Hari-Hari yang Lelah dan Puisi Lainnya

Dimas Anggada

1 min read

Lelah

Kereta-kereta bergema
Menyeret-nyeret tenaga

Peluh amblas
Bangku lelah
Waktu pun belum datang

Pagi tak pernah sempurna
Dalam pekik, orang-orang tergesa
Kadang terlambat
Kadang tak pernah sampai

Belum lagi,
Gamang melesap
Pada sela kerangka
Yang mengigil
Yang menusuk
Tanpa henti

24 jam sehari
Rindu tak akan habis
Rindu tak akan menjadi sepi

Tapi mungkin
Keringat pada peron
Akan merindu sampai kering

Setiap Hari

Kemurungan terbit bersama kalimat yang tak terucap, dan itu hadir bersama hal-hal yang belum siap

Para tukang
Dari dahan ke dahan
Senyap dan goyah

Asap motor lelah karena pejalan kaki belum tampak bayangnya dan pekerja tak siap berhadapan dengan kemalangannya dan transportasi tak akan pernah selesai sebelum menemui orang mati di jalan

Rentan menemui hari
Setiap hari

“Apakah uangnya cukup untuk beli minyak, sayang?”

Tubuhku Tubuhmu

Malam mewujud batu
Tubuhku sembunyi
Terkapar dalam tempurung malu

Aku dan kau
Berhadapan dengan televisi
Berhadapan dengan kopi
Berhadapan dengan senyum meringismu
Berhadapan dengan bulir-bulir ketakutanku

Dan pecah

Kepergian memudarkan bekas-bekas sentuhanmu
Bentuk tubuhmu pada kasur menjelma ceruk yang gelap
Hangat

Lalu retak
Menjadi rentan

Malam tetap mewujud batu
Mengeras, membentuk lindur
Yang membentang untuk menghapus
Bekas-bekasmu pada tubuhku

Seterusnya
Selamanya

Now Playing, Don’t Speak

Menyusup ke dalam ruang
Getaran-getaran tak mereda
Alunan beruntai-untai
Saling mendahului
Saling mencerai-berai

You and me
We used to be together, everyday together…

Getaran tak kunjung mereda
Perlahan, luka lama
Menyayat-nyayat hal kecil
lalu berlalu, lalu berlalu
Menjadi tangis dan lebam

Don’t speak
I know just what you’re sayin’…

Ia masih menyanyi
Ia masih meringis
Berdengus getir
Lalu berlalu, lalu berlalu
Menjadi tangis dan lebam

Don’t speak
Don’t speak

Masih belum cukup
Masih belum lupa

Masih Ingat

Ia ingat dirinya masih bersemayam
Dalam remang gemintang kegelapan

Ia sendiri, dan masih menunggu

Ia ingat dirinya belum mengucapkan cinta
Yang sudah mengucur deras
Dalam kubangan duka dan dendam
Mendesir seketika, bergelung pada hampa

Bibirnya masih merah
Penuh geliat dan rasa

Jari jemarinya masih menegang
Karena ia masih ingat tangan kekasihnya
Yang berdarah karena kesedihan

Dan matanya
Masih memandang lanskap hitam pekat
Yang sudah bercampur lumpur, darah, dan kotoran-kotoran liar yang hidup

Ia masih ingat segalanya
Ia masih ingat semuanya
Ia belum malu karenanya

*****

Editor: Moch Aldy MA

Dimas Anggada

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email