Bocah lelaki itu duduk memeluk lutut di hadapan Halimah. Tubuh kurusnya gemetar. Sesekali ia menyeka kedua matanya yang basah dengan lengan baju. Lalu matanya yang merah itu kembali menghunjam wajah Halimah. Seolah di tatapan itu si bocah menyimpan dendam yang amat besar kepada Halimah.
Halimah mendengkus. Matanya nyalang, serupa singa betina yang merasa wilayah kekuasaannya diusik. Halimah tak pernah menghendaki keberadaan bocah lelaki itu. Baginya, bocah lelaki itu hanya membuat luka di hatinya semakin menganga dan membusuk.
Mulanya, Halimah tak pernah menyangka jika pertemuannya dengan Arya—lelaki yang membuatnya jatuh hati—akan membuat hidupnya penuh luka pada akhirnya. Mereka jatuh cinta pada perkenalan pertama. Meski Halimah bilang tidak pernah ada diksi “pacaran” dalam kamus hidupnya, Arya sama sekali tak keberatan. Maka tak butuh waktu lama. Tiga bulan saja dan mereka sepakat untuk hidup bersama.
Seperti kebanyakan anak perawan, Halimah pun bermimpi memiliki rumah tangga yang sempurna. Hidup bahagia bersama suami yang amat mencintainya, hadirnya anak-anak menggemaskan yang membuat kehidupan rumah tangga mereka semakin berwarna. Sampai hanya maut yang sanggup memisahkan mereka. Dan, saat itu, Halimah begitu yakin Arya bisa mewujudkan semua itu.
Namun, ternyata semua tak seindah yang diimpikan Halimah. Tiga belas jam setelah akad nikah dilangsungkan, sesuatu yang tak pernah Halimah bayangkan sebelumnya terjadi begitu saja. Di malam yang bingar, ketika jari-jemari Arya perlahan mulai menyentuh tubuhnya, detak jantung Halimah tiba-tiba saja menggila. Keringat mendesak keluar dari seluruh pori-porinya. Napasnya memburu. Refleks ia menangkis tangan Arya agar menjauh dari tubuhnya.
Sesaat saja lelaki berdada bidang itu merasa terkejut. Sedetik kemudian senyum kembali mengembang di sudut bibirnya. Reaksi yang dilakukan Halimah justru tampak begitu menggemaskan bagi Arya.
Halimah memunggungi suaminya dengan napas terengah-engah. Ia menatap dinding di hadapannya yang berbalut dekorasi merah muda, warna kesukaannya. Hiasan bunga hidup pun masih menempel di situ, memberi aroma yang harusnya membuat malam itu semakin syahdu.
Nyatanya, Halimah tak bisa mengendalikan rasa takut yang tiba-tiba menggelembung itu. Hawa dingin terus menyerang, membuat tubuhnya mengigil. Sementara itu, Arya sudah hilang kesabaran. Bagaimana bisa ia menahan diri lebih lama lagi, jika di dekatnya ada seorang gadis cantik berpanggul indah yang halal untuk dimiliki.
Malam itu, Arya memaksa Halimah menunaikan kewajiban pertamanya. Tak peduli jika saat itu Halimah menggigil ketakutan seperti hendak dilemparkan dari puncak gedung pencakar langit. Selesai itu, Halimah tersedu-sedu dengan peluh membasuh sekujur tubuh. Cairan kental mengalir di sela kedua pahanya.
Halimah terbangun dengan rintihan kesakitan. Ia merasa sekujur tubuhnya remuk. Bagian bawah perutnya terus berdenyut-denyut. Perih. Begitu luar biasa nyerinya.
“Lama-lama kau juga pasti akan terbiasa,” hibur Arya, saat Halimah mengeluh.
Arya masih saja menganggap semua itu sebuah kewajaran. Bahkan ia merasa bangga, mendapati wanita yang dinikahinya masih perawan. Jika bagi Arya malam itu menjadi malam paling membahagiakan, tapi Halimah sebaliknya. Untuknya, malam itu menjadi mimpi buruk yang tak pernah bisa ia lupakan.
