Sepatu bot Tom berdebam ketika pria tua itu turun dari kudanya. Perjalanan berhari-hari telah ia tempuh dari ibukota dan berakhir di satu kota kecil di Sahara itu.
Tom sudah renta tapi badannya masihlah perkasa. Ia mantan panglima dan ratusan pertempuran yang dilaluinya justru membuatnya awet muda.
Tom dikawal tujuh pria lain yang semuanya tak kalah tegap. Kuda-kuda mereka meringkik, seolah resah karena disuruh berhenti ketika masih semangat-semangatnya berderap. Ketika pria-pria itu hendak turun dari tunggangannya, Tom memberi tanda dengan tangannya, menghentikan mereka.
“Biar aku sendiri,” kata Tom. “Kalian berjaga saja di luar. Aku ingin bicara empat mata saja.”
Tom berjalan ke sebuah rumah di tengah kota kecil itu. Ia mengetuk pintu tiga kali. Seorang pemuda membuka pintu. Badan pemuda itu kurus, kemeja putihnya lusuh, matanya sayu. Tatapan matanya tampak datar saja melihat siapa tamunya.
Tom heran. Biasanya orang lain akan gugup berhadapan dengannya. Sementara pemuda ini santai saja melihat panglima yang ditakuti ini muncul di pintu rumahnya.
“Kau membiarkan tamumu berdiri di depan pintu begini, Jeri?”
“Silakan masuk, Panglima,” kata pemuda itu, masih tampak tak antusias.
Tom masuk ke rumah tanpa melepaskan sepatu botnya. Debu-debu dari mantel dan sepatunya beterbangan di dalam ruang tamu itu. Tom tak peduli, begitu pula dengan tuan rumah.
“Boleh aku duduk di sini?” kata Tom menunjuk kursi.
“Silakan.”
Tom meletakkan pantatnya, kemudian diikuti Jeri yang juga duduk di hadapan tamunya.
“Kau tahu kenapa aku ke sini, kan?” tanya Tom.
“Tidak tahu, Panglima.”
“Kau bohong.”
Jeri terdiam.
Tamunya mengacungkan telunjuk tepat di depan hidung Jeri, dan berkata, “aku ingin kau membantuku sebagai perdana menteri di ibukota. Kau pasti sudah tahu rencana itu. Bulan depan aku akan menggantikan bapakmu sebagai kanselir. Bapakmu pasti sudah mengirimkan merpati untuk mengabarkan itu.”
Jeri masih bergeming.
“Memang sebelumnya kau tidak akan bisa menjadi perdana menteri. Undang-undang menyebutkan kau belum cukup umur, dan kau harus menyelesaikan ujianmu sebagai amir di kota ini. Tapi semuanya sudah beres. Pakdemu sudah menolong. Ia yang menjaga undang-undang itu di rubanah kastil. Ia sudah memberitahuku jika naskahnya sudah diganti. Aku yakin kau juga sudah mendengarnya.”
Sunyi menggelayuti karena tuan rumah tak kunjung membuka mulutnya.
“Kau tak punya mulut, Jeri? Mengapa kau biarkan aku berkokok sendirian?”
“Maaf, Panglima,” kata pemuda itu akhirnya. “Saya mengira masih ada yang ingin Panglima sampaikan.”
“Jadi, bagaimana?” tanya Tom. “Apa jawabanmu?”
“Sebelum saya menjawab, bolehkah saya mengajukan pertanyaan dulu kepada Panglima?”
“Silaken.”
“Kenapa Panglima ingin sekali saya yang menjadi perdana menteri? Bukankah masih banyak orang lain yang pantas?”
“Ah, tentu saja karena aku ingin rakyat yakin bahwa aku akan melanjutkan kepemimpinan bapakmu. Telah kuhabiskan riwayatku di medan tempur sampai-sampai rakyat kota tidak kenal padaku. Aku seperti orang asing di ibukota. Di kotaku sendiri. Mereka tak mempercayaiku. Aku perlu kau di istana.”
