai jelmaan manusia. Di Kabupaten Bone makhluk bersisik ini dinamai warga sebagai To to Salo yang artinya “manusia penghuni sungai”. Lain halnya dengan warga Luwu yang menyebutnya sebagai Ampu Salu alias sang penguasa sungai. Bahkan terkadang warga Luwu memanggil makhluk tersebut dengan sebutan “nenek”.

Di India pemeluk agama Hindu mempercayai sapi sebagai hewan suci. Tidak ada penistaan yang lebih besar bagi seorang Hindu selain membunuh seekor sapi. Selain itu pemeluk Hindu juga sangat menghormati sapi betina. Sama seperti halnya umat Kristiani yang menganggap Maria sebagai bunda Tuhan, pemeluk Hindu juga mengaggap sapi betina adalah bunda kehidupan, lambang dari semua yang hidup.

Dalam keadaan miskin dan kelaparan pun pantang bagi seorang pemeluk Hindu untuk menyembelih dan memakan sapi. Sikap tabu menyembelih dan memakan sapi inilah yang dilihat para ilmuwan dan orang-orang Barat sebagai tindakan yang “mubazir”. Mereka mengklaim bahwa pemujaan terhadap sapi sebagai sebab menurunnya efisiensi pertanian, sebab sapi-sapi ras zebu khas India yang kurus-kurus itu tidak menyumbang daging dan susu tetapi tetap turut serta berebut lahan dan pangan dengan manusia dan juga hewan ternak lainnya yang lebih bermanfaat.

Kecintaan umat Hindu yang begitu besar terhadap sapi juga kerap membawa pada konflik dengan pemeluk agama lain. Sebelum anak benua Hindia terpecah menjadi India dan Pakistan, kerusuhan massal untuk mencegah umat Muslim membunuh sapi menjadi peristiwa tahunan. Salah satu ingatan tentang peristiwa kerusuhan sapi misalnya seperti tragedi Bihar yang terjadi pada tahun 1917. Peristiwa itu menyebabkan 30 orang tewas dan 170 desa Muslim dijarah. Pada kenyataanya kecintaan terhadap sapi masih belum cukup mendatangkan kecintaan terhadap sesama manusia.

Jika dalam Hindu ada tabu memakan sapi karena besarnya rasa kecintaan terhadap hewan tersebut, maka dalam Islam dan Yahudi sikap tabu memakan babi adalah sebagai wujud dari rasa benci. Tuhan Ibrani kuno bahkan dalam kitabnya mengutuk babi sebagai binatang yang najis, makhluk yang tak boleh disentuh juga dimakan. Setelah 1500 tahun kemudian, status babi yang haram juga difirmankan oleh Allah lewat Nabi Muhammad.

Dalam perjalanannya muncul penjelasan bahwa diharamkannya hewan babi adalah sebab binatang tersebut bersifat jorok atau kotor. Babi memiliki kebiasaan berkubang dalam air kencingnya sendiri dan juga memakan tinja. Kebiasaan jorok inilah yang menyebabkan daging babi jadi tak layak makan karena tubuhnya terjangkit penyakit cacing pita. Penjelasan yang beredar tersebut memang masuk akal.

Namun menalikan ketidakbersihan fisik babi dengan status pengharaman secara keagamaan menghasilkan ketidakkonsistenan. Sebab hewan selain babi pun seperti sapi atau kambing juga memiliki kebiasaan yang sama dan dapat pula terjangkit penyakit seperti cacing pita jika berada dalam habitat yang kotor.

Memahami dengan Ilmu Pengetahuan

Manusia tentu memiliki pandangan tersendiri dalam melihat kebudayaan atau kepercayaan yang dijalani satu kaum tertentu. Masyarakat modern mungkin berpendapat aneh melihat orang-orang di Sulawesi Selatan yang menganggap buaya itu jelmaan manusia. Atau menggangap pandir para penganut Hindu yang lebih memilih kelaparan daripada harus memotong dan memakan sapi. Atau mungkin juga timbul pertanyaan kenapa babi itu haram dari penganut Islam atau Yahudi itu sendiri.

Seorang antropolog Amerika, Marvin Harris, dalam bukunya Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir (2019) mencoba memberikan penjelasan terhadap enigma atau teka-teki budaya yang tabu, salah satunya adalah larangan makan sapi bagi pemeluk Hindu dan larangan makan babi bagi pemeluk Yahudi dan Islam. Bagi Harris alasan utama pelarangan tersebut bukan berasal dari dogma agama, melainkan dipijakkan pada kebutuhan, kondisi, ekosistem, iklim, dan fenomena lain yang bisa teraba.

Seakan mematahkan pandangan “mubazir” yang dikemukakan orang-orang Barat, menurut Marvin gaya hidup mengagungkan sapi malah menguntungkan bagi pemeluk Hindu. Semua bagian sapi dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin oleh para petani Hindu. Para petani tidak mampu membeli traktor, dengan demikian tenaga sapi dan sapi jantan menyediakan pengganti hemat energi.