“Laki-laki anjing!” teriak Halimah. Suaranya merobek keheningan malam.
Tanpa tedeng aling-aling, ia melempar gelas yang digenggamnya hingga mengenai kepala bocah lelaki lima tahun itu. Seketika cairan merah pekat merembes. Bocah lelaki itu meraung-raung tak keruan. Gelas belimbing itu pun terburai di lantai menjadi empat pecahan besar dan banyak pecahan kecil. Barangkali, seperti itulah hati si bocah lelaki sekarang. Begitu hancur. Begitu lebur.
“Astagfirullah!” pekik seorang wanita paruh baya yang tiba-tiba menyeruak dari luar kamar. Tanpa sedikit pun menoleh kepada Halimah, dengan cepat digendongnya si bocah lelaki keluar.
Halimah semakin geram. Gegas ia beranjak dari ranjang, hendak mengejar wanita paruh baya dan bocah lelaki itu. Namun, pintu kamarnya keburu tertutup dan dikunci dari luar. Halimah tak tinggal diam. Diterjang-terjangnya pintu itu sekuat tenaga. Nihil. Pintu itu masih saja bergeming.
Halimah kembali mengumpat kasar. Napasnya terengah-engah. Dadanya naik turun dengan cepat. Matanya merah membara seolah hendak membakar apa pun yang ada didekatnya. Dengan kasar, ia meraih guling tanpa sarung yang tergeletak di atas tempat tidurnya. Lalu menghantam-hantamkannya ke lantai seperti seorang petani yang sekuat tenaga menggebuk-gebukkan batang padi agar bulir-bulirnya terlepas. Tak butuh waktu lama, jahitan di ujung guling kapuk itu pun koyak dan berlubang. Bertebaranlah isinya keluar, terus menerus hingga menyisakan cangkangnya saja.
Tidak sampai di situ. Seolah belum puas, Halimah menginjak-injak cangkang guling itu tanpa ampun. Dalam penglihatannya, itu bukan sebuah guling tanpa daya, tapi tubuh lelaki yang amat dibencinya.
“Dosa besar jika seorang istri menolak melayani suaminya!” kalimat itu diucapkan Arya serupa mantra setiap kali Halimah menunjukkan keberatannya.
Cinta buta membuat Halimah membenarkan apa pun yang keluar dari mulut suaminya. Meski nyatanya, semakin lama rasa nyeri itu bukannya berkurang apalagi menghilang, tapi malah semakin tak tertahankan. Bagaimana tidak? Setiap kali Arya meminta haknya di atas tempat tidur, Halimah selalu disergap kengerian tanpa ujung. Tanpa sadar itu membuat otot-otot di panggulnya mengencang. Sela di kedua pahanya pun mengatup rapat, dan Arya selalu mendobraknya dengan kasar. Lelaki itu tak pernah mau mengerti, apalagi mencoba untuk peduli. Yang mengendap di dalam tempurung kepalanya hanyalah bagaimana hasratnya bisa selalu terpenuhi.
Ah, Halimah tentu masih mengingat semua itu. Saat di mana dirinya harus berjuang menghadapi malam-malam yang mengerikan, dalam biduk rumah tangga yang sama sekali tak pernah ia impikan.
Sungguh Halimah amat membenci postulat universal yang mengatakan bahwa: hubungan suami istri itu adalah surganya dunia. Baginya, semua yang dilakukan Arya di atas ranjang serupa penyiksaan dalam neraka.
Akan tetapi, keinginan Arya adalah sabda raja yang tak boleh dibantah. Entah mendapat bisikan dari mana, Halimah menebak jika suaminya itu bukan seorang pria yang bisa berlama-lama membendung hasrat seksualnya. Lantas Halimah pikir, jika ia tidak sanggup memenuhi semua itu, ke mana suaminya itu akan pergi? Oh, sungguh itu mimpi paling buruk yang membayangkannya saja Halimah bergidik ngeri.
