Lelah
Kereta-kereta bergema
Menyeret-nyeret tenaga
Peluh amblas
Bangku lelah
Waktu pun belum datang
Pagi tak pernah sempurna
Dalam pekik, orang-orang tergesa
Kadang terlambat
Kadang tak pernah sampai
Belum lagi,
Gamang melesap
Pada sela kerangka
Yang mengigil
Yang menusuk
Tanpa henti
24 jam sehari
Rindu tak akan habis
Rindu tak akan menjadi sepi
Tapi mungkin
Keringat pada peron
Akan merindu sampai kering
–
Setiap Hari
Kemurungan terbit bersama kalimat yang tak terucap, dan itu hadir bersama hal-hal yang belum siap
Para tukang
Dari dahan ke dahan
Senyap dan goyah
Asap motor lelah karena pejalan kaki belum tampak bayangnya dan pekerja tak siap berhadapan dengan kemalangannya dan transportasi tak akan pernah selesai sebelum menemui orang mati di jalan
Rentan menemui hari
Setiap hari
“Apakah uangnya cukup untuk beli minyak, sayang?”
–
Tubuhku Tubuhmu
Malam mewujud batu
Tubuhku sembunyi
Terkapar dalam tempurung malu
Aku dan kau
Berhadapan dengan televisi
Berhadapan dengan kopi
Berhadapan dengan senyum meringismu
Berhadapan dengan bulir-bulir ketakutanku
Dan pecah
Kepergian memudarkan bekas-bekas sentuhanmu
Bentuk tubuhmu pada kasur menjelma ceruk yang gelap
Hangat
Lalu retak
Menjadi rentan
Malam tetap mewujud batu
Mengeras, membentuk lindur
Yang membentang untuk menghapus
Bekas-bekasmu pada tubuhku
Seterusnya
Selamanya
–
Now Playing, Don’t Speak
Menyusup ke dalam ruang
Getaran-getaran tak mereda
Alunan beruntai-untai
Saling mendahului
Saling mencerai-berai
You and me
We used to be together, everyday together…
Getaran tak kunjung mereda
Perlahan, luka lama
Menyayat-nyayat hal kecil
lalu berlalu, lalu berlalu
Menjadi tangis dan lebam
Don’t speak
I know just what you’re sayin’…
Ia masih menyanyi
Ia masih meringis
Berdengus getir
Lalu berlalu, lalu berlalu
Menjadi tangis dan lebam
Don’t speak
Don’t speak
Masih belum cukup
Masih belum lupa
–
Masih Ingat
Ia ingat dirinya masih bersemayam
Dalam remang gemintang kegelapan
Ia sendiri, dan masih menunggu
Ia ingat dirinya belum mengucapkan cinta
Yang sudah mengucur deras
Dalam kubangan duka dan dendam
Mendesir seketika, bergelung pada hampa
Bibirnya masih merah
Penuh geliat dan rasa
Jari jemarinya masih menegang
Karena ia masih ingat tangan kekasihnya
Yang berdarah karena kesedihan
Dan matanya
Masih memandang lanskap hitam pekat
Yang sudah bercampur lumpur, darah, dan kotoran-kotoran liar yang hidup
Ia masih ingat segalanya
Ia masih ingat semuanya
Ia belum malu karenanya
*****
Editor: Moch Aldy MA