Hentikan Stigma: Pelajaran dari Kematian Valeriblue

Salsabila Fitri

3 min read

Trigger Warning: Tulisan ini mengandung hal yang sangat sensitif terhadap kesehatan mental. Sangat tidak dianjurkan membaca tulisan ini dan surat Valeri jika kondisi mental tidak stabil.

Surat bunuh diri Valeriblue telah beredar luas di media sosial. Valeri membuat surat yang berisi tentang kehidupannya, sebelum ia memutuskan untuk bunuh diri dengan cara menggantungkan dirinya di dalam kamar kos pada 04 April 2022. Surat itu disimpan dalam link folder yang ia taruh di bio Instagramnya.

Folder tersebut tidak hanya berisikan surat bunuh diri saja, namun juga berisikan beberapa tulisan cerita pendek dan naskah drama. Dalam surat bunuh diri, Valeri menceritakan bagaimana perjalanan kehidupannya yang gelap kelabu, penuh kekelaman, kesedihan, kesendirian. Ia menuliskan kisahnya sedari sekolah dasar hingga ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, yang tentunya banyak sekali hal-hal buruk yang menjadikan alasan Valeri untuk mengakhiri hidupnya. Sekali lagi diperingatkan untuk tidak membaca surat tersebut jika kalian dalam kondisi kesehatan mental yang tidak baik. 

Baca juga: Kekerasan Seksual Pesantren Shiddiqiyyah dan Keinginan Saya untuk Bunuh Diri

Gender dan Label 

Di dalam surat bunuh diri yang ditulis oleh Valeri kita dapat melihat banyak aspek yang menyangkut realitas kehidupan. Namun, dalam tulisan ini kita akan melihat, membaca dan meneliti dari sudut pandang sosiologi dan kajian gender. Sebelum membahas lebih dalam kita perlu memahami istilah “sex” dan “gender” terlebih dahulu, karena kedua istilah ini secara garis besar cenderung diartikan sama. “Sex” lebih mengarah pada pembagian fisiologis dan anatomis manusia secara biologis. Sedangkan “gender” menunjukkan perbedaan jenis kelamin berdasarkan peran dan status dalam kehidupan sosial budaya. Perbedaan kedua hal tersebut sangat diperlukan karena sangat berpengaruh dalam kajian analisis gender.

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia selama ini hanya mengenal dan menerima dua jenis kelamin. Kedua hal ini dikonstruksikan pada perannya masing-masing dan tidak bisa bertukar. Peran laki laki telah ditanamkan dengan maskulinitasnya dan peran perempuan dengan femininitasnya. Masyarakat menganggap kedua jenis kelamin tersebut telah dimaksudkan untuk berpasangan Laki-laki dengan perempuan, tidak ada tempat laki-laki berpasangan dengan laki-laki, dan perempuan berpasangan dengan perempuan, dan juga laki-laki dengan identitas penampilan perempuan ataupun sebaliknya. Jika tidak sesuai dengan posisi dan peran yang telah ditentukan, masyarakat menganggap hal tersebut sebagai keabnormalan yang telah menyimpang dari pola aturan yang telah ada.

Berbicara tentang normalitas dan abnormalitas, kedua hal ini masih sangat samar samar batasannya. Suatu hal yang dirasakan normal oleh suatu kelompok, terkadang dianggap abnormal oleh kelompok lain. Menurut Ruth Benedict penggolongan kepribadian “normal” dan “abnormal” berhubungan erat dengan perumusan pola kebudayaan dari suatu masyarakat. Suatu hal dapat dikatakan keabnormalan karena adanya perbedaan signifikan terhadap tingkah laku pada umumnya atau masyarakat dominan. Dengan adanya perbedaan signifikan akan biasanya langsung dinyatakan sebagai abnormal. Masyarakat pada umumnya yang memiliki struktur normatif seperti ‘yang dianggap baik’, ‘yang dianggap seharusnya”. Stigma masyarakat tentang LGBT sudah menyalahi aturan normatif yang telah ada yaitu ‘yang dianggap seharusnya’. Seorang laki-laki harus menjadi laki-laki dengan sifat maskulinitasnya dan perempuan harus menjadi perempuan dengan sifat feminitas nya. 

Dalam surat bunuh dirinya, Valeri menyebutkan bahwa dirinya merupakan seseorang yang berbeda “i always knew that i’m different from other people”. Ia menyadari adanya perbedaan di dalam dirinya. Perbedaan yang ia rasakan tidak terlepas dari peran sex dan gender yang ia alami. ia menyebutkan bahwa dirinya merupakan seorang queer “i’m a queer person”, di mana istilah Queer ini digunakan oleh individu yang termasuk dalam komunitas LGBT dan minoritas seksual lainnya. Queer sering kali digunakan sebagai padanan “not straight”. Queer menjelaskan “sexual orientations and gender identities that are not exclusively heterosexual or cisgender”.

Selain itu juga Valeri menyebutkan bahwa dirinya memiliki orientasi sebagai homoseksual  “PK was my starting point of living live as a proud gay man”. Dalam struktur normatif masyarakat hal ini merupakan sesuatu ‘yang dianggap tidak baik’ sehingga kerap mendapat perlakuan kurang baik, seperti cemoohan, label buruk terhadap individu tersebut, bahkan parahnya pengucilan dari masyarakat. 

Label buruk atas sebuah individu bermula karena adanya sebuah penyimpangan bagi kelompok masyarakat dalam diri individu tersebut. Valeri dalam surat bunuh dirinya berkali kali menyatakan bahwa dirinya merupakan seorang individu yang tidak baik, nakal, dan selalu bermasalah. “I have always been a troubled kid.”, “ I have always been a troublemaker.”. “I seemed to never changed, always with the trouble.”, “however, it seemed like I never changed, still near the trouble.”, “telling a story about a troubled kid, which I derived from an actual event.”. Namun dalam surat bunuh dirinya tidak dituliskan secara spesifik tentang “kenakalan” yang diperbuat.

Valeri menerima label buruk yang diberikan oleh kelompok sekitarnya hingga ia merasa bahwa dirinya merupakan individu yang tidak baik, nakal dan selalu bermasalah. Tidak dapat dipungkiri label buruk yang diberikan orang-orang sekitar valeri tentunya menyangkut tentang seks dan gender yang Valeri yakini. Valeri merupakan salah satu korban stigmatisasi. Bagi masyarakat ia merupakan bagian dari yang lain (fisik, gender,dan presensi seksual), karena itu menyimpang dari apa yang seharusnya masyarakat harapkan dari nilai budaya, nilai hukum dan agama. 

Pada akhir surat bunuh dirinya Valeri menuliskan bahwa pilihan untuk mengakhiri hidupnya terlepas dari sex dan gendernya “i don’t do this because i’m a queer person who’s got abused and got sick of living. it’s not because of my sexuality and my gender identity. of course living as one in the place i’m living in can be easier, but i’ll always be proud to be a part of the community, i’m comfy with my identity.”

Pada tahap ini Valeri telah berhasil menerima bahwa dirinya merupakan bagian dari komunitas yang berbeda setelah tahapan – tahapan panjang dalam kehidupannya yang ia telah lalui. Memang sex dan gender bukanlah alasan terbesar Valeri untuk mengakhiri hidupnya. Namun sex dan gender ini memiliki peran yang sangat besar dalam perjalanan hidup Valeri.

 

Salsabila Fitri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email