Lee Jina telah layu dan gugur. Kau tak akan bisa melihatnya, tapi kau bisa merasakan penderitaan yang pernah ditanggungnya. Kau akan bertemu dengan orangtuanya yang mencintainya. Yang masih terus menuntut keadilan setelah kematiannya. Saat kau melihat kedua manusia renta itu, empati terdalam manusia dalam dirimu akan dengan mudah tergerak. Kau bisa merasakan duka, trauma, marah, dan kegeraman yang sama dengan mereka.
Kegigihan ayahnya akan membuatmu berharap keadilan akan datang kepada Lee Jina. Bersama istrinya, dengan segala keterbatasan ekonomi, ia berusaha mencetak spanduk dengan font Georgia. Spanduk yang memiliki makna penting: sebagai simbol protes. Ia ingin pada spanduk itu tertulis: Lee Jina gang raped before suicide. Case closed without investigation of 18 suspected students (Lee Jina diperkosa beramai-ramai sebelum bunuh diri. Kasusnya ditutup tanpa investigasi terhadap 18 pelajar tersangka)
Di mata ibu Lee Jina yang sendu, sudut bibirnya yang miring akibat stroke, di antara kalimat kurang jelas yang ia ucapkan, kau akan mendengar dengan jelas perempuan itu berkata: reinvestigate! (investigasi ulang!). Di tengah keterbatasan berbicara dan berjalan, kau bisa melihat amarah dan kecewa yang meledak dari dalam diri seorang ibu yang menuntut keadilan atas penderitaan putrinya yang sungguh berat.
Diangkat dari kasus kekerasan seksual di kota Miryang, Korea Selatan, yang terjadi pada tahun 2004, film berdurasi sekitar 30 menit ini membagikan kisah pilu seorang pelajar perempuan yang bunuh diri setelah menjadi korban pemerkosaan pelajar lain di sekolahnya.
Baca juga: Demi Nama Baik Kampus, Permendikbud adalah Jawaban
Georgia memberikan sudut pandang yang berbeda: setelah korban tiada. Film ini seperti ingin menunjukkan bahwa kematian saja tak akan cukup mengakhiri luka, setelah kematian korban, ada duka yang tersisa dari mereka yang ditinggalkan. Juga seperti ingin menunjukkan bahwa yang menjadi sasaran kekerasan seksual bukanlah satu-satunya korban. Ada orang lain yang menjadi korban: orang tua, keluarga, kerabat; mereka yang pernah berada di posisi korban; mereka yang berempati, memahami, dan merasakan ketidakadilan yang sama.
Film ini seperti ingin membuktikan satu tindakan kekerasan seksual bisa menghasilkan luka dan trauma kolektif. Dan film ini tak hanya berhasil mengangkat luka dan trauma keluarga Lee Jina saja, tetapi juga berhasil menciptakan empati, luka, trauma, serta perasaan tidak enak kepada penonton.
Fragmen-fragmen film ini merefleksikan keadaan dunia nyata di mana keadilan masih sangat jauh dari jangkauan korban kekerasan seksual. Orangtua Lee Jina hanya ingin kasus kekerasan seksual yang menimpa putrinya dibuka lagi, tetapi kenyataannya sangat sulit. Mereka tak hanya harus melawan para tersangka saja. Jauh lebih besar dari itu, mereka harus melawan sistem. Adanya ketimpangan kuasa ekonomi, sosial, dan politik, membuat perjuangan orangtua Lee Jina yang miskin, tua, dan rentan semakin bertubi-tubi.
Film Georgia terasa dekat dan merefleksikan dengan sempurna apa yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia. Kasus kekerasan seksual yang pelan-pelan naik ke permukaan dan terjadi di mana-mana, termasuk di lembaga pendidikan. Dan juga menyangkut tentang rendahnya perlindungan terhadap korban, sulitnya keberpihakan sistem hukum kepada korban, adanya kuasa yang timpang antara pelaku dan korban, dan ketidakbecusan sistem peradilan.
Baca juga: Editorial: Rapists Are Everywhere
Dalam sebuah wawancara di kanal YouTube 1DAY 1FILM K-CINEFLEX, Jayil Pak, sang sutradara, mengatakan film ini dibuatnya setelah ia merasa malu oleh kasus kejahatan seksual ketiga di kota Miryang yang tak mendapatkan atensi besar dari publik seperti kasus-kasus sebelumnya. Berangkat dari situ, ia merasa peristiwa ini butuh atensi yang sama penting, sehingga ia memutuskan untuk mengangkat kisah ini ke layar lebar.
Kaya Detail
Jayil Pak dengan sangaja ingin menyorot ketimpangan kuasa dari perspektif keluarga korban dan pihak pengadil. Di mana sering kali penegak hukum justru lebih memihak kepada yang kuasanya besar. Dalam kasus Lee Jina, keluarga para pelaku memiliki akses politik terhadap pihak pengadil. Film ini berhasil menggambarkan perlakuan sosial yang berbeda terhadap suatu kelas sosial.
Judul Georgia sendiri bukan berarti tanpa makna, ada arti simbolis di dalamnya. Jayil Pak menjelaskan bahwa Georgia adalah sebuah font style yang sedang Lee Jina desain agar bisa dipakai pada huruf hangeul (huruf Korea). Font Georgia, sebelumnya, bila dipakai ke dalam bahasa Korea, akan membuat huruf-hurufnya menjadi kotak-kotak tak terbaca.
Mengutip apa yang disampaikan Jayil Pak, “An empty space may say more than what countless words can”. Huruf kotak-kotak yang tak bisa terbaca itu menjadi simbol kemarahan dan duka yang tak bisa diurai dalam kata-kata. Spanduk penuh kotak-kotak adalah simbol bahwa suara, duka, dan kemarahan keluarga korban kekerasan seksual sering kali didiamkan.