Jujur, pernah tidak, sih, kalian heran, tujuan ada guru BK itu apa, sih, sebenarnya? Khususnya kalian yang merupakan siswa spesial ketika sekolah, pernah tidak, sih, kalian merasa bahwa guru BK kerjaannya cuma menghukum para siswa yang spesial ini? Kalau bukan, ya, mencatat tingkah-tingkah kebablasan siswa, kemudian memasukkannya sebagai catatan merah di rapor.
Sebagai siswa yang dulu pernah spesial itu, saya merasakan beberapa keganjilan pada guru BK. Masa iya guru BK tupoksinya cuma baku hantam dengan siswanya? Terus, apa bedanya guru BK dengan sipir penjara? Apakah kita masuk sekolah itu sama dengan masuk penjara?
Baca juga:
Ketika SMA, saya yang punya pencapaian alpha sebanyak dua pekan dalam satu semester merasa seolah-olah guru BK hanyalah algojo yang menghantui saya. Nama saya sudah menjadi tidak asing dalam buku catatan BK. Meskipun saya bukan yang terspesial, tapi tetap saja saya diperlakukan ibarat tahanan yang pernah melakukan pelanggaran besar kemanusiaan. Dijemur di lapangan, disuruh lari lapangan, berdiri berjam-jam, dijewer, dan lain sebagainya. Begini amat sekolah, ya?
Mengapa guru BK melakukan hal ini pada saya? Padahal, dalam Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014 tidak mengatur fungsi guru BK sebagai seorang algojo yang boleh seenaknya menghukum siswa dengan dalih perbaikan karakter. Tidak ada tupoksi guru BK sebagai sipir yang kejam.
Setidaknya, di peraturan tersebut, ada sepuluh fungsi guru BK yang menurut saya bertolak belakang dengan apa yang terjadi di lapangan. Mulai dari membimbing siswa agar punya pemahaman diri dan lingkungan, menjadi fasilitator, membantu penyesuaian siswa, penyaluran bakat, minat, dan karir, pencegahan masalah, perbaikan dan penyembuhan, pemeliharaan siswa, pengembangan potensi, advokasi, hingga membangun adaptasi. Intinya, guru BK bertugas membantu siswa menjadi lebih baik dengan cara-cara yang tidak brutal.
Baca juga:
Selain memiliki prestasi ketidakhadiran yang lumayan banyak, saya dulu juga siswa yang paling sering datang terlambat. Jam delapan baru berangkat, bahkan jam istirahat baru masuk kelas. Salah satu hukuman yang paling saya ingat diskors tidak boleh mengikuti pelajaran sampai pulang sekolah. Saya disuruh berdiam diri di ruang BK.
Saya pikir, kok, saya seolah dipenjara, ya? Apa iya ruang BK itu fungsinya menjadi penjara ala sekolah? Mana dulu ruang BK di sekolah saya di pojokan lagi, jauh dari keramaian, persis ruang hantu yang menakutkan. Belum lagi, pintunya terbuat dari kaca yang bisa kelihatan dari luar. Jadi, seolah-olah saya adalah barang tontonan, penampil sirkus anak spesial.
Seharusnya, kan, ruang BK itu difungsikan untuk ruang curhat, ya. Untuk mengobrol dari orang ke orang, hati ke hati, pikiran ke pikiran—untuk mendengar berbagai masalah yang dialami oleh para siswa yang menyebabkan mereka bertindak spesial. Ruang BK mestinya menjadi ruang konseling berbagai pikiran untuk kebaikan sekolah.
Namun, nyatanya boro-boro jadi ruang konseling, saya menjelaskan kenapa saya telat saja dianggap kebanyakan alasan, suka ngeles, dan lain sebagainya. Padahal, saya telat juga karena di pesantren pengajian paginya kelewatan batas waktunya. Mau mengingatkan pengampu ngajinya juga tidak enak, lah wong yang ngajar kyai langsung.
Latar Pendidikan Guru BK
Saya agaknya baru kepikiran mengapa guru BK dulu itu tidak kompeten sama sekali menjadi guru BK. Salah satu faktor penyebabnya adalah latar belakang pendidikannya yang tidak relevan dengan jobdesc guru BK. Latar belakang guru BK saya Pendidikan Agama. Jadi, ia tidak begitu tahu bagaimana cara menangani siswa-siswa spesial selain dengan cara klasik, yakni menghukum mereka.
Jika menengok lagi Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014, guru BK itu minimal punya kualifikasi pendidikan S1 Bimbingan Konseling. Dengan begitu, mereka akan lebih kompeten dan sesuai harapan dalam menjalani pekerjaannya. Sayangnya, alumni jurusan ini tidak sebanyak alumni jurusan Ekonomi yang bisa ditemui di banyak tempat. Jadi, agak sulit rasanya kualifikasi pendidikan yang harus S1 Bimbingan Konseling untuk mengisi kebutuhan guru BK di sekolah-sekolah.
Saran saja, kalau bukan Bimbingan Konseling, kualifikasi S1 Psikologi atau S1 Sosiologi pun mungkin cukup berkompeten untuk menjadi guru BK. Sebab, dua jurusan ini membahas cara-cara memahami individu, mengatasi masalah-masalah anak, dan bagaimana mengembangkan kualitas SDM. Jadi, lumayanlah, agak bersinggungan dengan pekerjaan guru BK yang sesuai aturan.
Beban Kerja Awur-awuran
Kebanyakan sekolah hanya punya satu guru BK, bahkan ada yang tidak punya guru BK sehingga posisi itu diisi oleh guru lain yang terpaksa rangkap jabatan. Jadi, meskipun siswa di sekolah itu mencapai tiga ratus, enam ratus, bahkan ribuan, guru BK-nya itu hanya satu.
Beban kerja berlebih inilah yang menjadikan guru BK kita tidak maksimal dalam bekerja. Jadi percuma, kalaupun kualifikasi pendidikannya sudah kompeten dan punya pengalaman, tapi disuruh merangkul siswa yang jumlahnya di luar kapasitas seorang guru BK. Akhirnya, program-program guru BK banyak tidak terlaksana dan melakukan hukuman pada siswa yang dianggap lebih mudah dilakukan jadi jalan pintasnya. Ingat, guru BK juga manusia, bukan robot yang bisa kerja tanpa batas.
Lagi-lagi, saya mengacu pada Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014. Di situ, ada penjelasan bahwa guru BK maksimal mengurusi seratus lima puluh siswa. Jadi, perbandingannya 1:150, satu guru BK mengurusi seratus lima puluh siswa. Jika siswa di sekolah tersebut mencapai angka tiga ratus orang, minimal sekolah itu harus punya dua guru BK. Jadi, beban kerja guru BK tidak awur-awuran dan bisa mendengarkan suara para siswa.
Mulai hari ini, mari kita galakkan reformasi bimbingan konseling secara masif. Sekali lagi, guru BK bukan algojo yang tupoksinya menyiksa para pelaku kejahatan. Guru BK bukanlah sipir yang boleh bertindak kejam. Guru BK seharusnya menjadi pendengar yang baik dan pemberi solusi atas berbagai masalah yang dialami para siswanya.
Editor: Emma Amelia