Punah di Tanah Sendiri
/1/
dahulu, aku hanya keping ingatan
segala yang ada dalam diriku,
mulanya tak pernah ada
lalu, aku menjelma api
di tanah sendiri
/2/
aku tersenyum ganjil
pandang matahari
genap tenggelam
di antara kumandang azan
nikmati bau kemiskinan, dan
melewati berkali samsara
bergantung pada bumi
/3/
tak ada makhluk yang
lebih gila dari manusia
yang makin hari, semakin-makin
/4/
kehidupan, masih
begitu-begitu saja
sampai mati, sampai
bangun di pagi hari
dan tidur, dan bangun
: mungkin sampai punah
manusia limbung, sonder arah
–
Hampir Padam
jalanan berdebu
usang tiada apa-apa, di benak
tak ada harapan, begitu dengan
masa depan yang nyaris tak ada
tapak kaki itu menghilang
tanpa meninggalkan jejak
atau pertanda
hanya kami yang menerka
harus ke mana?
kiri atau kanan?
maju atau mundur?
begitu rumit manusia
berpikir kata orang
tak leluasa memilih jalannya
di gubuk reyot, terlihat lilin
hampir padam sedikit, tetapi
cukup memberi penerangan
bagi jiwa-jiwa sekarat yang
takut pada gelap malam
sebagian dari kami
menatap wajah-wajah asing
wajah-wajah baru yang tak
pernah kami temui sama sekali
kami terus mencari sesuatu
yang pernah hilang
terburu-buru
tergesa-gesa
takut nyala itu padam sia-sia
namun nihil,
tak ada
sesuatu itu tak ada
kami menangis
meraung-raung
seolah telah saksikan
kematian iman.
–
Ketika Pagi Datang Lagi
malu-malu aku menatap kupu-kupu
warna kuning belang hitam, sore itu
di jendela kamar
kutersipu membaca novel fiksi
pangeran tampan bergigi gingsul
kubayang, kuicip senyum manisnya
seperti gula jawa
lagi, lagi, aku baca halaman yang sama
halaman paling kesukaan
letaknya mendekati akhir
aku hafal persis halaman berapa
kutatap lagi, kubaca lagi
tersenyum-senyum lagi
kata-kata dalam buku buatku gila
jantung tak aman, pikiran hilang akal
ini seperti terbang dilangitkan imajinasi
gila … gila …
aku terbangun dari tidur panjang
memeluk novel yang sama
kukecup dan kupeluk mesra
jika kebahagiaan
ada bagai dongeng lama
cukup sudah
jam bilang pagi hampir datang
sudah,
sampai di sini saja cari pelarian
ketika pagi menjelang
pahit, kecut, asam hidup dimulai
ah sungguh sialan jam itu, sialan.
–
Puisi untuk Ayahku
kini … sosoknya telah tiada
tinggalkan pelik kehidupan
sesungguhnya, andai …
atau barangkali bisa, aku
ingin pinjam kompasnya
bagaimana ia punya
warna berbeda
pola pikir yang tak sama
perspektif yang unik
mengapa ia begini, ia begitu
ia tak pernah bicarakan perpisahan
di sepanjang hidup
barangkali ia takut menangis
maka, aku tak pernah belajar
hal semacam itu darinya
kehilangan begitu menyayat
dan sangat menyakitkan
sampai jumpa di keabadian,
sampai bertemu kembali
untuk
seseorang yang selalu
aku kagumi kebaikannya
—Ayahku.
–
Jiwa yang Terkungkung
jejak kakiku masih pada darani
o sedang apa aku di sini?
bersemayam dalam ruang hampa
bara digerus jadi jelaga, jadi tak bersisa
memang semakin terang seseorang
makin gelap pula bayangannya
jiwaku terbelenggu mantra
orang bilang, aku sudah gila
bukankah gila dan cinta
memang tak bisa dipisahkan?
: kau tak sudi kembali
meski aku jadi pesakitan
(Serang, 2022)
*****
Editor: Moch Aldy MA