“Aku telat dua minggu,” kata Halimah di suatu malam yang basah. Air hujan yang tertiup angin menampar-nampar jendela kontrakan mereka. Halimah tak berani menatap wajah suaminya. Dilemparkannya pandangan ke sekeliling kamar dua belas meter persegi yang sudah enam bulan mereka tempati itu.
“Kamu serius?” Arya menatap mata istrinya lekat-lekat.
Yang ditanya hanya mengedikkan bahu. “Besok, kita pergi ke dokter.” Mata bulat Halimah balas menatap suaminya. Arya hanya mengangguk dengan mimik wajah yang sulit diartikan.
Halimah dirundung gelisah. Sampai akhirnya hasil pemeriksaan dokter mengatakan ia berbadan dua. Bunga-bunga kebahagiaan menyelimuti jiwa Halimah. Tidak hanya karena mengetahui di dalam rahimnya akan tumbuh benih cinta dari lelaki yang amat disayanginya, tapi juga ia melihat sedikit celah kelegaan saat itu. Halimah berharap kehamilannya itu akan membuat Arya sejenak berhenti menuntut hak batinnya.
Namun, ternyata Halimah keliru. Amat keliru. Arya tetap melakukan semuanya. Bahkan lebih sering dari biasanya. Barangkali hati lelaki itu telah membatu. Ia menjelma menjadi si raja tega yang tak terusik meski melihat istrinya merintih-rintih menahan sakit.
Setiap kali Arya menuntut haknya di atas tempat tidur, sakit yang dirasakan Halimah dua kali lipat dari sebelumnya. Sakit luar biasa di selangkangan, juga kecemasan yang tak terkira membayangkan keselamatan jabang bayi yang berada dalam perutnya.
Sementara itu, ia tetap hanya bisa membungkam. Mulutnya terkunci rapat-rapat. Ia pasrah dengan kehendak Arya, tanpa sedikit pun berani bersuara. Lagi-lagi bayangan kehilangan Arya lebih menyeramkan baginya.
Saat usia kehamilannya menginjak akhir trisemester kedua, Halimah terbangun dari tidur dengan kecemasan yang tak terkira. Ia mengalami pendarahan cukup hebat. Darah merembes hingga membuat noda merah di seprei putihnya. Segera ia meminta Arya mengantarnya ke rumah sakit.
Berhari-hari Halimah menjalani perawatan di rumah sakit, dan hasil observasi dokter menyimpulkan ia mengalami plasenta previa, kondisi ketika plasenta atau ari-ari berada di bagian bawah rahim, sehingga menutupi sebagian atau seluruh jalan lahir.
“Pokoknya, Bu Halimah harus bed rest total. Sama sekali tidak boleh beranjak dari tempat tidur bahkan untuk ke kamar mandi sekalipun!” Dokter kandungan yang menangani Halimah mengultimatum.
Halimah dan Arya saling pandang, sebagai isyarat sama-sama dirundung kebingungan. Mata Arya terpejam cukup lama. Ia tak sanggup membayangkan kerepotan yang harus dihadapinya. Dan, Halimah pun memikirkan hal yang sama. Ia tak mau menjadi beban bagi suaminya.
“Demi kebaikan bersama,” kata ibu Halimah yang saat itu baru tiba, setelah dikabari Arya tentang keadaan anaknya. “Sebaiknya Halimah tinggal di rumah Ibu, sampai nanti melahirkan dan benar-benar pulih. Nak Arya fokus saja bekerja, biar Ibu yang merawat Halimah,” lanjut wanita paruh baya itu kemudian.
Halimah baru saja hendak menolak dengan halus usul sang ibu ketika tiba-tiba Arya berkata, “Saya setuju, Bu,” selorohnya dengan nada penuh keyakinan. “Khawatir kalau Halimah harus tinggal sendirian di kontrakan sementara saya bekerja.”
