Jarak adalah Kita
Dirimu dan diriku adalah hal-hal yang luput, berjarak, dan menyedihkan
Rambut itu belum kering,
lalu juga matamu;
dan dalam rayuan, kita diam-diam masih tersembunyi
Dirimu dan diriku adalah hal-hal yang luput, namun terjebak, dan masih berputar pada pusaran yang terkunci
Kuingat kau, dengan eyeliner yang kotor dalam goresan muak tergesa-gesa—sesuatu mudah memberikan keindahan, namun sebentar
Aku belum lagi raib,
pada sesuatu yang gaib,
dan masih galib.
Terdapat sisa liptint di bawah bibirmu
tebal, sebentar lagi hilang.
Juga terdapat bunyi, sebuah notifikasi
yang meniadakan kita sebentar, tak lama
Dan memang kita belum ranum.
–
Geripis
Pada kerutan lelah
kutemukan kemurungan
mengalir di dalam urat-urat
yang tak lagi menegang
Memudar, melebur
pada diriku, di dalam diriku
tenggelam, dan hancur
Segalanya sulit
Pelan-pelan,
gejolak-gejolak meredup
mengiris setangkai demi setangkai
perca ingatan yang belum cukup
Gelap, pada kegelapan
mencetus bintang-bintang
menggoreskannya pada balur
Segalanya masih sulit
Bersemayam hampa layang
bergelayangan menghampar
bergegas-gegas membentang
hingga terbang-bebas terkapar
Tak berujung
menipis
menipis
membentuk kain geripis.
–
Beludru Merah Berdarah
Tersingkap beludru merah
pada renda yang berdarah
lengking tenggorokan lelah
untuk pertama kali,
kesenyapan hilang bermadah
Kuusap tubuhmu,
dalam aliran ganas laut-laut dingin
Cinta timbul pada lengkungan jauh dan pada lanskap yang padam, buru-memburu sebelum tenggelam. Kian dalam, berlari-lari, membelah garis yang tak terjangkau, mencapai-gapai kehilangan, dan pada akhirnya, menyileti diri bersama narkose putih yang hampir habis.
Dari rumah ke rumah, kamar ke kamar, cermin tak siap memantulkan kenangan yang buram. Waktu pada jam, berdetik-detik gerah, membaluti tubuh goyah dan cerita yang patah.
Kuusap tubuhmu,
dalam aliran ganas badai-badai panas
dan ciuman yang tak lekas.
–
Setelah Membaca Perburuan
Untuk Pramoedya Ananta Toer
Terdapat kisah tentang cinta yang bersemi di ladang kemelut. Pada masa di ujung Nippon merana, pada masa negeri yang tak berbahagia, seorang guru mengajar di antara hiruk-pikuk desau samurai dan desing keberingasan. Ia mengajar soal ilmu perang pada anak-anak yang belum berdosa. Shodanco menggapai niscaya pada pucuk dentuman. Kelokan sungai adalah arah menuju ketakutan untuk menggapai nestapa. Sendu, bergelut menawan harapan. Kepada kaki yang lelah, ia mengejar cinta yang sia-sia. Tak ada yang lain selain kangen; dan kepada rambut, mata, tangan, serta pori-pori yang berkeringat, sebuah gelegar cinta hanya lewat tak terasa. Rindu menghantam derita tak berkesudahan. Rintik hujan sudah muram pada radio dan koran. Cerita dan kebahagiaan layu pada huru-hara pelarian. Ketika hari belum hanyut, jalan-jalan terbelah oleh bacin dan sangit. Sepeda-sepeda menggeram dalam kayuhan ketakutan. Ia ingat kaki yang berlari-lari, ia ingat pada derum penuh dehidrasi. Cinta menjauh menuju lautan tak bertepi, dan lecet lima senti pada tangan berdenyut seakan mati. Perburuan mengabarkan luka serta derita; perburuan, dalam senyap dan gulita, menikam guru yang mengajar soal pertempuran. Cinta menjadi sunyi dalam ingatan yang malang, hingga peluru dan katana menunggu jawaban dalam pekat.
–
Termakan Api Lidahmu Kini
Termakan api lidahmu kini
karena bicara tak lagi bebas
Sayup-sayup suara beku
menyaru dan menyemai
mimpi-mimpi yang kebas
Gerendel pada logam mengeras
memudur, melingkar, menyelimuti
Hal-hal yang tiada makin menjulur
merupa bisikan yang kini sekadar angin
melewati perut yang bulur
dan menyentuh tangan yang dingin
Nisan makin menghitam
mengubur mulut-mulut kelu
Tubuh tersungkur
hingga buyar
dalam tanah-tanah gembur
*****
Editor: Moch Aldy MA