Geripis pada Beludru dan Puisi Lainnya

Dimas Anggada

1 min read

Jarak adalah Kita

Dirimu dan diriku adalah hal-hal yang luput, berjarak, dan menyedihkan

Rambut itu belum kering,
lalu juga matamu;
dan dalam rayuan, kita diam-diam masih tersembunyi

Dirimu dan diriku adalah hal-hal yang luput, namun terjebak, dan masih berputar pada pusaran yang terkunci

Kuingat kau, dengan eyeliner yang kotor dalam goresan muak tergesa-gesa—sesuatu mudah memberikan keindahan, namun sebentar

Aku belum lagi raib,
pada sesuatu yang gaib,
dan masih galib.

Terdapat sisa liptint di bawah bibirmu
tebal, sebentar lagi hilang.
Juga terdapat bunyi, sebuah notifikasi
yang meniadakan kita sebentar, tak lama

Dan memang kita belum ranum.

Geripis

Pada kerutan lelah
kutemukan kemurungan
mengalir di dalam urat-urat
yang tak lagi menegang

Memudar, melebur
pada diriku, di dalam diriku
tenggelam, dan hancur

Segalanya sulit

Pelan-pelan,
gejolak-gejolak meredup
mengiris setangkai demi setangkai
perca ingatan yang belum cukup

Gelap, pada kegelapan
mencetus bintang-bintang
menggoreskannya pada balur

Segalanya masih sulit

Bersemayam hampa layang
bergelayangan menghampar
bergegas-gegas membentang
hingga terbang-bebas terkapar

Tak berujung
menipis
menipis
membentuk kain geripis.

Beludru Merah Berdarah

Tersingkap beludru merah
pada renda yang berdarah
lengking tenggorokan lelah
untuk pertama kali,
kesenyapan hilang bermadah

Kuusap tubuhmu,
dalam aliran ganas laut-laut dingin

Cinta timbul pada lengkungan jauh dan pada lanskap yang padam, buru-memburu sebelum tenggelam. Kian dalam, berlari-lari, membelah garis yang tak terjangkau, mencapai-gapai kehilangan, dan pada akhirnya, menyileti diri bersama narkose putih yang hampir habis.

Dari rumah ke rumah, kamar ke kamar, cermin tak siap memantulkan kenangan yang buram. Waktu pada jam, berdetik-detik gerah, membaluti tubuh goyah dan cerita yang patah.

Kuusap tubuhmu,
dalam aliran ganas badai-badai panas
dan ciuman yang tak lekas.

Setelah Membaca Perburuan

Untuk Pramoedya Ananta Toer

Terdapat kisah tentang cinta yang bersemi di ladang kemelut. Pada masa di ujung Nippon merana, pada masa negeri yang tak berbahagia, seorang guru mengajar di antara hiruk-pikuk desau samurai dan desing keberingasan. Ia mengajar soal ilmu perang pada anak-anak yang belum berdosa. Shodanco menggapai niscaya pada pucuk dentuman. Kelokan sungai adalah arah menuju ketakutan untuk menggapai nestapa. Sendu, bergelut menawan harapan. Kepada kaki yang lelah, ia mengejar cinta yang sia-sia. Tak ada yang lain selain kangen; dan kepada rambut, mata, tangan, serta pori-pori yang berkeringat, sebuah gelegar cinta hanya lewat tak terasa. Rindu menghantam derita tak berkesudahan. Rintik hujan sudah muram pada radio dan koran. Cerita dan kebahagiaan layu pada huru-hara pelarian. Ketika hari belum hanyut, jalan-jalan terbelah oleh bacin dan sangit. Sepeda-sepeda menggeram dalam kayuhan ketakutan. Ia ingat kaki yang berlari-lari, ia ingat pada derum penuh dehidrasi. Cinta menjauh menuju lautan tak bertepi, dan lecet lima senti pada tangan berdenyut seakan mati. Perburuan mengabarkan luka serta derita; perburuan, dalam senyap dan gulita, menikam guru yang mengajar soal pertempuran. Cinta menjadi sunyi dalam ingatan yang malang, hingga peluru dan katana menunggu jawaban dalam pekat.

Termakan Api Lidahmu Kini

Termakan api lidahmu kini
karena bicara tak lagi bebas

Sayup-sayup suara beku
menyaru dan menyemai
mimpi-mimpi yang kebas

Gerendel pada logam mengeras
memudur, melingkar, menyelimuti

Hal-hal yang tiada makin menjulur
merupa bisikan yang kini sekadar angin
melewati perut yang bulur
dan menyentuh tangan yang dingin

Nisan makin menghitam
mengubur mulut-mulut kelu

Tubuh tersungkur
hingga buyar
dalam tanah-tanah gembur

*****

Editor: Moch Aldy MA

Dimas Anggada

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email