“Begitu?”
“Tentu saja juga karena namamu harum di ibukota. Kau ubah kota mengenaskan ini jadi kota yang hidup. Aku tadi melihat sungai-sungai yang dulunya kering sekarang sudah mengalir. Padang-padang tandus kini banyak ternaknya. Luar biasa. Bayangkan jika kecerdasanmu kau pakai di ibukota. Seantero Sahara bisa berjaya.”
Jeri mengangguk.
“Aku sudah menjawab pertanyaanmu. Sekarang, giliranmu menjawab. Pintu gerbang ibukota sudah dibukakan lebar untukmu. Apakah kau bersedia menjawab panggilan negara?”
“Mohon maaf, Bapak Panglima yang saya hormati. Saya tidak bisa.”
“Cilaka tujuh belas!” pekik Tom, terloncat dari duduknya.
“Mohon Panglima dengarkan dulu penjelasan saya.”
“Tentu saja kau harus jelaskan, Jeri!”
Jeri berdeham sekali, kemudian berkata, “saya jelas menipu jika tidak mendamba untuk melenggang ke ibukota. Tapi saya kira saat ini bukanlah waktu yang tepat.”
“Kau takut karena terlalu muda untuk jadi perdana menteri?”
“Bukan, Panglima. Bukankah sudah banyak pula pemimpin-pemimpin muda? Bahkan sudah ada amir kota yang lebih muda dari saya?”
“Kau takut rakyat akan mencibirmu hanya jadi penerus dinasti keluarga?”
“Bukan, Panglima. Bapak saya bukan yang pertama mengukir dinasti di negeri ini, dan pasti bukan yang terakhir.”
“Lalu kenapa? Bapak dan pakdemu sudah membukakan gerbang untukmu.”
“Itulah sebab pertamanya. Bapak dan Pakde saya telah membuktikan kasih sayangnya pada saya, dengan membukakan pintu. Saya sudah mengirimkan merpati balasan untuk mengucapkan terima kasih dan balasan rasa sayang itu kepada beliau berdua. Tapi kewajiban saya untuk menolaknya. Saya sayang Bapak dan Pakde saya, sehingga saya tidak ingin rakyat mengenal mereka sebagai pengubah undang-undang yang sakral itu, hanya karena rasa sayangnya pada saya. Rasa sayang bisa buat hati ini membangga, tapi juga bisa membunuh satu negara. Saya harus menolak. Jikapun nanti saya akan datang ke ibukota, saya ingin membuka gerbangnya sendiri.”
Tom termenung mendengarkan penuturan tuan rumah.
“Panglima adalah orang yang saya idolakan. Saya ingin mengikuti jejak Panglima menyusuri jalan ksatria. Mana ada ksatria yang gerbangnya dibukakan? Yang gerbangnya dibukakan itu, kan, hanya hewan ternak saja. Apa Panglima mau rakyat menyamakan perdana menterinya dengan hewan ternak saja?”
Tanpa menunggu Tom merespon, Jeri segera melanjutkan kalimatnya, “Alasan kedua, Panglima terlalu lama di medan perang, mungkin kurang paham situasi di kota dan desa. Berjalan-jalanlah sebentar, dan akan Panglima dapati sawah, padang, pasar, yang isinya orang-orang tua belaka. Ke mana anak muda? Mereka di rumah saja, tak mau bekerja. Mereka ingin tidur di ranjangnya, dan besok pagi bangun sudah di ranjang sutra, minum dari bejana emas dan permata. Sungguh saya sedang berusaha menggembleng mereka.”
“Lantas apa kata mereka, kalau tiba-tiba saya ke ibukota,” lanjut Jeri. “Padahal baru enam-tujuh bulan saja saya di sini. Belum kering mulut saya menasehati mereka, apa layak kalau saya jilat ludah itu? Jadi, maaf, Panglima, saya tidak bisa ikut ke ibukota.”