Mengingat banyaknya manfaat kotoran sapi bagi kehidupan sehari-hari mereka, maka dengan telaten para petani dan anak-anak juga mengumpulkan seonggok kotoran sapi. Ternak di India per tahun menghasilkan 700 juta ton kotoran terdaur ulang. Sekitar setengah dari jumlah tersebut digunakan sebagai pupuk kandang, sementara itu sisanya sebagian besar dibakar sebagai pemanas untuk para ibu rumah tangga. Lalu kotoran sapi ini pun bisa dijadikan lantai rumah-rumah mereka.

Ketika petani pemilik sapi zebu mengalami fase ekonomi sulit, para pakar Barat menawarkan solusi terbaik dengan menyembelih atau menjual sapi mereka. Dengan menyembelih dan menjual sapi, seorang petani memang bisa mendapatkan beberapa rupee dan untuk sementara mereka dapat terhindar dari kelaparan. Tetapi setelahnya kiamat dapat dipastikan melanda keluarga petani sebab mereka tak memiliki apa-apa lagi.

Ketimbang memilih menyelamatkan hidupnya dengan solusi jangka pendek (perbuatan menyembelih sapi yang sudah tentu sebuah dosa), para pemeluk Hindu ini memiliki solusi jangka panjang. Diketahui sapi zebu memiliki sifat-sifat yang teradaptasikan pada kondisi khusus pertanian India yakni bertubuh kecil, memiliki punuk untuk menyimpan cadangan energi serta memiliki daya pulih yang besar.

Dengan mempertahankan sapi mereka memiliki harapan untuk memperoleh hasil. Ada harapan sapi akan menggemuk, menghasilkan anak, dan juga menghasilkan susu yang dapat laku untuk dijual atau dikonsumsi guna memenuhi kebutuhan gizi. Terlebih lagi aktivitas dapur mereka juga selalu bergantung pada kotoran-kotoran sapi.

Sementara itu teka-teki tabu memakan babi seperti yang terfirman dalam kitab suci  juga coba dijelaskan oleh Harris. Harris berpendapat bahwa Alkitab dan Al-Qur’an mengutuk babi karena peternakan babi adalah ancaman bagi keutuhan ekosistem alami budaya Timur Tengah. Dalam keseluruhan pola perpaduan pertanian dan peternakan, larangan ilahiah atas babi adalah strategi ekologis yang beralasan.

Binatang-binatang domestik yang paling baik beradaptasi dalam wilayah tandus Timur Tengah adalah pemamah biak seperti sapi, kambing, dan domba. Pemamah biak mampu mencerna rumput, dedaunan, dan makanan lain yang mengandung selulosa dengan lebih efisien dibandingkan dengan mamalia lain.

Sementara itu pada dasarnya babi adalah makhluk hutan dan tepi sungai yang teduh. Tak seperti hewan pemamah biak, perolehan bobot babi didapat paling baik dari makanan rendah selulosa—kacang-kacangan, buah-buahan, umbi-umbian, dan khususnya gandum, yang membuat babi menjadi pesaing utama manusia. Kerugian lain dari menernak babi adalah hewan tersebut tidak bisa menjadi sumber susu yang praktis, dan terkenal sukar untuk digembalakan dalam jarak jauh.

Selain itu menurut hukum termodinamika, babi juga sulit beradaptasi dalam wilayah Timur Tengah yang beriklim panas. Babi tidak memiliki sistem yang efisien dalam mengatur suhu tubuh, dengan kata lain babi sama sekali tidak bisa berkeringat. Sebagai gantinya, babi harus melembabkan tubuhnya dengan cairan eksternal. Babi suka melakukannya dengan berguling-guling dalam kubungan air yang bersih. Namun jika disekitarnya tidak ada cairan bersih yang tersedia maka babi akan melumuri kulitnya dengan air kencing dan tahinya sendiri.

“…bukanlah sifat babi untuk selalu kotor di mana saja; melainkan habitat alam Timur Tengah yang kering dan panaslah yang membuat babi bergantung maksimal pada efek menyejukkan dari kotorannya sendiri.” (Hal. 38)

Mencoba untuk memahami konteks kepercayaan atau budaya yang dianut satu kaum tertentu memang penting. Seperti Harris yang mencoba untuk menjawab enigma atau teka-teki budaya dan segala ketabuan yang diyakini dan sudah mengakar dalam adat. Selama ini kita selalu melihat bahwa adat dan pranata tampak tinggi dan tak tersentuh. Pandangan ini muncul karena kita selalu diajarkan untuk menjunjung tinggi penjelasan spiritual yang rumit atas fenomena kebudayaan, alih-alih penjelasan yang membumi.

Padahal menurut Harris kepercayaan dan praktik-praktik yang paling aneh sekalipun jika diamati melalui pendekatan yang cermat ternyata berlandaskan pada kebutuhan mendasar di muka bumi. Gaya hidup yang diklaim tak dapat dimengerti nyatanya memiliki sebab-sebab yang pasti dan mudah dimengerti.

Belajar memahami merupakan upaya agar kita tak berakhir dengan mudah menghakimi atau berakhir dengan meyakini bahwa “hanya Tuhan yang tahu jawabannya”.

Diaz Keumala Hayati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email