Green Book: Segregasi Ras dan Interseksionalitas

Lili Sari

3 min read

Green Book (2018) adalah film bergenre drama komedi besutan sutradara Peter Farrelly. Berlatar Amerika di tahun 1960-an, film ini terinspirasi dari kisah nyata perjalanan tur musik seorang pianis queer keturunan Afrika-Amerika bernama Don Shirley. Bersama grupnya, The Don Shirley Trio, ia direncanakan tampil dalam serangkaian konser di bagian Selatan Amerika (the Deep South). Saat itu, wilayah tersebut didominasi oleh warga kulit putih serta identik dengan sejarah kelam rasisme.

Dalam perjalanannya, Don Shirley yang biasa dipanggil Dr. Shirley ditemani oleh seorang supir bernama Tony ‘Lip’ Vallelonga yang sebelumnya bekerja sebagai bouncer di sebuah klub malam di kota New York. Tony ‘Lip’ Vallelonga merupakan pria kulit putih keturunan Italia yang sengaja direkrut Don Shirley untuk menemaninya sekaligus memastikan agar setiap konser yang direncanakan berjalan baik. Perbedaan latar belakang kelas sosial dan ras di antara keduanya menciptakan konflik menarik sepanjang perjalanan.

Green Book sebagai judul film sendiri diambil dari The Negro Travelers’ Green Book (1936- 1967) atau The Negro Motorist Green-Book (1940), yaitu buku panduan perjalanan bagi warga kulit hitam Amerika pada masa segregasi ras. Buku ini berisikan kompilasi daftar restoran, salon kecantikan, motel, bar, klub malam, toko obat, toko bahan makanan, pom bensin, dan bisnis-bisnis lain yang bersedia melayani pelanggan dari kalangan ras kulit hitam.

Buku ini menjadi penting di masa itu mengingat segregasi dan diskriminasi ras sangat nyata di seluruh bagian di Amerika. Kondisi ini hadir sebagai akibat dari Jim Crow Laws yang memberikan doktrin “separate but equal”—bahwa segregasi ras adalah sesuatu yang konstitusional selama fasilitas yang ada disediakan merata bagi warga kulit hitam maupun kulit putih. Sehingga, warga kulit hitam yang berperjalanan di masa itu tidak bisa dengan mudah mengakses kebutuhan mereka karena tidak semua pelaku usaha mau melayani warga kulit hitam. Seperti digambarkan di film, saat Don Shirley dan Tony ‘Lip’ Vallelonga tiba di Louisville, Kentucky, mereka menginap di penginapan yang berbeda karena Don Shirley harus menginap di motel yang diperuntukkan khusus bagi warga kulit hitam.

Terlepas dari berbagai kontroversi yang menyertainya, Green Book bisa menjadi pintu masuk untuk memahami isu rasisme di Amerika Serikat. Dialog yang terjadi di antara Tony ‘Lip’ Vallelonga dan Don Shirley di sepanjang tur musik mereka bisa menjadi gambaran bagaimana bias dan stereotip ras telah termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk bagaimana Tony ‘Lip’ Vallelonga merasa heran melihat Don Shirley yang berkulit hitam tidak pernah makan ayam goreng Kentucky. Padahal, menurutnya, ayam goreng Kentucky identik sebagai makanan warga kulit hitam.

Selain isu rasisme, ada satu konsep penting yang jarang sekali diangkat ketika membicarakan film Green Book, yaitu interseksionalitas. Interseksionalitas adalah sebuah kerangka berpikir yang digunakan untuk memahami bagaimana interseksi atau irisan berbagai identitas seseorang mampu menciptakan bentuk-bentuk diskriminasi dan privilese yang berbeda (Crenshaw, 1989). Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Kimberlé Crenshaw (1989) ketika ia mencoba menjelaskan bagaimana perempuan kulit hitam dan kulit putih memiliki tingkat kerentanan yang berbeda. Bahwa, meskipun sama-sama bergender perempuan, perempuan kulit hitam cenderung memiliki pengalaman diskriminasi berganda.

Dalam salah satu adegan di film Green Book, Tony ‘Lip’ Vallelonga beradu argumen dengan Don Shirley tentang siapa yang ‘lebih hitam’ di antara mereka berdua. Kejadian itu berawal ketika Tony ‘Lip’ Vallelonga terlibat adu jotos dengan seseorang karena ia merasa terhina dengan perkataan orang tersebut.

Menurut Don Shirley, Tony tidak seharusnya memukul orang tersebut karena ia yang berkulit hitam sering menerima penghinaan seperti itu tetapi ia mampu menahan diri. Tony tidak terima dengan perkataan Don Shirley yang seolah mengatakan bahwa kemarahannya tidak valid hanya karena ia bukan bagian dari ras kulit hitam. Dari sana, mereka mulai membandingkan siapa lebih menderita dari siapa. Tony merasa, meski dirinya bukan kulit hitam, keterbatasan ekonomi membuat hidupnya lebih sengsara daripada Don Shirley yang berkulit hitam tapi kaya raya dan bergelar doktor. Maka, bagi Tony, dirinya lebih merepresentasikan penderitaan warga kulit hitam dibandingkan Don Shirley.

Pada satu titik dalam perdebatan mereka, Don Shirley berkata, “… rich white folks let me play piano for them, because it makes them feel cultured. But when I walk off that stage, I go right back to being another nigger to them—because that is their true culture. And I suffer that slight alone, because I’m not accepted by my own people, because I’m not like them either! So, if I’m not black enough, and I’m not white enough, and I’m not man enough, what am I?!

Walaupun kerangka interseksionalitas lebih sering digunakan untuk menganalisis kerentanan perempuan, dalam film Green Book, perspektif ini bisa digunakan untuk memahami kompleksitas identitas Don Shirley dan Tony ‘Lip’ Vallelonga.

Don Shirley yang merupakan seorang pianis musik klasik kaya raya mendapatkan penghormatan dari banyak orang atas kejeniusan bermusiknya. Namun, kekayaannya, gelar akademiknya, maupun kejeniusan bermusiknya yang beririsan dengan identitasnya sebagai warga kulit hitam dan seorang queer membuatnya harus mengalami beragam diskriminasi ras dan diskriminasi gender.

Di sisi lain, identitas Tony ‘Lip’ Vallelonga sebagai seorang kulit putih menjadi privilese yang menghindarkannya dari diskriminasi ras. Namun, identitas kulit putih yang beririsan dengan kelas ekonomi yang pas-pasan membuatnya harus bersusah payah menjalani pekerjaan apapun demi menghidupi keluarganya, termasuk menjadi supir bagi Don Shirley.

Tentu, perspektif interseksionalitas tidak hadir untuk menjawab perdebatan Don Shirley dan Tony ‘Lip’ Vallelonga tentang siapa yang paling menderita. Kerangka analisis ini justru membantu untuk memahami bahwa Don Shirley dan Tony ‘Lip’ Vallelonga tidak hidup dalam identitas tunggal. Mereka berdua dan tentunya kita semua hidup dengan lebih dari satu identitas yang beririsan satu sama lain. Superioritas identitas kulit putih yang melekat pada Tony ‘Lip’ Vallelonga tidak lantas membuatnya hidup tanpa kerentanan. Pun bagi Don Shirley, kelas ekonominya yang menengah ke atas ternyata tidak membuatnya imun dari diskriminasi.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Lili Sari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email