Kesepakatan sudah diambil. Sepenuh hati sang ibu merawat Halimah yang kepayahan hamil besar dengan keadaan buang air kecil dan besar di tempat tidur. Pendarahan yang dialaminya sangat akut, sedikit saja ia bergerak bisa dipastikan cairan merah akan merembes keluar di sela kedua pahanya.
Awalnya, seminggu sekali Arya datang menjenguk. Lambat laun hanya sebulan sekali. Lalu semakin lama hanya basa-basi menanyakan kabar istrinya lewat telepon. Kesibukan pekerjaan menjadi alasannya.
Tiba di usia kandungan empat puluh minggu, Halimah mengalami kontraksi hebat. Tidak ada pilihan, dokter mengatakan bayinya harus dilahirkan hari itu juga secara sesar. Mendadak Arya susah dihubungi. Ibunya Halimah sampai menyuruh orang untuk menyampaikan kabar itu kepada menantunya. Namun, orang yang disuruh bilang, kalau Arya tidak ada di kantor, juga di kontrakan.
Tak ada waktu lagi. Dengan perasaan kalut, Halimah pun melahirkan tanpa didampingi suaminya. Setelah harus berjuang di antara hidup dan mati seorang diri, akhirnya seorang bayi lelaki pun lahir dengan selamat. Kehadiran bayi itu membuat Halimah bahagia, meski hanya sejenak. Sebab sampai tiga hari pasca persalinan, Arya masih belum bisa dihubungi. Lelaki itu lenyap bak ditelan bumi. Halimah yang kondisinya mulai stabil mencoba mencari tahu dengan menghubungi beberapa teman Arya yang ia kenal. Nihil. Tidak satu pun dari mereka yang tahu. Bahkan teman kantor Arya mengatakan kalau hampir sepuluh hari lelaki itu mangkir kerja.
Kondisi Halimah kembali memburuk. Menghilangnya Arya di saat ia amat membutuhkannya sungguh membuat jiwa wanita malang itu semakin terguncang. Yang dilakukannya hanyalah menangis sepanjang hari. Jangankan menunaikan tugasnya untuk menyusui, mendengar tangis bayinya pun ia tak sudi. Tidak hanya itu. Halimah menolak apa pun masuk ke dalam mulutnya. Berkali-kali ia harus tak sadarkan diri.
Di saat guncangan hebat di jiwa Halimah masih bergejolak, tiba-tiba saja angin berembus mengirim kabar tepat ke gendang telinganya. Kabar yang membuat Halimah ingin mengakhiri hidupnya detik itu juga.
“Benarkah itu?” tanya ibunya Halimah kepada orang di seberang sambungan telepon sana dengan suara bergetar.
“Benar, Bu!” jawabnya. “Nanti akan ada keluarga saya yang datang untuk mengurus semua proses perceraiannya.” Kalimat itu disampaikan Arya, seperti orang yang ingin mengembalikan keping DVD yang ia pinjam ke pemilik rental. Begitu ringan, seolah tanpa beban.
Maka, semenjak saat itu, beban sebesar gunung berpindah ke pundak ibunya Halimah. Wanita dengan rambut yang seluruhnya telah memutih itu harus menjadi kepala, kaki, juga tangan bagi Halimah yang malang. Dengan ketabahan seluas samudera, ia mengurus Halimah dan bocah lelakinya yang tak kalah malang. Bocah lelaki yang dalam penglihatan Halimah merupakan perwujudan dari Arya, lelaki yang amat dibencinya. (*)
Teni Ganjar Badruzzaman: Lahir di Ciamis, 1988. Ibu rumah tangga yang gemar menulis dan membaca cerita. Cerpen dan cerita anaknya dimuat di beberapa antologi bersama dan media massa.
No Hp : 085559650073/ 082261302986
Facebook : Teni Ganjar Badruzzaman
Instagram : @teniganjarbadruzzaman