Tom sontak berdiri. Lubang hidungnya mengembang dan mengempis dengan cepat. “Kau pemimpin masa depan, Jeri! Kaulah orangnya! Kau tahu apa ciri-ciri pemimpin sejati itu? Yaitu ia yang menolak jabatan. Keras kepalamu justru meyakinkanku bahwa kau harus jadi perdana menteri.”
“Terima kasih atas pujian dan kepercayaan Panglima. Namun, saya harus menolaknya.”
Panglima Tom mendidih darahnya. Ditariknya bedil yang terselip di pinggangnya, lalu ditodongkan pada tuan rumah.
“Aku sudah membujukmu dengan halus. Mungkin kau lebih suka cara kasar?”
Jeri menatap ujung pistol itu lalu pada mata pemiliknya. Tak ada raut gentar sama sekali di muka pemuda itu. Ia membuka mulutnya dan berkata tenang, “Panglima akan menarik pelatuknya atau tidak, hasil akhirnya akan tetap sama. Panglima akan meninggalkan rumah ini tanpa calon perdana menteri.”
“Dasar kau, licin betul. Dasar anak tikus!”
“Maaf, apakah saya mendengar Panglima berkata saya anak tikus? Apakah maksudnya Panglima berkata bapak saya adalah tikus? Panglima tentu tahu itu termasuk penghinaan pada kanselir, dan penghina kanselir diancam dengan huk…”
“Sudah, sudah! Aku tahu! Aku tahu! Lupakan perkataanku tadi!”
Tom tersengal-sengal dan terduduk lagi. Bedilnya sudah tak lagi teracung.
Jeri memandangi laki-laki tua yang berusaha mengatur napasnya itu. Sejenak kemudian ia berkata, “saya punya firasat. Walaupun Panglima tidak suka, penolakan saya hari ini malah akan membuahkan cerita panjang manis tentang kepahlawanan Panglima Tom yang sudah terbentang sejak dulu hingga nun jauh ke depan. Sebaliknya, jika hari ini saya menerima, walaupun tampak baik, hanya akan membuat kisah Panglima jadi cerpen yang buruk. Cepat berakhir dan dihinakan orang pula.”
Tom yang mulai bisa mengatur napasnya memejamkan mata sekian detik, lalu ia kembali membukanya dan berkata, “baiklah. Baiklah. Tapi aku punya permintaan. Dan kau tidak boleh menolak yang ini.”
Jeri menyandarkan tubuhnya di kursi tempat duduknya.
“Bekerja keraslah di sini dan jangan mati. Kalau tiba waktunya nanti aku binasa, di pertempuran, atau dimakan rayap di ranjangku, kau harus ke ibukota. Saat itu, kau harus buka gerbangmu sendiri.”
Jeri tak menjawab, hanya mengangguk satu kali.
Tom tampak puas dengan reaksi anak muda itu. Ketegangan di wajahnya mengendur.
Kemudian, setelah jeda beberapa saat, Tom bertanya, “jadi sia-sia kedatanganku ke sini, Jeri? Tak ada hal lain yang kubawa pulang selain penolakanmu?”
Jeri tersenyum, “Tidak sia-sia, Panglima. Mari kita makan tengkleng saja, di warung tak jauh dari sini.”
Tom membelalak, “lho, di Sahara ada tengkleng?”
Jeri menyentuhkan telunjuk ke bibirnya, memberi kode pada Tom agar tidak perlu risau dengan hal-hal ajaib seperti ini.
Sang Panglima terperangah. Tapi tak lama kemudian ia mengangguk dan menjadi kikuk. Untuk menutupi kesalahtingkahannya itu, ia mulai berdansa sendiri.
***
Editor: Ghufroni An’ars
aku seperti melihat realita gelojak masa kini akwwkwk nice shot