Banyak isu viral di media sosial yang bermula dari “spill the tea”. Frasa “spill the tea” ini digunakan ketika netizen speak up atau menyampaikan rahasia atau suatu kejadian yang tidak diketahui orang lain dan biasanya melibatkan pihak yang cukup dikenal seperti artis, influencer atau selebgram. “Spill the tea” ini dipercaya berasal dari frasa “spill the beans” dari Yunani Kuno yang pada waktu itu menggunakan kacang polong (beans) sebagai instrumen untuk mewakili suara. “Spill the beans” artinya membiarkan informasi rahasia menjadi diketahui.
Metode “spill the tea” beberapa kali menjadi jalan yang dipilih netizen untuk mengungkapkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya. Namun ibarat pisau bermata dua, pengungkapan kasus melalui metode ini selain bisa mendatangkan dukungan bagi si pengungkap, juga bisa menjadi bumerang yang menyerang balik korban, karena tindakan korban untuk mengungkap ke publik tentang kekerasan seksual yang dialaminya ini bisa berpotensi dijerat tuduhan pencemaran nama baik, terutama apabila tidak disertai dengan bukti-bukti atau pun saksi.
Hal ini diungkapkan dalam Instagram Live bertajuk Spill The Tea, Sis! yang diadakan The Conversation Indonesia, Senin (28/2), dengan pembicara Okky Madasari dan peneliti hukum, Naomi Rehulina Barus.
Baca juga: Gagal Mencari Keadilan lewat Cuitan
Pencemaran nama baik melalui media sosial dapat dikenakan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menyatakan:
“Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Pelaku pencemaran nama baik di atas diancam pidana penjara maksimal 4 tahun dan/atau denda maksimal Rp750 juta.[1]”
Berkaca dari kasus yang sempat viral beberapa waktu lalu, ketika akhirnya kasus tindakan kekerasan seksual yang dituduhkan kepada Gofar Hilman berakhir dengan permintaan maaf dari pelapor, maka mempersiapkan diri sebelum speak up di media sosial sangatlah penting, karena pelapor akan berhadapan langsung dengan ancaman pencemaran nama baik.
Netizen ketika menyikapi cuitan dari korban pun perlu memperhatikan beberapa hal. Yang paling utama adalah memberi dukungan kepada korban terlebih dahulu, terlepas dari kebenaran yang disampaikan oleh korban. Berdiri bersama korban di sini juga tidak berarti menyerang terduga pelaku dan memberikan hukuman sosial. Hukuman sosial yang biasanya diberikan oleh netizen apabila terduga pelaku bukanlah orang yang terkenal biasanya dilakukan dengan membocorkan identitas terduga pelaku, yakni menyebarkan nama dan foto wajah dengan tujuan mempermalukannya secara publik.
Baca juga: Utamakan Kesaksian Korban
Bahkan pada kasus yang belum lama terjadi, ketika ada cuitan berupa pengakuan ke akun base salah satu universitas di mana seorang wanita mengaku mendapatkan tindakan kekerasan seksual dari salah satu mahasiswa yang ada di kampus tersebut, netizen melakukan doxxing yaitu mereka secara kolektif berusaha membeberkan data identitas terduga pelaku. Mulai dari akun media sosialnya, informasi tempat tinggal, hingga jurusan dan nomor mahasiswa terduga pelaku. Meski pada akhirnya terbukti bahwa yang diungkapkan oleh wanita tersebut tidak benar, namun terduga pelaku sudah terlanjur menjadi korban doxxing dan sangat dirugikan.
Demikian pula ketika terduga pelaku adalah pesohor atau orang yang terkenal, netizen menerapkan hukuman sosial berupa cancel culture. Cancel culture adalah tindakan memboikot atau menghilangkan pengaruh orang tersebut baik di media sosial maupun di dunia nyata. Meski bisa memberikan efek jera bagi terduga pelaku, namun cancel culture yang berlebihan bisa berujung social bullying dan justru memberikan efek negatif bagi terduga pelaku atau bahkan lingkungan sekitarnya.
Batasan yang tipis antara memberi hukuman sosial dan social bullying inilah yang perlu kita perhatikan karena pada dasarnya setiap orang harus berpegang pada asas praduga tak bersalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman:
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Mengingat adanya asas praduga tak bersalah tersebut maka sebaiknya sikap netizen ketika ada pengungkapan kasus kekerasan seksual di media sosial adalah tetap berdiri bersama korban, fokus kepada korban dan memberikan dukungan tanpa menyerang terduga pelaku.
Mudahnya mengakses media sosial saat ini mendorong proses produksi, distribusi dan konsumsi konten secara masif sehingga segala hal menjadi perbincangan di dunia maya, termasuk tindakan kekerasan seksual. Dalam menyikapi fenomena ini ada baiknya kita bisa lebih cerdas dan bijak dalam menggunakan media sosial baik itu dalam hal menyampaikan atau pun menerima informasi. Sebelum mengungkap tindakan kekerasan yang dialami oleh korban lewat “spill the tea” alangkah lebih baiknya jika berkonsultasi terlebih dahulu dan mendapatkan pendampingan dari lembaga yang bisa memberikan perlindungan kepada korban, agar tidak menjadi bumerang dan korban menjadi lebih dirugikan.