Ketika seseorang membawa kasusnya ke media sosial, ia berharap keadilan akan datang berkat keviralan dan tekanan publik. Nyatanya, tak semudah itu. Korban yang bersuara di media sosial justru dengan mudah dilaporkan ke polisi bahkan bisa berujung bui. Lantas harus ke mana lagi korban mencari keadilan, jika semua jalan memintanya agar lebih baik bungkam?
Upaya melaporkan dugaan pencemaran nama baik dari terduga pelaku pelecehan seksual sebenarnya sudah sering terjadi. Dalam kasus pelecehan seksual saja, tercatat beberapa kasus yang berlangsung demikian.
Dalam kasus Baiq Nuril, seorang pegawai honorer di SMAN 7 Mataram yang mengalami pelecehan seksual oleh atasannya. Alih-alih mendapat perlindungan setelah melapor ke polisi, malah Nuril yang dijerat balik oleh pelaku dengan tuduhan menyebarkan informasi rekaman telepon yang bermuatan asusila.
Buntut dari semua itu, Nuril diberhentikan dari SMAN 7 Mataram dan ditahan polisi (24/3/2017), setelah didakwa Pasal 27 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Nuril dihukum 6 bulan kurungan serta denda Rp 500 juta.
Di kasus lain seperti selebgram Revina VT, misalnya. Revina mengunggah cuitannya tentang seorang psikolog yang diduga tak memiliki izin praktik dan melakukan pelecehan seksual terhadap beberapa pasiennya. Revina harus menerima kenyataan bahwa para korban yang mengaku melalui media sosial, tiba-tiba bungkam ketika kasusnya diusut ke ranah hukum. Revina pun kehilangan dukungan, serta pada akhirnya harus mengakui kesalahannya atas unggahan itu. Kasus yang terjadi di Februari 2020 itu berakhir dengan perjanjian damai dan Revina harus mengeluarkan uang ratusan juta rupiah sebagai denda.
Di kasus pelecehan seksual yang terjadi di kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, sampai tulisan ini selesai disusun, proses hukumnya masih berlangsung. Korban bersama pengacaranya telah melapor lagi ke Komnas HAM, sementara para terduga pelaku melalui kuasa hukumnya berencana melaporkan korban atas dugaan pencemaran nama baik.
Ketika terduga pelaku melapor balik, bagaimana perlindungan hukum untuk korban? Erasmus Napitupulu, ahli hukum dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengungkapkan bahwa dalam kasus-kasus saling lapor itu, sebenarnya perlindungan terhadap korban sudah diatur dalam Undang-Undang.
“Korban itu dilindungi dalam Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban tahun 2006, yang intinya adalah pelapor atau korban yang beritikat baik tidak boleh dituntut balik secara pidana atau perdata,” ungkap Eras saat dihubungi omong-omong.com.
“Kalau korban dilaporkan atas tuduhan pencemaran nama baik, maka harus berlaku Undang-Undang 310 Ayat 3 KUHP. Intinya kalau orang terpaksa membela diri, maka dia tidak boleh dikatakan menghina atau mencemarkan nama baik. Bagi saya, kalau korban melakukan itu (mengunggah cuitannya) dengan tujuan membela diri, maka serangan balik itu tidak perlu diproses oleh aparat penegak hukum.”
Tentunya tak semua kasus hukum berada dalam konstruksi yang ideal. Bayangkan saja, bila Anda adalah korban pelecehan yang bahkan untuk bercerita saja sulit, apalagi memikirkan untuk mengumpulkan bukti. Belum lagi harus menyiapkan segala instrumen, pendampingan hukum, dan hal-hal lain yang tentu tak dipahami sebagai awam.
Bayangkan sulitnya membuktikan bahwa korban adalah korban dalam prosedur yang demikian rumit. Jika salah langkah, orang yang telah menerima perundungan dan dilecehkan secara seksual, malah berkemungkinan dihukum penjara atas keluhannya di media sosial yang dianggap mencemarkan nama baik pelaku kejahatan.
Adanya relasi kuasa di banyak kasus pelecehan di tempat kerja juga dapat menjadi potensi kerugian korban. Seperti Baiq Nuril yang harus kehilangan pekerjaannya karena yang dilaporkan adalah kepala sekolah tempatnya bekerja. Hal yang sama juga dapat terjadi pada kasus lain seperti pelecehan di kantor KPI.
Tekanan psikologis dan fisik yang menimpa korban juga selayaknya menjadi pertimbangan aparat penegak hukum untuk melihat kasus-kasus pelecehan secara lebih jernih. Seperti yang diungkapkan Eras, bahwa sebenarnya polisi punya wewenang untuk mendamaikan pihak-pihak yang saling melaporkan.
“Dalam hukum pidana kita, seorang yang dituduh memang punya hak untuk membela diri. Tapi kita tidak sedang bicara dalam kondisi ruang debat ideal. Maka, dalam kasus KPI, bagi saya aparat penegak hukum harus jeli. Polisi punya wewenang untuk tidak menghadap-hadapkan para pelapor. Polisi justru bisa menggali alasan seseorang melapor sebagai korban. Salah satu solusi supaya korban mendapat bantuan hukum dan rasa aman adalah aparat penegak hukumnya harus mampu melihat kondisi-kondisi itu,” tambahnya.
Jalan panjang proses hukum dalam kasus pelecehan di KPI baru saja dimulai. Segala kemungkinan masih terbuka lebar bagi siapa pun untuk membuktikan tuduhan. Tak seperti cuitan yang viral seketika bak efek soda. Proses hukum harus dijalani melalui prosedur panjang dan berliku. Seperti yang diungkapkan Eras di akhir wawancara:
“Ini fakta tak menyenangkan yang harus diterima semua orang, bahwa proses peradilan memang tidak selalu tentang keadilan, melainkan siapa yang mampu memberi pembuktian di pengadilan.”
Siapa yang mampu memberi pembuktian di pengadilan? Pernyataan itu bisa kita ubah menjadi pertanyaan untuk kita semua. Melihat proses penegakan hukum dan banyaknya pasal karet yang masih berlaku di Indonesia, alih-alih mendapat perlindungan, proses hukum juga punya potensi menjerat korban. Tak ada kata lagi, selain tetaplah berhati-hati.